Korupsi Lingkungan

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah saatnya masuk ke soal lingkungan. Di Jawa Barat berbagai kebijakan soal lingkungan sudah lama terasa rentan. Banyak kebijakan tidak memperhitungkan kepentingan masyarakat akan lingkungan yang sehat dan tertata baik secara ekologis.

Banyak kebijakan dikalahkan oleh kepentingan individu yang memiliki kekuatan uang dan kekuasaan. Banyak kebijakan lingkungan dikalahkan kepentingan bisnis di lahan lindung dan budidaya.

Duduk permasalahannya diperbesar dengan adanya keinginan pemerintah daerah meninggikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai lahan menjadi acuan bagi penciptaan lingkungan yang menghasilkan pendapatan daerah. Setiap daerah berusaha memperbesar PAD lewat potensi lingkungan tanpa memedulikan dampak kerusakannya. Wilayah Bogor, Puncak, Cianjur, misalnya, menjadi arena pencarian PAD yang tergolong potensial.

Ruang ekologis tidak lagi diperhitungkan manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Padahal, ruang-ruang di berbagai tempat dapat menjadi ketahanan lingkungan. Lahan-lahan itu tidak lagi menjadi lahan tanam, pohon, dan hutan. Pendapatan dari lahan semacam itu terbilang kecil. Akan tetapi, pendapatan tersebut menjadi berubah dan meningkat lebih tinggi bila lahan-lahan tersebut dijadikan ruang-ruang pertumbuhan ekonomi berbasis industri pariwisata.

Pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan vila atau perumahan dinilai akan melebarkan wilayah pencarian pendapatan daerah. Para pendatang yang menghuni perumahan atau vila, misalnya, akan memberikan suntikan ekonomi bagi penduduk asli dan pemerintah daerah di berbagai struktur sosial-ekonominya.

Pandangan seperti ini, terutama bila dikaitkan dengan garis kebijakan otonomi daerah, tidak dapat disalahkan.

Kondisi geografis dan potensi kewilayahan serta tingkat sumber daya penduduk yang belum mencapai tingkat signifikan tertentu bagi pencapaian kemandirian sosial-ekonomi menjadi contoh penyebabnya. Tekanan dari pusat ikut mendorong para pengelola pemerintahan daerah segera mencapai pendapatan daerah yang tinggi. Penyediaan sentra-sentra ekonomi, misalnya, membutuhkan biaya cukup tinggi untuk mendorong penduduk mengakselerasi kegiatan usaha. Ketegasan hukum

Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya bentrokan di masyarakat, antara pihak yang ingin untung semata dan pihak yang memedulikan lingkungan. Kondisinya kini banyak dimenangi pihak yang berdalil: yang penting untung. Ini terlihat dari, antara lain, bangunan rumah di atas gunung. Yang diteruskan dengan pembuatan jalan raya, ditambah dengan tiang-tiang listrik, dan akan terus bertambah dengan banyak bangunan lain, yang intinya, membuka akses perusakan lingkungan.

Contoh lain, pemerintah hendak membongkar bangunan vila, tetapi kemudian disalahkan oleh pengadilan. Ini menyebabkan pemerintah, yang hendak membongkar berbagai bangunan yang salah, jadi kapok. Padahal, peraturannya sudah ada dan lengkap, bahkan (ada yang menilai) peraturan kita itu dianggap paling lengkap dan banyak.

Berbagai undang-undang yang secara materi sudah cukup lengkap sekali, ketika dilaksanakan, mengalami bias. Pihak aparat negara menjadi jerih, tidak tahu harus berbuat apa. Sistem hukum lingkungan harus memiliki ketegasan di dalam mengambil tindakan proses punishment. Namun, pemerintah, menurut kalangan tertentu, tidak akan mampu menghadapi pelbagai tindak pelanggaran atau kecurangan, baik yang terlihat maupun yang tidak telihat, dari berbagai pihak.

Contoh, dari sekian ribu industri, misalnya, apa bisa diawasi secara langsung? Nyatanya, ada industri yang membuang limbah ke sana kemari, dan tiba-tiba muncul di satu tempat yang salah. Belum lagi aparat yang rentan dengan kolusi, suap, dan lain sebagainya, yang memunculkan bangunan di tata ruang secara konservatif. Penegakan sanksi hukum internal pemerintahan hanya berupa mutasi kepada aparat tertentu. Padahal, di sana ada dimensi kesalahan kepala dinas (yang membuat keputusan), aparat pelaksana (yang melaksanakan), pengusaha (yang menyuap), pemilik bangunan (yang membeli), dan seterusnya. Birokrasi

Akibat semua itu, birokrasi pemerintahan menghasilkan kebijakan yang saling hantam. Di satu sisi menekankan pentingnya penataan lahan yang sustainable bagi lingkungan, di sisi lain mengeluarkan izin (lokasi dan ekonomi) untuk para pengembang atau perorangan yang membangun perumahan, vila peristirahatan, hotel, penebangan hutan liar, dan sebagainya.

Ambil contoh, kebijakan pertanahan. Dalil umum menyatakan, kebijakan pertanahan mesti mengejar tiga target secara simultan, yaitu efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian lingkungan, serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Akan tetapi, di Kota Bandung, misalnya, dalil keadilan sosial dan pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan sering dijarah oleh kepentingan ekonomi, yang sering tidak efisien dan mewakili pertumbuhan ekonomi masyarakat banyak (lebih tertuju pada pertumbuhan ekonomi individu).

Keadaan itu seakan meneruskan teori kekuasaan yang menyatakan, pihak yang berkuasa/ birokrat tetap akan menggunakan pengaruh pada obyek tertentu untuk kepentingan mereka tanpa memikirkan kepentingan publik. Dalam teori kekuasaan versi Cartwright (1959), misalnya, disinyalir bahwa kekuasaan, pada satu pihak (dalam hal ini birokrasi), dapat mengubah kebijakan dengan kekuatan yang dimilikinya.

Cara dan bentuknya bisa beraneka ragam, misalnya pertama, dilakukan oleh pelaku (agent). Pelaku-pelaku ini biasanya bisa orang perorang, panitia, kelompok, badan hukum, dan lain-lain yang mempunyai kekuasaan. Mereka membuat kekuatan yang ampuh dalam memengaruhi kebijakan (lingkungan) untuk kemaslahatan sendiri, bukan orang banyak. Kedua, dibuat oleh tindakan pelaku (act of agent). Ini adalah membuat berbagai tindakan yang menggiatkan atau menimbulkan suatu pengaruh (efek).

Untuk menimbulkan efek ini, pelaku kebijakan melakukan tindakan tertentu. Kedua hal itu merupakan sebagian kecil dari penyakit korup birokrasi yang berkenaan dengan lingkungan. Dengan pendekatan teori kekuasaan ini, diasumsikan adanya sistem birokrasi yang menjalankan fungsi dan tugasnya dengan sifat mendua.

Sulitnya penegakan hukum tata ruang di wilayah Jawa Barat dikarenakan penaatan hukum yang longgar. Ketaatan dan konsistensi aparat merupakan faktor kunci karena melalui inilah hukum bisa ditegakkan.

Yang pertama sekali menaati hukum lingkungan harusnya aparatur pemerintah/birokrat itu sendiri karena mereka berawal dari legalitas pendirian bangunan. Sebuah kebijakan publik di bidang apa pun, termasuk pada lingkup tata ruang, harus dapat menjamin terciptanya lingkungan yang benar-benar sejahtera, baik bagi mereka yang bukan anggota publik (warga negara) maupun bagi generasi di masa depan (yang kini bahkan belum lahir).

Di sini dikenal prinsip utilitarian yang mengatakan, kesejahteraan umum haruslah dimaksimalkan dengan jalan memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sejumlah besar orang, bukan hanya bagi segelintir orang.

SEPTIAWAN SANTANA K Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Islam Bandung

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan