Komisi Yudisial dan Pemberantasan Korupsi

Alasan teknis hukum yang selalu dijadikan pemaaf atas tuntutan publik terhadap kinerja aparatur penegak hukum sudah dapat diduga merupakan cara paling efisien untuk menepis dugaan diskriminatif, ketidakinginan, atau ketidakmampuan menebas habis aktor intelektual korupsi di negeri ini.

Tekad pemimpin nasional untuk membabat habis korupsi dan suap di republik ini sudah sangat gamblang dengan keluarnya berbagai peraturan perundang-undangan yang memperkuat kewajiban penyelenggara negara, termasuk para hakim di semua tingkatan, untuk menunjukkan prestasinya berlandaskan prinsip transparansi, integritas, dan akuntabilitas. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut pun telah ada ketentuan mengenai tata cara pelaporan masyarakat buat berperan serta dalam kebijakan nasional untuk pemberantasan korupsi.

Sejak masa pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, sampai Susilo Bambang Yudhoyono, peraturan perundang-undangan tersebut masih eksis. Tapi implementasinya masih tersendat-sendat, bahkan terkesan diskriminatif, karena berbagai hal. Alasan teknis hukum yang selalu dijadikan pemaaf atas tuntutan publik terhadap kinerja aparatur penegak hukum sudah dapat diduga merupakan cara paling efisien untuk menepis dugaan diskriminatif, ketidakinginan, atau ketidakmampuan menebas habis aktor intelektual korupsi di negeri ini. Betapa hebatnya Republik Indonesia dalam memberantas korupsi. Undang-undang sudah ada. Lembaga-lembaga konvensional sampai lembaga ekstrayudisial dan lembaga pengawas sebagai wujud prinsip check and balance sudah di hadapan mata. Bermiliar-miliar rupiah sudah dikeluarkan untuk pembentukan lembaga-lembaga tersebut, termasuk proses rekrutmennya melalui DPR.

Namun, semuanya sudah terbukti belum mampu atau bahkan sering impoten menghadapi kenyataan korupsi dan suap di lapangan. Apakah fenomena ini menunjukkan salah proses rekrutmennya atau memang belum mapan kepribadian pelaksananya dalam menghadapi tembok tebal organisasi peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga advokasi) yang sudah lama melakukan korupsi? Atau karena anggaran yang sangat jauh dari memadai? Hanya sejarah dan riset yang dapat menjawab dan mengungkap praduga tersebut. Begitu pula ketika Komisi Yudisial dihadapi oleh kemelut yang terjadi dalam dunia peradilan, terutama kasus penyimpangan atau dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi di dunia peradilan, khususnya Mahkamah Agung, baru-baru ini.

Persoalan tarik-menarik kebenaran tentang tata cara pemanggilan para hakim agung dalam kasus Probosutedjo merupakan bukti nyata adanya konflik wewenang dan kelembagaan, yang seharusnya tidak perlu terjadi jika pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memahami semangat dan substansi reformasi peradilan melalui pembentukan Komisi Yudisial tersebut sejak awal. Apalagi pembentukan komisi ini memiliki landasan konstitusional yang lebih kuat dibandingkan dengan lembaga serupa lainnya, yaitu Pasal 24-B UUD 1945. Dua wewenang Komisi Yudisial yang sangat strategis adalah menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Wewenang ini sudah sekian lama telantar. Karena itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah mengamanatkan kepada pemimpin komisi ini untuk segera menetapkan tata cara pelaksanaan tugas yang sudah diatur dalam pasal 22 ayat 1 juncto pasal 20 dan pasal 13-b. Dan juga tidak boleh dilupakan perintah undang-undang ini kepada Komisi Yudisial untuk menetapkan kriteria pemberian penghargaan kepada para hakim yang berprestasi dan berjasa dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran serta menjaga perilaku hakim.

Kedua perintah UU Nomor 22 Tahun 2004 ini merupakan sarana hukum yang strategis sekaligus landasan hukum komisi itu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sampai saat ini, belum diketahui apakah kedua perintah tersebut sudah dilaksanakan oleh para pemimpin Komisi Yudisial. Di balik optimisme masyarakat luas terhadap kinerja Komisi Yudisial dalam membenahi dunia peradilan yang terpuruk ini, sangat disesalkan bahwa pemimpin Komisi Yudisial kurang cerdik memahami dan melaksanakan ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 itu.

Penjelasan Ketua Komisi Yudisial bahwa mereka tidak memiliki upaya paksa terhadap ketua majelis perkara Probosutedjo sangat disesalkan (Koran Tempo, 16 Januari 2006, halaman A6) dan sesungguhnya tidak perlu terjadi jika semangat dan jiwa undang-undang ini dipahami secara komprehensif berikut berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan, sebagai wujud kebijakan politik sejak Ketetapan MPR tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme diberlakukan. Pertama, haruslah dipahami oleh pemimpin Komisi Yudisial bahwa kedudukan lembaga ini setara dengan Mahkamah Konstitusi karena keduanya dibentuk dan dibangun di atas landasan konstitusi, yaitu UUD 1945 (Pasal 24-B dan Pasal 24-C); berbeda jauh dengan dasar hukum pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kesetaraan kedudukan hukum semakin nyata dengan kewajiban Komisi Yudisial membuat rekomendasi dan menyampaikannya kepada antara lain Mahkamah Konstitusi (pasal 22-e) dan dikaitkan dengan kewajiban badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data kepada Komisi Yudisial (pasal 22 ayat 4). Dan pasal 22 ayat 5 secara alternatif memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, selain Mahkamah Agung, untuk menetapkan upaya paksa kepada badan peradilan atau hakim yang membandel terhadap permintaan Komisi Yudisial.

Kedua, harus dipahami bahwa UU Nomor 22 Tahun 2004 memberikan wewenang juga kepada MK, selain MA, untuk mengeluarkan penetapan tentang upaya paksa sesuai dengan bunyi pasal 22 ayat 5. Pembentuk UU Nomor 22 Tahun 2004 sudah mengantisipasi kemungkinan resistensi dari badan peradilan atau hakim terhadap Komisi Yudisial sehingga bunyi kalimat kunci pada pasal 22 ayat 5 tersebut sangat gamblang memberikan wewenang juga kepada MK untuk mengeluarkan penetapan berupa paksaan kepada antara lain hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial. Bertitik tolak pada uraian di atas, jelas bahwa Komisi Yudisial berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2004 memiliki wewenang upaya paksa secara tidak langsung dan tidak perlu khawatir bakal bertentangan dengan landasan konstitusional UUD 1945.

Ketiga, kekuatan hukum UU Nomor 22 Tahun 2004 kurang dipahami oleh pemimpin Komisi Yudisial dalam mendukung langkah-langkahnya membenahi dunia peradilan; bahkan pemimpin komisi ini telah menelantarkan kewajibannya untuk segera mewujudkan ketentuan yang bersifat strategis sebagaimana diamanatkan Pasal 22 ayat 8 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang penyusunan tata cara pelaksanaan tugas Komisi Yudisial. UU Nomor 22 Tahun 2004 merupakan landasan hukum yang kuat dan hampir tidak ada kelemahan hukum di dalamnya, sehingga tidak perlu ada perubahan untuk sementara ini. Yang penting, pemimpin Komisi Yudisial harus memahami undang-undang ini dalam konteks politik hukum nasional dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang dipayungi UUD 1945 dan perubahannya, terutama dalam kaitan dengan pembenahan dunia peradilan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Keempat, harus juga dipahami bahwa sekalipun UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dijaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun (judicial independence), prinsip hukum dasar tersebut tetap harus disertai tanggung jawab kekuasaan kehakiman yang dilandasi prinsip integritas, akuntabilitas, dan transparansi (judicial responsibility). Prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab merupakan prinsip universal yang dianut di semua negara dalam konstitusinya. Namun, demokratisasi dalam proses peradilan menuntut pula dikedepankannya asas proporsionalitas yang menempatkan keseimbangan antara prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dengan prinsip integritas, akuntabilitas, dan transparansi, sehingga kekuasaan kehakiman itu tidak lagi harus dipandang sebagai uber alles, tapi haruslah ditempatkan pada posisi yang wajar dan layak sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping lembaga hukum lainnya.

Komisi Yudisial dengan wewenangnya yang bersifat administratif (mengusulkan calon hakim agung) juga memiliki fungsi pengawasan sebagai lembaga konstitusional baru (check and balance) dalam tatanan pemerintahan Indonesia yang sedang mengalami proses demokrasi transisional. Dalam konteks inilah pemimpin Komisi Yudisial harus memiliki sikap negarawan, bukan semata-mata hanya pelaksana undang-undang (mulut undang-undang), karena Komisi Yudisial, di samping Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Ombudsman Nasional, merupakan lembaga harapan dan optimisme 200 juta penduduk Indonesia yang mendambakan negara hukum yang aman, damai, dan sejahtera, bebas dari kemiskinan dan keterpurukan sebagai akibat dari korupsi.

Dalam kaitan ini, pemimpin Komisi Yudisial harus juga memahami perkembangan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini, yaitu munculnya fenomena bias arah penegakan hukum dalam berbagai kasus pemberantasan korupsi. Fenomena ini sudah terjadi dengan antara lain sikap dan tingkah laku aparatur penegak hukumnya yang justru lebih banyak mengedepankan popularitas daripada integritas dan akuntabilitas kinerja. Fenomena bias arah ini kian lama semakin tidak terkendali ketika kepentingan politik, golongan, atau kelompok selalu membayangi kinerja lembaga-lembaga yang disiagakan untuk pemberantasan korupsi. Sedangkan pemimpin lembaga-lembaga penegak hukum sudah keburu terlena dengan euforia atas hasil buruannya yang ditengarai sebagai the big fish. Area pemberantasan korupsi, selain menggunakan pendekatan represif, menggunakan pendekatan preventif, yaitu mendambakan terwujudnya suatu island of integrity pada semua kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen. Obsesi ini tampaknya semakin tidak mudah terlaksana jika fenomena bias arah tersebut tidak segera dipahami serta dicegah dan dikendalikan oleh pemimpin lembaga-lembaga penegak hukum; juga pemimpin lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kegagalan melakukan pencegahan dan pengendalian fenomena tersebut akan menimbulkan sinisme dan skeptisisme di kalangan masyarakat luas. Dan sikap-sikap ini merupakan benih munculnya apa yang disebut the fight back against combating corruption.

Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran

Tulisan ini disalin dar Koran tempo, 21 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan