KPI Dukung Koruptor Masuk TV; Baik Juga untuk Anak

Penayangan wajah koruptor di televisi merupakan gagasan baru Kejaksaan Agung. Tujuannya agar menimbulkan efek jera dan mempermudah pelacakan buron. Ide ini juga didukung oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi, parameter keberhasilannya harus jelas dan terukur.

Kalau ada ukuran pastinya, misalnya durasi, jam tayang, dan sebagainya, pasti lebih efektif, ujar anggota Komisi Penyiaran Indonesia Ade Armando kepada Jawa Pos kemarin.

Dia mengatakan, industri broadcasting seperti televisi efektif mendukung proses pemberantasan korupsi. Dia mengakui, saat ini jenis tayangan yang mencerminkan war against corruption masih sedikit. Karena itu, upaya Kejagung itu merupakan langkah maju, ujarnya.

Menurut dosen ilmu komunikasi Universitas Indonesia ini, efek jera tidak serta merta timbul dari tayangan televisi, tapi justru dari pergunjingan masyarakat setelah menonton. Pembicaraan mouth to mouth tentang seorang tersangka korupsi akan membuat pelakunya tersiksa secara sosial. Ini jauh lebih dahsyat, katanya.

Alumnus Population Studies di Florida State University ini mengatakan, media televisi adalah media yang menjadi konsumsi keluarga. Jika mereka menonton bersama-sama tayangan wajah koruptor, ada kesempatan untuk menyosialisasikan nilai-nilai antikorupsi. Nanti istrinya akan bilang, lihat Pa, itu yang korupsi ditayangkan di TV. Papa jangan berani-berani gitu ya, kita kan bisa malu, ujarnya seraya tertawa.

Demikian juga bagi anak-anak. Sejak dini mereka akan mengenal apa itu korupsi. Perlahan-lahan bawah sadar mereka akan mencerna bahwa korupsi adalah tindakan buruk dan jahat, jelasnya.

Tentang kemasan program, menurut Ade, akan lebih menarik jika interaktif. Penayangan foto disertai keterangan saja tidak cukup. Pasti lebih banyak yang mau menonton jika bentuknya lebih kreatif. Misalnya, dengan dialog, dramatisasi, atau lainnya, sarannya.

Dari catatan koran ini, raut wajah buron yang pernah menyapa pemirsa layar kaca adalah Edy Tanzil, terpidana pembobolan Bapindo Rp 1,3 triliun. Namun, itu sebatas foto dan keterangan singkat.

Sebagai seorang yang kritis terhadap tayangan media televisi, Ade mengakui masih banyak yang harus dibenahi di dunia penyiaran. Sebab, kata Ade, taring KPI masih kurang tajam. Kami perlu dukungan penonton. Kalau menurut mereka tayangan itu tidak cerdas, berbau pornografi, ya jangan ditonton, paparnya.

Tapi, kenyataannya justru berbalik. Program bagus sepi penonton, yang berbau industri seks rating-nya malah tinggi, katanya sembari menyebut salah satu program yang tayang setiap tengah malam di salah satu televisi swasta.(rdl)

Sumber: Jawa Pos, 31 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan