Korupsi, Rente, dan Pelemahan KPK
DPR saat ini sedang berusaha merevisi UU KPK. Meskipun berkilah dengan menyatakan revisi itu untuk memperkuat KPK, tidak bisa dimungkiri di balik revisi ada agenda untuk melemahkan KPK dengan mempreteli kewenangan KPK.
Bila kewenangan KPK itu berhasil dipangkas, tentu KPK tidak akan mampu lagi memenjarakan banyak koruptor seperti yang dilakukan selama ini. Di sisi lain, bagi sejumlah anggota DPR, keberadaan KPK telah menjadi ancaman karena ada banyak rekannya yang telah dipenjarakan, dan sebagian lagi sedang menunggu proses persidangan.
Juga kader-kader mereka di berbagai daerah, baik yang menjabat sebagai kepala daerah atau anggota DPRD, banyak yang dipenjarakan KPK.
Meskipun pengaruh partai politik sangat besar, karena posisi KPK yang independen, intervensi dan tekanan politik terhadap penegakan hukum sulit dilakukan.
Karena itu, pemangkasan kewenangan KPK menjadi salah satu langkah yang diambil DPR, walaupun mendapat penolakan luas masyarakat. Apalagi karena keberhasilan KPK membongkar praktik korupsi, ternyata menjadikan pola penggalangan dana politik menjadi sangat berisiko.
Kasus cek pelawat yang melibatkan puluhan anggota DPR, atau kasus korupsi di Badan Anggaran yang dilakukan Nazarudin, menunjukkan dengan jelas bagaimana uang hasil korupsi dipergunakan untuk membiayai partai. Tidak mengherankan bila salah satu perlawanan terhadap KPK dilakukan dengan melemahkan KPK.
Rente
Apa yang dilakukan DPR ini bisa dibaca dari perspektif rente. Agenda pelemahan KPK bisa dilihat sebagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan praktik korupsi dengan meminimalkan risikonya.
Rente didefinisikan sebagai keuntungan dalam jumlah besar yang bisa diperoleh melalui berbagai aktivitas. Keuntungan dari rente jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang bisa didapat melalui praktik bisnis normal.
Michael Ross (2004) yang meneliti kehancuran institusi karena rente di sektor kehutanan memformulasikan tiga aspek dari rente. Pertama adalah penciptaan rente (rent creation). Kenaikan harga komoditas akan diikuti oleh pebisnis yang dengan segala cara berusaha mendapatkan konsesi, termasuk dengan cara menyuap, dan berbagai cara melanggar hukum lainnya.
Konteks penelitian Ross (2004) di Malaysia, Filipina, dan Indonesia adalah sektor kehutanan. Naiknya harga komoditas kayu membuat keuntungan yang diberikan melalui bisnis kayu akan memberikan keuntungan luar biasa, sehingga para pengusaha berupaya mendapatkan konsesi dengan cara-cara luar biasa pula.
Aspek kedua adalah ekstraksi rente (rent extraction), yakni bagaimana para pengambil kebijakan kemudian mencari untung dari rente yang didapat oleh sektor swasta.
Pengambil kebijakan yang telah memberikan konsesi akan meminta bagian dari rente yang didapat pengusaha. Apabila pada penciptaan rente pengusaha yang berusaha mendapatkan konsesi, pada ekstraksi rente giliran pengambil kebijakan, birokrat dan politisi, berusaha untuk mendapatkan bagian dari rente yang telah dinikmati para pengusaha.
Aspek ketiga adalah perebutan hak alokasi rente (rent seizing), yakni bagaimana para pengambil kebijakan berkompetisi untuk mendapatkan hak mengalokasikan rente kepada pihak lain.
Hal ini dilakukan dengan mengubah aturan dan berbagai hambatan lainnya yang menghalangi pihak lain untuk mendapatkan rente. Dalam konteks kehutanan, perebutan rente dilakukan dengan menghapus aturan-aturan yang membatasi eksploitasi hutan.
Penelitian Ross (2004) menunjukkan bagaimana perebutan rente ini yang kemudian menghancurkan institusi sehingga berdampak pada penggundulan hutan. Aturan yang mendorong pelestarian hutan diubah oleh para pengambil kebijakan karena kenaikan luar biasa harga komoditas kayu.
Bila pada penciptaan dan ekstraksi rente aktor utama adalah pengusaha yang berada di luar pemerintah, pada aspek perebutan rente aktor utamanya adalah para pengambil kebijakan, baik birokrat maupun politisi. Jadi perebutan hak alokasi rente sesungguhnya adalah proses pembusukan dari dalam.
Korupsi dan perebutan rente
Korupsi juga bisa dipandang sebagai rente, karena keuntungan yang didapat melalui korupsi jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang bisa didapat melalui bisnis apa pun. Karena besarnya keuntungan yang didapat, banyak orang berlomba-lomba untuk turut melakukan korupsi.
Para politikus dan birokrat seperti berlomba-lomba melakukan korupsi, karena profit fantastis yang bisa diberikan oleh praktik korupsi.
Ada banyak contoh bagaimana seseorang yang dulu sebagai aktivis partai hidupnya sederhana, bahkan bisa dikategorikan miskin, kini ketika menjadi politisi hidup bergelimang kemewahan.
Rente dari korupsi juga memunculkan praktik ekstraksi rente, yakni bagaimana para penegak hukum justru turut melakukan korupsi. Praktik mafia peradilan bisa dibaca bagaimana penegak hukum berusaha untuk mendapatkan bagian dari rente yang didapat para birokrat dan politisi.
Meski demikian, ada hambatan yang membatasi rente, yakni keberadaan KPK yang bisa menahan siapa pun yang melakukan korupsi. Dalam kerangka ini, yang dilakukan DPR adalah memperebutkan hak alokasi rente, yakni dengan mengubah segala aturan dan menghilangkan hambatan bagi penciptaan rente.
Bila KPK dihilangkan, korupsi akan lebih mudah dilakukan dan meningkatkan keuntungan karena risikonya semakin diminimalkan. Proses perebutan hak alokasi rente ini pada akhirnya akan menghancurkan institusi dari dalam karena yang dilakukan adalah mengubah UU dan segala aturan yang membatasi praktik korupsi.
Pembusukan dari dalam untuk melemahkan KPK harus ditolak, karena pada dasarnya hal itu adalah keinginan politisi busuk yang ingin korupsi tetap terus dilakukan.
Danang Widoyoko, Koordinator Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, Selasa, 2 Oktober 2012 − 08:28 WIB