Korupsi di Indonesia masuki kondisi genting

'Pemerintah takut berantas korupsi'

Pemerintah dinilai takut memberantas korupsi secara sungguh-sungguh dengan tidak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perppu) untuk Komisi Yudisial (KY).

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widyatmoko mengatakan pemerintah justru tak memiliki keberanian dengan tidak mengeluarkan Perppu. Padahal, lanjut dia, saat ini korupsi di Indonesia sudah memasuki kondisi genting.

Pemerintah tidak melihat kondisi yang benar-benar genting dan memaksa dalam kasus korupsi. Apalagi soal korupsi peradilan, ujar Danang di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Danang, pemerintah juga hanya berani melemparkan bola dengan melimpahkan kewenangan tersebut ke DPR. Sehingga, tandas dia, Perppu tak akan diterbitkan melainkan hanya revisi UU No. 22/2004 soal Komisi Yudisial. Ini akan memakan waktu lama, ujarnya.

Pada 12 Juli, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra telah menegaskan bahwa pemerintah menolak mengeluarkan Perppu untuk memperluas kewenangan KY dalam menjalankan kekuasaannya. Salah satu pertimbangan, kata Yusril, adalah tidak ditemukannya definisi genting dan memaksa dalam kasus korupsi.

Saat ditanya apakah KY dapat kembali mengusulkan Perppu itu kembali, Danang menjelaskan hal itu sulit dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan politik. Menurut dia, yang harus dilakukan KY adalah memperluas kewenangannya dengan benar-benar memilah calon hakim agung jauh-jauh hari.

Jika calon hakim agung itu tak mendukung gerakan pemberantasan korupsi, maka dia tak bisa dipilih, paparnya.

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengatakan proses revisi undang-undang justru dikhawatirkan dapat melemahkan posisi KY di kemudian hari.

Arifin menjelaskan posisi politis anggota DPR sendiri dapat membuat institusi pimpinan Busyro Muqoddas itu berkurang. Selain itu, tandasnya, tak ada kesadaran antara pemerintah dan DPR tentang gentingnya korupsi peradilan.

Apalagi banyak anggota DPR yang merangkap sebagai advokat. Mereka bisa menjalin hubungan dengan hakim agung dan MA, ujarnya.

Sampaikan alasan
Firmansyah juga menjelaskan seharusnya Presiden yang menyampaikan alasan tidak ditemukannya alasan kegentingan yang memaksa soal korupsi, dan bukan menterinya. Presiden harus menjelaskan alasan mengapa tidak ada kegentingan yang memaksa.

Dia menguraikan saat ini yang harus dilakukan oleh KY adalah memperkuat pemahaman di tingkatan masyarakat soal kewenangannya. Walaupun banyak rekomendasi institusi itu yang tak ditanggapi MA, Firmansyah mengatakan hal tersebut justru membuat publik mengetahui watak lembaga pimpinan Bagir Manan itu.

Dunia peradilan sudah parah. Jika semakin banyak rekomendasi KY yang tak ditanggapi, justru MA menelanjangi bobrok dirinya sendiri.

Dimintai tanggapannya, anggota Komisi III DPR Maiyasyak Johan mengatakan dirinya mempersilakan usulan revisi undang-undang diajukan. Menurut dia, KY adalah institusi yang membantu MA untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Revisi diperlukan, asal tidak digunakan untuk mengalahkan institusi lainnya. (redaksi@bisnis.co.id) Oleh Anugerah Perkasa-Bisnis Indonesia

Sumber: Bisnis Indonesia, 17 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan