Korupsi itu Syirik Sosial; Wawancara Teten Masduki di website Jaringan Islam Liberal
Hubungan tinggi-rendahnya korupsi dengan religiusitas suatu negara terkadang sulit ditentukan. Negara yang dikenal religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru sangat tinggi dalam urusan korupsi. Sebaliknya, sejumlah negara sekuler justru berhasil menekan tingkat korupsinya. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Hubungan tinggi-rendahnya tingkat korupsi di sebuah negara dengan tingat keberagamaan (religiusitas) negara terkadang sulit ditentukan. Negara yang dikenal sangat religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat tinggi dalam urusan korupsi. Sebaliknya, sejumlah negara sekuler yang abai pada agama, justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling minim. Padahal, jika merujuk doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal (dalam hal ini Islam), Indonesia --sebagai negara dengan populasi muslim paling besar di dunia-- tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi?
Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) beberapa waktu lalu (8/4) mewawancarai Teten Masduki, aktivis Indonesian Coruption Wacth (ICW) yang dikenal lantang menyuarakan persoalan korupsi di Tanah Air. Ia mengatakan bahwa korupsi juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan syirik, tapi sifatnya sosial. Untuk mengurai berbagai persoalan seputar korupsi dan hubungannya dengan agama, berikut paparan lengkapnya:
ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Bung Teten, bagaimana perasaan Anda karena negara kita Indonesia, dengan populasi muslim terbesar di dunia, menempati peringkat korupsi yang sangat tinggi?
TETEN MASDUKI (TM): Jelas kenyataan itu luar biasa mengganjal hati. Mestinya kita harus menjadi negeri yang bersih, kalau saja betul-betul menjalankan ajaran Islam. Negeri-negeri yang sekuler justru tergolong negeri yang bersih dari korupsi. Makanya saya berkesimpulan, tidak ada hubungan antara besarnya populasi Islam dalam sebuah negeri dengan bersihnya negeri tersebut dari tindak korupsi. Saya melihat persoalan ini lebih pada sejauh mana hubungan manusia dengan manusianya diatur.
UAA: Maksud Anda?
TM: Tidak adanya hubungan antara agama dengan tingkat korupsi, mungkin lebih bersifat karikatural. Boleh dikatakan, terdapat dua kelompok orang yang bersih dari korupsi. Pertama, orang yang betul-betul takut dengan hukum Tuhan. Tapi kelompok pertama ini sedikit sekali jumlahnya. Kedua, khususnya di negeri yang sekuler, motif tidak korupsi bukan karena takut kepada Tuhan, tapi lebih bersifat rasionalis saja. Misalnya, kalau mereka menyuap polisi, mereka sadar itu akan menghancurkan tatanan hukum. Kalau mengambil hak orang lain, mereka sadar akan menyengsarakan banyak orang.
UAA: Kalau bukan kesadaran akan larangan dari “Atas” untuk tidak korupsi, seperti di negeri-negeri sekuler yang tidak menempatkan agama begitu penting, apa motivasi lain yang menahan mereka untuk tidak korup?
TM: Kesadaran sosial, semacam penghargaan terhadap hak orang lain. Mereka sadar betul kalau korupsi akan menilap hak orang. Mereka sadar kalau merusak sistem ekonomi (dengan korupsi), sistim perekonomian negara akan hancur. Islam kan sebenarnya menanamkan kesadaran seperti itu. Pada hakikatnya Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi. Jadi sebenarnya, Islam datang untuk memerangi sistem ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Korupsi dapat menghancurkan apa saja.
Sebetulnya saya tidak ingin menyebut soal ini tidak berkaitan dengan soal agama. Hanya saja, mungkin praktik agama kita yang pemaknaannya keliru, karena lebih menekankan hal-hal yang bersifat ritual. Makanya, saya kadang mengejek orang-orang yang getol salat sampai hitam jidatnya, tapi dalam kehidupan sosial justru menolelir tindak-tindak korupsi.
UAA: Banyak yang mengharapkan para kiai atau tokoh agama memberi keteladanan dalam proses penumpasan tindak korupsi. Bagaimana menurut Anda?
TM: Agak sulit, karena para kiai tahu betul bahwa tindak korupsi bukan syirik; bukan bagian dosa besar yang tak terampuni. Para kiai tahu persis bagaimana cara bertobatnya kalau melakukan korupsi. Mestinya tidak seperti itu. Menurut saya, kesadaran terhadap Tuhan (misalnya dalam bentuk ritual salat) tidak cukup kalau tidak dibarengi kesadaran sosial. Kalau dilihat dari hirarki dosanya, korupsi sudah termasuk dosa yang tak terampuni. Dosa sosial seperti itu termasuk dosa yang tidak terampuni.
UAA: Mungkin juga bisa disebut syirik sosial?
TM: Ya, syirik sosial. Makanya, saya kira kita harus menentukan apakah seorang koruptor itu menuhankan Allah atau justru menuhankan benda-benda, kekayaan, atau kekuasaan. Untuk hal yang satu ini, kita nampaknya masih jauh tertinggal dari nilai-nilai yang berkembang di negara-negara sekuler.
UAA: Menurut Anda, faktor apa yang paling berperan dalam memberantas korupsi; keteladanan tokoh masyarakat, atau sistem yang dipertegas law enforcement?
TM: Bisa dua-duanya. Tapi untuk konteks Indonesia, ketika sistem hukum dan sistim sosial tidak mendukung, faktor keteladanan berperan sangat penting. Jadi harus dimulai dari diri sendiri. Untuk pola hubungan masyarakat yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan.
UAA: Apakah Anda masih berharap Islam sebagai agama punya kontribusi untuk memberantas virus korupsi?
TM: Saya masih punya keyakinan besar, justru karena mayoritas kita beragama Islam. Untuk itu, memang tepat menggunakan pendekatan agama.
UAA: Dulu Pak Harto berhasil menggunakan “agama” untuk menyukseskan program keluarga berencana (KB). Apa begitu formulasi perannya?
TM: Saya kira bisa begitu. Tapi sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu korupsi kurang sekali. Kita melihat, sentimen persaudaraan sesama muslim dengan Palestina ataupun Irak luar biasa. Semua energi dilibatkan dan sedia kita kerahkan. Tapi untuk soal korupsi, penggusuran, dan problem-problem sosial yang bersinggungan langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat. Padahal menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada usaha perbaikan sistem sosial.
UAA: Anda meyebut agama bisa diandalkan untuk memberantas korupsi, tapi harus ditafsirkan lagi. Bisa lebih dijelaskan?
TM: Contoh-contoh konkretnya kan sudah ada. Zaman awal turunnya Islam di Mekkah, agama kan berperan seperti itu. Tapi sekarang konsentrasi agama sudah bergeser dan direduksi dalam urusan yang ritual saja. Urusannya melulu soal ibadah yang bersifat mekanis. Makanya diperlukan pemaknaan kembali atas agama. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara soal kemiskinan. Sementara korupsi itu dampaknya menimbulkan kemiskinan.
UAA: Apa kaitan antara korupsi dengan kemiskinan?
TM: Sanksi bagi pencuri dalam agama kan sudah jelas. Saya ingin memberi perbandingan antara pencuri dan koruptor. Seorang pencuri ayam misalnya, paling banter hanya mampu mencuri satu kandang ayam, dan dampaknya tidak seberapa terasa bagi kemaslahatan umum. Tapi korupsi yang terjadi di sektor industri ayam, akan berdampak pada hancur dan bangkrutnya industri ayam.
UAA: Tapi faktanya, maling ayam lebih mudah tertangkap ketimbang maling bank?
TM: Nah, itulah yang sangat kita sesalkan. Ada sanksi sosial yang luar biasa terhadap pencuri kecil. Tapi terhadap koruptor, karena persoalannya disamarkan dan lain sebagainya, kita tak bisa memberi sanksi apa-apa.
UAA: Bung Teten, apakah ada kaitan antara keterlibatan Anda dalam ICW dengan keimanan Anda sebagai seorang muslim?
TM: Mungkin pertama karena faktor tidak bisanya saya tutup mata atas ketidakadilan. Tapi secara tidak disadari, itu juga dipengaruhi nilai-nilai Islam yang pernah saya peroleh. Intinya, karena Islam mengajarkan untuk memerangi ketidakadilan; ketidakadilan struktur politik, sistem ekonomi yang ekspolitatif, sistem sosial yang membedakan kasta, dan lain sebagainya. Mungkin itu yang mendasari saya. Saya sadar, memberantas korupsi merupakan proyek besar. Mungkin saya bisa frustasi.
UAA: Sekarang, apakah derajat optimisme Anda masih cukup besar?
TM: Saya optimis. Kalau saya tidak punya keyakinan, mungkin saya bisa frustasi. Tapi frustasi kan juga tidak dibolehkan agama. Dalam ajaran agama, kita tidak boleh putus asa dan mesti terus menerus berikhtiar.
wawancara ini dimuat di website Jaringan Islam Liberal [http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=568], Tanggal dimuat: 9/5/2004