Ketua BPK Bergeming, MA Lakukan Pungli

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution bersikukuh bahwa penarikan biaya perkara kasasi tergolong pungutan liar. Karena itu, dia minta pungutan tersebut dihentikan. Kalau perlu, uangnya dikembalikan ke kas negara.

Anwar menegaskan, tudingannya itu sebagai koreksi, bukan untuk menghina lembaga peradilan tertinggi tersebut. Yang merendahkan MA itu pimpinannya, bukan saya, tambahnya.

Tudingan Anwar itu terkait dengan biaya perkara di Mahkamah Agung. Biaya perkara kasasi perdata ditentukan Rp 500 ribu dan pengajuan peninjauan kembali (PK) perdata Rp 2,5 juta. Uang itu digunakan sendiri oleh MA untuk keperluan pemanggilan terdakwa dan saksi dalam persidangan dan pengiriman surat-surat.

Anwar akan melaporkan masalah itu ke DPR minggu depan. Tentu saja dengan bukti-bukti yang dimiliki.

Namun, hal itu kembali dibantah MA. Ketua Muda Perdata MA Harifin A. Tumpa menegaskan, tidak ada pungli di MA. Tudingan orang tentang adanya pungli tidak berdasar. Ini merendahkan peradilan tertinggi di negara ini, ungkapnya.

Dijelaskan, sudah menjadi asas umum di dunia bahwa orang yang beperkara perdata di pengadilan harus membayar biaya perkara. Perdata adalah kepentingan individu. Apa semua kepentingan individu dapat dibayari negara? Bisa bangkrut negara, tambahnya dengan nada tinggi.

Mantan ketua PT Sulawesi Selatan tersebut menceritakan, biaya perkara telah ada sejak 150 tahun lalu. Biaya perkara di MA diatur berdasar UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Di sana disebutkan bahwa pencatatan permohonan kasasi dalam buku daftar dilakukan setelah pemohon membayar biaya perkara. Ini berarti pencatatan kasasi dan pembuatan akta kasasi tidak dapat dilakukan sebelum biaya kasasi dibayar, tambahnya.

Besaran biaya perkara ditetapkan oleh ketua MA yang dikukuhkan dalam SK. Namun, pemohon yang tidak memiliki biaya diberi keringanan. Tidak akan dibedakan antara pemohon yang membayar dan pemohon yang gratis, kami jamin, ungkapnya.

Menurut dia, pemakaian biaya dipertanggungjawabkan kepada pemohon kasasi atau PK berwujud putusan. Biaya itu dianggap bukan uang negara, namun uang pihak ketiga. Karena itu, tidak perlu disetorkan kepada negara.

Sementara itu, uang yang disetor ke negara Rp 1.000 per perkara merupakan konsekuensi pemberlakuan PP No 26 Tahun 1999. Dalam biaya perkara, ada hak negara berupa penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 1.000 dan biaya registrasi di pengadilan niaga Rp 750 ribu sampai Rp 5 juta.

Tapi, karena MA tidak lagi berada di bawah Departemen Hukum dan HAM, pungutan dari lembaga peradilan tidak diatur lagi. Kami masih mempergunakan aturan lama sebelum ada pengaturan yang baru, ungkapnya.

Harifin mengungkapkan, saat ini pihaknya belum berpikir untuk melakukan tindakan hukum kepada pihak-pihak yang dinilai telah mencemarkan nama baik MA. Hal ini akan dipikirkan seakurat mungkin oleh pimpinan. MA tidak mau membuat statement gegabah. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 18 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan