Korupsi Lagi di Perhubungan
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI mengungkap kasus korupsi pengadaan 65 kapal patroli senilai Rp 36,5 miliar di Kementerian Perhubungan pada Sabtu pekan lalu. Seorang pejabat Kementerian ditetapkan sebagai tersangka dan 35 orang telah diperiksa sebagai saksi (Tempo.co, 25 November 2017).
Kabar ini tidak hanya mencoreng wajah Kementerian Perhubungan, tapi juga menambah deretan kasus korupsi yang terjadi di sana. Terungkapnya kasus ini hanya berselang tiga bulan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Direktur Jenderal Hubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono.
Antonius ditangkap karena menerima suap dari Komisaris PT Adhi Guna Keruktama, Adiputra Kurniawan, dalam proyek pengerjaan pengerukan di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dalam operasi tersebut, KPK berhasil menyita 33 tas dan kartu ATM berisi Rp 20,74 miliar. Jumlah uang suap tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah OTT KPK terhadap pelaku korupsi. Tonny sendiri tercatat sebagai salah seorang pemimpin Satuan Tugas Operasi Pemberantasan Pungutan Liar (Saber Pungli) dan pernah menyandang pegawai teladan di Kementerian Perhubungan.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch, dalam tujuh tahun terakhir sedikitnya terdapat 12 kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Perhubungan yang pernah diproses oleh institusi penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Data KPK bahkan menyebutkan, selama kurun 2010 hingga 2016, lembaga antirasuah itu menerima sedikitnya 62 laporan kasus korupsi yang terjadi di Kementerian. Dari segi aktor korupsi, sudah ada tiga pelaku dengan jabatan setingkat direktur jenderal yang diproses secara hukum.
Sektor yang paling rawan korupsi di Kementerian adalah pengadaan barang dan perizinan. KPK pernah memberikan rapor merah kepada Kementerian pada 2014 karena buruknya integritas pelayanan sektor publik, khususnya soal perizinan. Kementerian itu juga menjadi kementerian terburuk berdasarkan Survei Integritas Sektor Publik yang dilakukan KPK terhadap 40 unit layanan di 20 kementerian dan lembaga. Presiden Jokowi bahkan harus mendatangi Kementerian pada 11 Oktober 2016 setelah kepolisian menangkap sejumlah pegawai karena diduga menerima suap terkait dengan izin perkapalan.
Masih terjadinya praktik korupsi ini sesungguhnya menimbulkan banyak pertanyaan karena Kementerian sudah punya banyak program antikorupsi. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian pernah meresmikan ruang Pelayanan Terpadu Satu Atap Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sehingga proses perizinan dapat selesai dalam 14 hari. Pada 2013, Menteri Perhubungan membentuk Tim Penyusunan Strategi Komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti-Korupsi. Salah satu tugas tim ini adalah mengidentifikasikan area rawan korupsi di lembaganya.
Pada era pemerintahan Jokowi, Kementerian menyederhanakan perizinan untuk semua direktorat. Pada 2014, mereka membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi, dan pada Mei 2015 meluncurkan aplikasi pengurusan perizinan secara online. Terakhir, pada 2016, mereka membentuk Tim Saber Pungli.
Meski banyak program antikorupsi, implementasinya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Salah satu penyebabnya adalah tidak seriusnya komitmen pimpinan untuk mencegah dan menindak korupsi. Program antikorupsi itu terkesan hanya untuk pencitraan. Hukuman bagi pelaku yang menyimpang juga masih ringan dan tidak memberikan efek jera.
Munculnya sejumlah kasus korupsi di Kementerian tidak cukup diselesaikan hanya dengan permintaan maaf dari Menteri Perhubungan Budi Karya. Musibah ini harus menjadi momentum bagi jajaran Kementerian untuk lebih serius memberantas korupsi.
Sejumlah langkah bisa dilakukan. Pertama, memperkuat komitmen antikorupsi pimpinan Kementerian. Pimpinan sebaiknya perlu memastikan keberadaan unit atau satuan tugas pencegahan korupsi bekerja secara optimal dan efektif. Inspektorat perlu direvitalisasi agar lebih ketat dan tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan. Penghargaan dan hukuman kepada seluruh jajaran Kementerian juga harus ada.
Kedua, mendorong penerapan Sistem Integritas Nasional (SIN). Konsep SIN sudah ditawarkan oleh KPK kepada Kementerian sejak 2014. Sistem ini dirancang dengan sejumlah perangkat antikorupsi agar para pejabat tidak dapat melakukan korupsi. Seandainya mereka korupsi, dengan cepat hal ini dapat diketahui dan dilaporkan kepada penegak hukum.
SIN terdiri atas delapan komponen utama, yaitu kode etik dan pedoman perilaku; pengumuman harta kekayaan; kebijakan gratifikasi dan hadiah, pengelolaan akhir masa kerja; saluran pengaduan dan whistle blower; pelatihan dan internalisasi integritas; evaluasi eksternal integritas; dan pengungkapan isu integritas. Komponen tersebut juga perlu didukung dengan kebijakan rekrutmen dan promosi; pengukuran kinerja, sistem, dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia; dan pengadaan serta kontrak dengan efisien.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 28 November 2017, dengan judul "Korupsi Lagi di Perhubungan"