Korupsi dan Iklim Investasi di Jawa Barat

Secara historis konsep dasar rancangan revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah hasil kesepakatan antara perwakilan pihak buruh dan pengusaha yang difasilitasi pemerintah. Yang menjadi pertanyaan, apakah perwakilan buruh yang mengikuti perundingan dengan pihak pengusaha dan pemerintah di atas benar-benar menyuarakan kepentingan buruh?

Di balik revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut terkandung misi yang sangat mulia, yaitu memikat investor-investor asing yang sejak krisis tahun 1997 berhamburan untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Tentu saja investasi dalam dunia perindustrian. Dengan meningkatnya iklim investasi di Indonesia, secara tidak langsung akan mengentaskan problem pengangguran nasional yang menurut catatan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlahnya per Oktober 2005 mencapai 11, 6 juta jiwa atau 10, 84 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Dengan tersedianya lahan pekerjaan baru, secara berangsur-angsur akan mewujudkan stabilitas perekonomian Indonesia. Pada saat itulah kesejahteraan rakyat Indonesia akan tercipta.

Namun, benarkah dengan menekan hak-hak buruh (pengembangan karier dan kesejahteraan) seperti yang menjadi substansi dalam draft materi revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan akan memikat gairah para investor asing untuk kembali berinvestasi di Indonesia?

Substansi materi revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dikatakan sebagai sebuah upaya yang sia-sia, bahkan akan memicu konflik horizontal antara pihak buruh dan pengusaha. Dengan tidak harmonisnya hubungan antara pengusaha dan buruh akan lebih memperburuk kondisi perekonomian dan implikasinya akan memengaruhi stabilitas sosial-politik. Alih-alih dapat mengembalikan para investor asing, gunjang-ganjingnya stabilitas sosial-politik malah akan mengusir para investor yang ada.

Jika kita jujur, ada hal yang lebih substansial yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia, yaitu mewujudkan clean governance (pemerintahan yang bersih). Dan, ini harus menjadi catatan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Terlebih menjadi sangat memalukan kredibilitas Jawa Barat ketika ditengarai ada pihak-pihak tertentu di Jawa Barat yang dengan sengaja men-support dana dalam aksi kerusuhan tersebut.

KKN
Sebagai daerah penopang utama Ibu Kota dengan potensi industri yang sangat tinggi, tentu saja Pemerintah Provinsi Jawa Barat memikul beban untuk mengembalikan citra Jawa Barat sebagai daerah yang kondusif dan prospektif untuk berinvestasi. Untuk meningkatkan iklim investasi, baik bagi pengusaha lokal maupun asing, salah satu program Jawa Barat ke depan adalah harus memfokuskan pada upaya memangkas semua peluang bagi terjadinya tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Seperti yang diungkapkan oleh Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz bahwa korupsi menjadi faktor penghambat utama bagi berkembangnya investasi asing di Indonesia. Bahkan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupssi Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan hal yang sama tentang relevansi budaya korupsi dengan redupnya iklim investasi.

Budaya korupsi telah membuat para investor takut untuk berinvestasi. Takutnya para investor untuk kembali menanamkan investasi menjadi bukti bahwa budaya korupsi masih belum bisa diselesaikan secara signifikan dan bahkan masih terjadi di setiap lapisan.

Maka, untuk menggairahkan bursa investasi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus berani mengambil kebijakan dengan memangkas semua peluang bagi terjadinya korupsi yang dilakukan oleh birokrasi. Hasil survei Lembaga Transparansi Internasional tahun 2002 menyebutkan bahwa berbelit-belitnya urusan birokrasi perizinan bisnis menjadi peluang bagi terjadinya tindak korupsi. Faktanya, karena banyaknya meja yang harus dilewati dan tangan yang harus disalami. Untuk mendapatkan perizinan bisnis di Indonesia dibutuhkan waktu yang paling lama dan biayanya paling besar dibandingkan dengan negara tetangga.

Tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses pengurusan perizinan bisnis ini, meminjam bahasanya Michel Foucoult salah seorang sosiolog berkebangsaan Perancis yang menyebutkan relasi kekuasaan, melibatkan dua pihak yang berlainan kepentingan. Dalam kasus di Indonesia, relasi semacam ini terjadi di antara pihak birokrasi pemerintah sebagai pihak yang membuat aturan main dan pihak pengusaha. Begitu rumitnya sistem birokrasi kita mengakibatkan munculnya budaya penyelesaian di bawah meja di antara kedua pihak di atas. Tentu saja uang sebagai kata kuncinya.

Biaya produksi
Secara ekonomi, uang yang diberikan untuk melicinkan urusan dengan birokrasi tidak termasuk pada anggaran cost produksi. Dengan memberi sejumlah uang (tentu saja dalam jumlah yang sangat besar) sebagai jaminan kelancaran dan keamanan menjadikan para investor (pengusaha) menanggung beban ganda. Pertama, biaya jatah preman baik preman jalanan maupun preman kantoran seperti yang diungkapkan di atas, dan kedua, biaya produksi itu sendiri. Cost produksi adalah sejumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan bahan baku ditambah upah buruh pekerja.

Tentu saja tidak ada satu pun investor (pengusaha) di dunia ini yang merelakan bisnisnya merugi. Dalam teori ekonomi, besarnya beban yang ditanggung investor (cost produksi dan uang jatah preman) harus sebanding dengan penjualan produksi yang didapatkan. Sialnya, kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk ini berimplikasi terhadap lemahnya daya beli masyarakat, yang berujung pada rendahnya harga jual barang produksi. Akibatnya, cost yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.

Kondisi yang seperti ini memaksa pengusaha untuk menekan upah buruh, melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, menghilangkan uang pesangon, dan meminimalkan fasilitas kesejahteraan yang diberikan perusahaan kepada buruh. Hal ini dilakukan semata-mata agar perusahaan tidak mengalami kerugian.

Selama budaya korupsi masih menjalar dalam tubuh birokrasi pemerintah, jangan pernah berharap investor-investor asing akan melirik, terlebih kembali menginvestasikan modal usahanya.

Maka, perlu kiranya Pemprov Jawa Barat belajar dari Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang berani memangkas tidak kurang dari 13 perda dalam mewujudkan sebuah pusat pelayanan pemerintah dengan sistem pelayanan satu pintu satu atap.

Bahkan, seperti tayangan dalam salah satu televisi swasta, Pemkab Sragen memberikan perlakukan khusus bagi para pengusaha pemula dengan menggratiskan pembuatan SIUP dan yang lainnya. Hal tersebut diharapkan dapat memicu semangat dan kreativitas masyarakat untuk lebih meningkatkan lagi tingkat perekonomian mereka.

Maka, komitmen Pemprov Jawa Barat untuk ikut berperan dalam upaya meningkatkan iklim investasi nasional harus diwujudkan paling tidak dengan mencontoh menggunakan sistem pelayanan satu pintu dan satu atap yang tentunya disesuaikan dengan tuntutan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Barat.

Dengan memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan dalam mengurus perizinan, diharapkan akan menarik minat para investor untuk kembali menanamkan modal di Jawa Barat. Dan, mudah-mudahan dengan memangkas semua peluang terjadinya tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam tubuh birokrasi Pemprov Jawa Barat akan menjadi jalan bagi tercapainya visi Jawa Barat, yaitu menjadi provinsi termaju di Indonesia, dan mitra terdepan Ibu Kota pada tahun 2010.

HILMAN WIRANATA Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Tinggal di Bandung

Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan