Kisruh Hak Bujet DPR
KISRUH Badan Anggaran (Banggar) DPR saat ini mendorong pertanyaan: bagaimana sesungguhnya konsep hak bujet (budget) atau anggaran yang dimiliki wakil rakyat?Pertanyaan ini menjadi istimewa di tengah perdebatan lama tentang hal ini yang pernah berkecamuk seiring dengan persaingan partai-partai. Dalam bidang anggaran, ada sejumlah situasi yang menunjukkan kita makin tidak memiliki kejelasan identitas sistem perwakilan atau parlemen. Bila memang sistem presidensial mengapa DPR demikian dominan? Sebaliknya, ada gejala untuk mendekati sistem parlementer namun justru terlalu jauh melampaui apa yang ada dalam sistem itu.
Penggunaan hak bujet oleh DPR sebenarnya cukup jelas, diatur dalam UUD 1945 dan sejumlah UU, khususnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPD, DPR, dan DPRD (dikenal dengan UU MD3). Amendemen ke-3 UUD 1945 Pasal 23 Ayat (2) menyatakan bahwa RUU APBN diajukan oleh presiden bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Artinya, jelas bahwa yang berhak mengajukan RAPBN adalah pemerintah, sementara hak bujet hanyalah dengan membahas usulan yang diajukan oleh pemerintah.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara khususnya Pasal 15 mengatur bahwa pembahasan RAPBN dilakukan sesuai dengan UU MD3. Lebih jauh bila kita lihat, Ayat (3) UU Keuangan Negara menyatakan bahwa DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RAPBN.
Bila mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, di sana diatur tentang tugas komisi-komisi dan Banggar di DPR. Salah satu tugas komisi adalah membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/ lembaga yang menjadi mitra kerja komisi. Selanjutnya, komisi akan menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan kepada Banggar untuk sinkronisasi.
Pasal 107 UU MD3 lebih jauh mengatur tugas Banggar adalah membahas bersama pemerintah, diwakili menteri, untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal dan prioritas anggaran, menetapkan pendapatan negara dan alokasi anggaran sesuai usulan komisi-komisi, serta melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi-komisi. Bahkan hal ini ditegaskan lagi dalam Ayat (2) bahwa Banggar hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Juga ditekankan lagi bahwa anggota komisi yang ada di Banggar harus mengupayakan agar alokasi sebagaimana dibicarakan dalam komisi dapat dipertahankan.
Penyimpangan UU
Jadi, tampaknya ada suatu ruang ketidakjelasan (grey area) yang diciptakan oleh sejumlah anggota DPR yang duduk di Banggar. Ada sejumlah situasi yang kemudian menggiring opini publik bahwa Baanggar berhak mengubah secara signifikan terhadap RAPBN yang diusulkan pemerintah. Paling konkret saat ini adalah bagaimana DPR berhasil menambahkan pos tambahan dalam belanja negara dengan istilah dana penyesuaian. Wujudnya adalah dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) dan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID).
Kemunculan dana penyesuaian ini memang kontroversial karena tidak diprogramkan oleh pemerintah dalam pengajuan RAPBN-P 2011 namun muncul dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang APBN-P 2011. Secara umum, pengalokasian dana ini sarat masalah dan menunjukkan penggunaan hak bujet DPR secara berlebihan dan menyimpang dari sejumlah peraturan terkait, khususnya mengenai mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004.
Contoh lain adalah bagaimana DPR menggunakan hak bujet pada proses penyusunan APBN dalam hal-hal teknis perhitungan anggaran secara tidak proporsional. Dari sejumlah pemberitaan media, kita memperoleh kesimpulan bahwa DPR tidak memiliki perhitungan tersendiri, hanya menjadikan asumsi ekonomi makro yang semestinya purely economic menjadi politic-heavy.
Jadi, sejatinya jelas bahwa hak bujet DPR tidaklah sama dengan hak bujet pemerintah. Dewan memiliki keterbatasan ruang gerak dan wewenang terhadap RAPBN yang diajukan pemerintah. Upaya Banggar menambahkan pos-pos belanja dengan penciptaan mata anggaran baru, jelas menyimpang dari batasan hak bujet yang diatur UUD 1945 dan sejumlah UU. (10)
Gunawan Setiyaji, pengamat fiskal, master bidang Kebijakan Ekonomi dari The Australian National University (ANU)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 3 September 2011