Komisi Yudisial Stop Pengaduan Masyarakat

Komisi Yudisial tidak akan lagi menerima pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim.

Komisi Yudisial tidak akan lagi menerima pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim. Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial Tahir Saimima, langkah itu diambil setelah Rabu lalu Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang membatalkan beberapa pasal tentang pengawasan hakim dalam Undang-Undang Komisi Yudisial.

Dengan keputusan itu, kata Tahir, Komisi Yudisial tidak lagi punya wewenang mengawasi hakim. Fungsi pengawasan hakim akan dipegang kembali oleh Mahkamah Agung.

Tahir menyangsikan pengawasan Mahkamah Agung bisa berjalan dengan baik. Sebab, Mahkamah Agung mengemban fungsi kontradiktif, yaitu yudisial dan pengawasan. Hakim menjadi tidak bebas dan tidak independen karena sangat dipengaruhi pangkat dan jabatan, ujarnya.

Tahir mengatakan, sejak dibentuk, lembaganya menerima lebih dari 800 pengaduan masyarakat. Dari jumlah itu, 500 pengaduan sedang diproses, 18 pengaduan selesai diproses, dan sisanya belum ditangani.

Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu. Kewenangan Komisi Yudisial kini hanya menyeleksi calon hakim agung, ujar anggota Komisi Hukum DPR, Mahfud Md., di ruang kerjanya kemarin.

Mahfud menilai keputusan itu telah mengebiri kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial. Saya khawatir putusan itu akan menyuburkan mafia peradilan, ujarnya.

Anggota DPR lainnya, Lukman Hakim Saifuddin, menilai Mahkamah Konstitusi bisa menjadi monster baru bagi penegakan hukum di negara ini. Putusan itu juga bisa mengganggu sistem kelembagaan negara yang bersendikan checks and balances, ujarnya. BIBIN BINTARIADI | RADEN RACHMADI

Sumber: Koran Tempo, 25 Agustus 2006
--------------
KY Minta Maaf
MK Ambil Keuntungan, Perlu Diterbitkan Perpu

Sehari setelah kewenangan pengawasannya dicabut Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial menggelar jumpa pers. Komisi Yudisial meminta maaf kepada rakyat Indonesia, terutama pencari keadilan, karena tak bisa lagi menjalankan fungsi pengawasan.

Kami, seluruh anggota dan staf Komisi Yudisial, memohon maaf sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia atas kejadian ini. Kami tidak mampu mencegah ini. Komisi Yudisial mempunyai tangan yang pendek, tak bisa berbuat apa-apa. Ada sistem yang harus kita ikuti, ujar Wakil Ketua Komisi Yudisial Thahir Saimima, dalam jumpa pers di Kantor Komisi Yudisial (KY), Kamis (24/8).

Menurut Thahir, sejak awal KY telah berjanji akan tunduk dan patuh terhadap putusan MK. Namun, pihaknya ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa sebenarnya putusan itu melebihi apa yang diminta oleh pemohon.

Ia menjelaskan, keputusan tersebut mengakibatkan terjadi kekosongan hukum, terutama terkait pengawasan terhadap hakim. Pengawasan eksternal terhadap hakim baru berjalan setelah revisi UU selesai dilakukan.

Putusan MK itu dikecam sejumlah LSM. MK dinilai ikut mencuri kesempatan dan mencari keuntungan sendiri dari keputusannya tersebut dengan menyatakan hakim konstitusi tak bisa diawasi KY. Pernyataan itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen, Kamis, bersama sejumlah LSM.

Patra dan sejumlah LSM mendesak pemerintah segera membuat peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) tentang KY untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat pembatalan.

Di tempat terpisah, Forum Konstitusi menilai putusan MK telah menghilangkan roh keberadaan Komisi Yudisial sebagaimana termuat dalam UUD 1945 hasil perubahan. Padahal kehadiran KY disengaja perumus UUD 1945 karena kekuasaan kehakiman dinilai tidak tersentuh karena tidak ada lembaga yang bisa mengawasi dan melakukan kontrol eksternal. Hal tersebut disampaikan anggota Forum Konstitusi yang kini juga anggota DPR Patrialis Akbar se usai pertemuan rutin Forum Konstitusi di Jakarta. (ana/dik/dwa)

Sumber: Kompas, 25 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan