Korupsi tiada Henti

SEMUA orang setuju bahwa salah satu roh utama kepemimpinan SBY, adalah pemberantasan korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih.

Para pembantunya, para Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), pun diwanti-wanti agar menjauhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan siapa yang terbukti korupsi maka bukan saja akan diganti melainkan juga akan diproses secara hukum.

SBY, tampaknya pula tak hanya mengandalkan Jaksa Agung untuk mengoperasionalkan kebijakannya itu, tak juga hanya berharap dengan Kapolri Jenderal Sutanto yang dikenal sebagai 'polisi bersih' itu, melainkan membentuk tim khusus pemberantasan tindak pidana korupsi (Timtas Tipikor) di bawah Jagung Timpidsus untuk menangani kasus korupsi di instansi-instansi tertentu.

Dalam berbagai kesempatan pidato dan diskusi baik di dalam maupun di luar negeri pun SBY selalu tak luput mengingatkan agenda utamanya itu. Instruksinya pun sudah dikeluarkan yang diharapkan segera ditindak lanjuti oleh para pembantunya dan atau jajaran penyelenggara pemerintahan mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah, seraya berupaya memberikan contoh untuk memulai pemberantasan korupsi dari 'dapurnya' sendiri, di istana merdeka. Dan SBY kemudian tak segan-segan menganggap 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi, sekaligus berupaya menghilangkan kesan atau label bahwa Indonesia adalah negara klepotokrasi.

Political will pemberantasan korupsi oleh SBY itu setidaknya memperoleh dua respons dari masyarakat bangsa kita. Pertama, memberikan semangat dengan membantu mengungkapkan berbagai kasus yang terindikasi korupsi di berbagai lini dan level pemerintahan kita.

Karena itulah, dalam setahun terakhir ini demikian banyak terungkap laporan korupsi di berbagai daerah dan instansi pemerintah, termasuk munculnya keberanian dari para pelapor atau saksi dari dalam (the witnesses from within) seperti yang terungkap pada kasus penyuapan di KPU oleh pegawai BPK dan Probosutedjo yang melaporkan kasus 'pemerasan' atau mafia peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang membawa-bawa nama ketuanya sendiri, Bagir Manan.

Semua itu tentu saja berangkat dari satu harapan yang sama, yakni mempercepat pemulihan citra birokrasi pemerintahan yang korup, dengan memanfaatkan tekanan dari pemegang otoritas tertinggi bangsa ini dalam pengelolaan negara. Maklum, siapa pun tahu karena berdasarkan hasil penelitian lembaga-lembaga internasional yang kredibel, Indonesia merupakan juara korupsi baik di Asia mupun di tingkat dunia.

Kedua, kendati masih dalam kategori mendukung, namun pada saat yang sama juga sebagian kelompok masyarakat menyambutnya dengan sedikit ragu, seraya berupaya menguji apakah harapan dan janji itu tak hanya sekedar retorika seorang pemimpin politik atau memang suatu kehendak murni yang sungguh-sungguh akan dilakukan.

Ini memang wajar karena berangkat dari pengalaman para politisi kerap mengumbar janji sekadar mau dikatakan sebagai reformis padahal itu semua hanya untuk mengelabui atau memperoleh dukungan dari masyarakat awam, sementara realisasi bisa nihil.

Atau, pada tingkat tertentu melakukannya tetapi dengan cara 'pilih kasih', termasuk tak memilik kemampuan untuk mewujudkannya di tengah jaringan mafia politik, jaringan pejabat korup, dan mafia peradilan yang sudah demikian mapan, sistematis dan menggurita di negara kita ini.

Proses pengungkapan berbagai kasus korupsi memang masih terus berlangsung. Sejumlah kasus sudah mulai terungkap, dari yang berskala kakak sampai ada yang tergolong korupsi kelas teri. Namun, diakui atau tidak, gerakan pemberantasan korupsi seperti itu hanya terasakan getarannya akibat media massa dan berada di seputar Jakarta.

Soalnya praktik-praktik korupsi atau kasus-kasus korupsi di berbagai daerah belum banyak tertangani, belum tersentuh, yang mengesankan terjadinya pembiaran kejahatan penyelenggara negara itu. Karena itu tidak heran kalau ada anggapan bahwa gerakan pemberantasan korupsi yang dilakukan SBY hanya berada pada tingkat wacana di Jakarta, belum menyentuh daerah.

Tepatnya, roh dan agenda SBY belum hadir di daerah. Padahal praktik KKN di era reformasi ini justru terdesentralisasi ke berbagai daerah, dengan sentuhan hukum yang sangat minim.

Tentu saja ketidakhadiran SBY di daerah itu, menurut saya, terjadi karena dua faktor yang saling terkait. Pertama, SBY sendiri belum membuat kebijakan pemaksaan terhadap aparatnya baik di Jakarta maupun di daerah untuk segera menindak lanjuti atau mengeksekusi berbagai laporan korupsi dari berbagai daerah.

Para pembantu SBY yang terkait di bidang ini seperti Jaksa Agung, Kapolri, dan Mendagri, tampaknya tidak memiliki kesungguhan untuk menangani kasus-kasus korupsi di berbagai daerah, bahkan cenderung terjadi pembiaran yang mungkin saja dinikmati oleh jajarannya.

Melalui PAH 1 DPD (Dewan Perwakilan Daerah), misalnya, pernah melaporkan secara langsung berbagai kasus korupsi di daerah kepada Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Mendagri lengkap dengan bukti-bukti dan hasil analisisnya. Tapi tak satu pun kasus-kasus itu yang ditindak lanjuti.

Suatu ketika saya ketemu dan cerita dengan Jaksa Agung dan saya menanyakan kembali kasus-kasus itu, ternyata justru menyatakan 'tak tahu atau lupa'. Saya berpikir positif saja, barangkali karena banyaknya kasus korupsi yang dilaporkan sehingga terlupakan atau tak dianggap prioritas.

Demikian kepada Mendagri, justru ada kepala daerah yang sudah terdakwa korupsi tak kunjung dinonaktifkan dari jabatannya hingga hari ini, padahal sesuai dengan pasal 31 UU No 32/2004, Presiden harus memberhentikan yang bersangkutan tanpa usulan dari DPRD, di mana semua itu harus diproses atau ditangani langsung oleh para pembantunya. Padahal dengan mengabaikan hal ini bisa berarti Presiden melakukan pelanggaran UU akibat dari para pembantunya yang 'mengabaikan'.

Dan anehnya lagi, seorang calon kepala daerah yang terpilih secara langsung dan kemudian jadi terdakwa kasus korupsi (kasus Jawa Tengah), justru dilantik, seolah-olah Mendagri tidak tahu atau tidak mau tahu. Semua ini menunjukkan bahwa seolah-olah laporan korupsi dari berbagai daerah dianggap sebagai berita koran biasa, tak perlu digubris.

Kedua, konspirasi antara pelaku korupsi dan jajaran penyidik (jaksa, kepolisian dan kehakiman) di daerah masih belum mampu dihancurkan oleh hanya semangat SBY sendiri. Para pelapor kasus korupsi di daerah, apalagi daerah terpencil yang jauh dari liputan media masa nasional, selalu terbentur oleh kuatnya jaringan mafia di daerah itu.

Kalau pada akhirnya kasus-kasus itu dilaporkan di Jakarta karena daerah tak percaya lagi dengan jajaran penegak hukum di daerah, maka watak mengabaikan dari para pejabat di Jakarta (pembantu SBY secara langsung) diperkuat dengan mapannya jaringan politik pejabat yang terlibat di daerah dengan penentu di Jakarta, serta jaringan antar penyidik di daerah dengan Jakarta yang sudah saling memahami dengan proses-proses yang berbagi perolehan materi dari kasus (pelaku) korupsi itu, maka semua laporan yang ada dari daerah akan terhenti dengan sendirinya.

Dan SBY sudah pastilah tak akan mampu mengurus sampai operasional eksekusi kasus-kasus korupsi itu, karena itu sebenarnya merupakan bagian dari kewajiban para pembantunya.

Para penyidik atau penegak hukum di daerah otonom sekarang ini tampaknya memang sedang berjaya dengan memanfaatkan kelemahan SBY yang tidak dibantu secara efektif oleh para pembantu terkaitnya. Mereka bahkan menjadi pem-back up berlangsungnya korupsi atau koruptor di daerah.

* Laode Ida, Wakil Ketua DPD, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 19 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan