Korupsi di Rezim Otonomi
Sebanyak 17 gubernur dari 33 kepala daerah provinsi di Indonesia tengah berstatus tersangka dalam berbagai kasus hukum.
Catatan ini menambah panjang daftar 155 kepala daerah yang kini sedang menjalani proses hukum. Mungkinkah itu terkait tingginya biaya politik pilkada yang disinyalir menghabiskan Rp 60 miliar-Rp 100 miliar? Bandingkan biaya politik pilkada dengan gaji tertinggi gubernur, yakni Gubernur DKI yang Rp 90 juta per bulan. Dikalikan masa jabatan, seorang gubernur selama masa jabatan menerima tak lebih dari Rp 6 miliar, jauh dari biaya pilkada yang dikeluarkan.
Tak mengherankan apabila korupsi di negeri ini kini jadi rimba permasalahan yang kian tak jelas batas dan cara penyelesaiannya. Sebuah kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang, dan berakar pada apa yang disebut filsuf FW Nietzsche kehendak berkuasa.
Nietzsche mengatakan, hakikat dunia ini tak lain adalah kekuatan. Hidup adalah kumpulan kekuatan yang berada di bawah satu penguasaan. Pilkada yang seharusnya jadi forum kedaulatan rakyat kini tak ubahnya arena kontes kekuatan yang distimulasi kehendak berkuasa. Di dalamnya tak jarang menghadirkan amoralitas permainan kekuasaan politik. Kalau demokrasi jadi pembungkus pilkada, struktur perpolitikan yang tak terbiasa melihat yang lain (baca: lawan politik) dari kedekatan dan dengan hati akan menjadikan pilkada pertarungan harga diri kelompok yang berkelindan dengan ambisi serta hasrat berkuasa.
Padahal, dalam pandangan filsuf Martin Heidegger, pilihan individu menjadikan dirinya subyek yang mencintai kebebasan atau kekuasaan, yang mengakui kehadiran yang lain dengan penuh hormat dan meng-ada di dunia dengan perhatian atau tidak, menentukan kebusukan atau keharuman masyarakat.
Habitus publik yang tak dipenuhi modal sosial dengan nilai-nilai demokrasi, antianarki, kejujuran, penghormatan atas yang lain, dan empati akan menjelma jadi habitus yang menyemai kekacauan dan disorientasi moralitas. Dalam kondisi tersebut, pilkada tak bakal mampu menawarkan demokrasi. Individu sebagai unsur habitus publik dalam kondisi itu tak mampu tampil dengan ciri kemanusiaan.
Ini yang disebut Feuerbach makhluk berrasio atau berakal budi dalam mengambil keputusan untuk menentukan sikap politik dalam ruang publik politis. Individu yang memilih dan dipilih dalam struktur perpolitikan tanpa modal sosial telah kehilangan tritunggal hakikat kemanusiaan: daya pikir, daya kehendak, dan kekuatan afeksi.
Ini memungkinkan terjadinya apa yang disebut Pierre Bourdieu dominasi simbolik, yaitu kekuasaan untuk menyatakan ”benar” atas sesuatu dengan cara mengekspresikannya. Dalam kondisi ini, korupsi telah tampil mengekspresikan diri sebagai dominasi simbolik yang direproduksi lewat kontestasi kekuasaan dan distimulasi kehendak berkuasa.
Menyimpan anarki
Dengan kondisi demikian, situasi sesungguhnya menyimpan anarki nilai dan pertarungan kepentingan meski selalu diselubungi tanda palsu tentang kedaulatan rakyat atau merepresentasi konstituen. Hal itu serupa situasi pada masa Nietzsche, yaitu adanya komunitas minim moralitas yang mengodifikasi kehendak berkuasa dan menggunakan struktur ruang publik politik untuk menyalurkan hasrat.
Nietzsche sebenarnya memimpikan sistem hukum yang mampu menciptakan dan menjaga ketenteraman masyarakat dari ancaman kehendak berkuasa para individu dalam sistem yang menghalalkan segala cara.
Upaya menyingkap korupsi yang bersembunyi di balik otonomi bisa dilakukan dengan mereproduksi teori kritis. Ini adalah kelanjutan proyek pencerahan, yaitu menjadikan emansipasi politik, kejujuran, dan rasionalitas politik sebagai ukuran dan fondasi demokrasi. Caranya dengan meregulasi cara-cara bertanggung jawab dan beradab dalam kontes politik dan menolak apa yang dalam visi Manikean disebut kepatuhan buta yang menstimulasi penyimpangan, kekerasan, dan kebohongan publik.
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Januari 2011