Koruptor Gugat Undang-Undang KPK

KPK diminta bisa menerbitkan SP3.

Dua terpidana kasus korupsi, Mulyana W. Kusumah dan Tarcisius Walla, mengajukan hak uji terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Sirra Prayuna, pengacara Mulyana dan Walla, beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal tersebut, kata Sirra, adalah pasal 6-c, pasal 12 ayat 1-a, pasal 40, pasal 70, dan pasal 72. Berlakunya pasal-pasal tersebut merugikan hak konstitusional klien kami, ujar Sirra dalam sidang di Mahkamah Konstitusi kemarin.

Mulyana adalah terpidana korupsi dalam kasus penyuapan terhadap Khairiansyah Salman--auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang sedang mengaudit Komisi Pemilihan Umum. Anggota Komisi Pemilihan Umum itu ditangkap di salah satu hotel di Jakarta saat berupaya menyuap Khairiansyah dengan uang Rp 150 juta. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 12 September 2005 memvonis Mulyana dua tahun tujuh bulan penjara.

Sedangkan Walla adalah terpidana kasus korupsi pengadaan tanah pembangunan Pelabuhan Danar di Tual, Maluku Tenggara. Mahkamah Agung pada 16 November 2005 memvonis Walla delapan tahun penjara.

Sirra mengatakan pasal 6 dan 12--memberikan wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyadapan--bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, kata Sirra, berdasarkan Pasal 28 UUD 1945, negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi, mengembangkan kepribadian, serta mendapatkan perlindungan dalam mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi.

Tapi, dalam kasus Mulyana, kata Sirra, yang terjadi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan jebakan untuk memenuhi kepentingan penyidikan. Apa ini bisa dibenarkan? kata Sirra.

Selain itu, Sirra meminta pasal 40--Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3)--dievaluasi. Dia meminta ketentuan itu tidak bersifat mengikat. SP3 merupakan instrumen untuk mengontrol tindakan aparat penegak hukum, ujarnya.

Dalam sidang kemarin, permohonan hak uji itu didahului dengan pemeriksaan oleh hakim panel yang dipimpin hakim konstitusi I Dewa Gde Palguna, dengan anggota Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan.

Perihal permohonan hak uji itu, Achmad Roestandi mengaku berhadapan dengan situasi dilematis. Sebab, kata dia, Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memutus permohonan hak uji terhadap beberapa pasal, di antaranya Pasal 12, 70, dan 72 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena itu, dia menyarankan agar pemohon mempertimbangkan kembali permohonan tersebut. Kalau ada yang tidak urgen, sebaiknya ditarik, ujarnya. RIKY FERDIANTO

Sumber: Koran Tempo, 4 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan