Koruptor Kita Tercinta
Saturday, 15 July 2017 - 00:00
Hari ini, seorang koruptor keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi dengan santai dan tenang. Kepada kerumunan wartawan yang menunggu, ia memberi pernyataan berikut.
Saya bersyukur kepada Tuhan karena hari ini saya telah resmi ditetapkan menjadi koruptor. Ini sebuah kehormatan bagi saya karena, bagaimanapun, menjadi koruptor itu butuh keberanian mengorbankan nama baik. Tak semua orang berani melakukan pengorbanan itu. Kedua, terima kasih atas semua dukungan, terutama rekan-rekan politisi di Senayan, yang begitu heroik memperjuangkan hak angket DPR.
Banyak yang menganggap koruptor musuh bersama yang harus dipenjarakan. Saya kira itu pikiran keliru. Karena, apa jadinya kalau semua koruptor dipenjarakan? Negara ini bisa lumpuh sebab semua pejabat dan aparat masuk penjara. Bahkan, penjara pun tak bisa berjalan dengan baik karena semua sipirnya akan masuk penjara.
Karena itu, ide memenjarakan semua koruptor adalah ide yang bertentangan dengan semangat pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Maka, biarlah para koruptor bebas agar pelayanan kepada rakyat tetap bisa berjalan.
Trias koruptika
Banyak yang benci koruptor meski saya rasa kebencian itu juga keliru dan tidak pada tempatnya. Sebagai koruptor yang baik dan bertanggung jawab, saya akan menjelaskan beberapa hal.
Pertama, korupsi itu bukan soal kesempatan, melainkan soal giliran. Pada akhirnya semua akan korupsi. Membenci koruptor hanya akan menghabiskan energi bangsa ini. Lebih baik kita mulai memikirkan cara terbaik bagaimana agar keahlian dan kepintaran kita dalam bidang korupsi jadi keunggulan bangsa sehingga bisa bersaing di tingkat global.
Kedua, jika ada kesalahan yang dilakukan koruptor, haruslah itu kita lihat sebagai kesalahan oknum. Jangan gebyah-uyah, menyamaratakan, bahwa semua koruptor itu busuk. Masih ada koruptor yang baik, setidaknya seperti saya. Ingat, kalau ada polisi berbuat salah, tidak berarti semua polisi salah bukan?
Itu hanya oknum. Begitu juga hakim, jaksa, anggota Dewan, bupati sampai lurah, jika ada yang bersalah, itu hanyalah oknum. Oknum, tetapi merata. Soal ”merata” inilah yang sesungguhnya menjadi prinsip dasar dalam korupsi.
Oleh karena itu, yang ketiga, sungguh keliru anggapan kalau koruptor itu mementingkan diri sendiri. Ia juga mementingkan partai politiknya, rekan-rekan sejawat, juga kroni-kroninya. Itulah sebabnya korupsi berlangsung secara merata dan dilakukan berjamaah. Anggap saja ini semangat goyong royong yang diimplementasikan dalam korupsi.
Bagaimana korupsi terjadi secara merata juga sesuai prinsip dasar politik yang kita anut. Dalam politik dikenal trias politika, pembagian kekuasaan yang merata antara eksekutif, legislatif, yudikatif. Begitu pula dalam korupsi, ada pembagian keuntungan yang merata antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Itu disebut trias koruptika. Itulah bukti bahwa koruptor tidak pernah mementingkan diri sendiri.
Anggaran korupsi
Di Kompas (7 Juli 2017), ahli hukum Todung Mulya Lubis menulis bahwa ”korupsi bukanlah soal jumlah”. Saya setuju! Uang hasil korupsi yang dikembalikan kepada negara tidak sebanding dengan biaya penyelenggaraan pemberantasan korupsi.
Itu sebabnya kawan-kawan saya di DPR dengan hak angketnya ingin agar KPK efektif. Apabila perlu, KPK dibubarkan dan seluruh biaya yang seharusnya digunakan untuk pemberantasan korupsi itu diberikan kepada anggota Dewan, atau ditambahkan pada anggaran kenaikan dana bantuan partai politik, agar para wakil rakyat bisa memiliki dana cukup untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan terutama kepentingan-kepentingannya sendiri.
Jadi, berikanlah anggaran pemberantasan korupsi itu untuk anggota Dewan agar para anggota Dewan bisa ikut memberantas korupsi. Apabila nantinya anggaran untuk pemberantasan korupsi itu pun tetap dikorupsi, barangkali itulah prestasi tertinggi koruptor: mengorupsi anggaran pemberantasan korupsi.
Demokrasi korupsi
Di alam demokrasi, beda pendapat itu wajar. Yang penting, seperti prinsip anggota Dewan: boleh beda pendapat, asal jangan beda pendapatan. Demokrasi menjamin setiap warga negara menyampaikan pendapatnya. Maka, yang setuju atau menolak pemberantasan korupsi harus sama-sama dihormati. Menyitir penyair Chairil Anwar, ”semua layak dicatat, semua dapat tempat”.
Koruptor juga harus dihormati sebagai bagian penting dari pembangunan demokrasi di negeri ini. Asas demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Koruptor yang baik selalu memegang teguh asas itu. Karena itulah, setiap kali korupsi selalu mengatasnamakan rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Contohnya, korupsi pengadaan Kitab Suci, jelas itu untuk kepentingan rakyat. Karena Kitab Suci-nya tidak hanya untuk diri sendiri.
Selama ini kita selalu mengatakan, korupsi menyebabkan kemiskinan. Itu cara berpikir keliru. Tidak pernah ada orang yang melakukan korupsi jadi miskin! Jumlah orang miskin memang meningkat, tetapi menurut saya hal itu memang diperlukan. Bagaimanapun, para politisi itu sangat butuh orang miskin agar bisa dimanfaatkan ketika pemilu atau pilkada. Orang-orang miskin itu diperlukan untuk mendulang perolehan suara.
Lagi pula, menjadi rakyat miskin itu tidak bertentangan dengan undang-undang. Jadi, tidak perlu dipersoalkan. Lebih baik kita mempersoalkan intoleransi dan ancaman bahaya radikalisme.
Bubarkan KPK
Maka dari itu, kita tak perlu lagi mempersoalkan koruptor. Masih banyak koruptor yang taat hukum. Buktinya, banyak koruptor yang kooperatif dan jadi justice collaborator. Koruptor selalu menghormati proses hukum. Apabila ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa korupsi, tidak perlu melarikan diri. Biarlah yang menjadi buron hanya orang yang terkena perkara pornografi.
Harkat dan martabat koruptor harus kita jaga sebaik-baiknya agar kita tetap berguna bagi bangsa dan negara. Bagaimanapun, koruptor juga punya tanggung jawab untuk membangun dan memperbaiki bangsa, dengan cara yang mereka bisa.
Dalam konteks inilah sesungguhnya koruptor tak pernah mengambil uang negara, tetapi justru menyelamatkan uang negara, yakni dengan cara menyimpan di rekening pribadi. Kalau ketahuan, kan, uang itu tetap utuh dan tinggal dikembalikan. Bayangkan kalau uang negara itu tidak ”diselamatkan sementara” di rekening para koruptor, bisa-bisa uang negara itu habis untuk proyek-proyek yang pada akhirnya terbengkalai.
Daripada uang negara dihambur-hamburkan, lebih baik gunakan uang negara untuk keluarga atau anak-anak yang membutuhkan. Tentu saja, yang dimaksud keluarga dan anak-anak itu adalah keluarga dan anak-anak koruptor sendiri. Jika semua keluarga koruptor makmur, itu berarti membantu pemerintah mengurangi jumlah keluarga miskin.
Sebagai koruptor sejati, mari kita berjuang melawan stigma buruk para koruptor. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, korupsi kita berantas, yang penting kita tetap untung! Maka, hari ini, secara resmi dan aklamasi, KPK kita bubarkan!
Saya terbelalak kaget, terbangun. Cuma mimpi. Benarkan itu cuma mimpi? Bagaimana kalau itu benar terjadi, atau sebentar lagi terjadi….
AGUS NOOR, DIREKTUR KREATIF INDONESIA KITA
----------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Koruptor Kita Tercinta".