KPK dan Harapan yang Membubung

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya tumbuh sebagai lembaga yang disegani. Rupanya ia juga kini dienggani. Besok, pendaftaran pemimpin KPK periode 2007-2011 sedianya akan ditutup. Tapi daftar pelamar masih sepi dari nama-nama berkelas. Pendiri Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki, kabarnya sampai kelimpungan membujuk sejumlah tokoh supaya bersedia dicalonkan.

Mengenaskan. Menggemaskan. Harapan publik terhadap lembaga ini telanjur tinggi membubung. Begitu tingginya, sampai-sampai dalam suatu seminar di Jakarta, Rabu lalu, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengeluhkannya, Yang jadi masalah sekarang adalah harapan yang kelewat tinggi kepada KPK.

KPK, yang masih seumur jagung, memang kewalahan. Dibidani baru tiga setengah tahun lalu lewat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, secara kelembagaan, ia masih jauh dari memadai. Menurut data 2006, pegawainya cuma 314 orang, bujet tahunan tak sampai Rp 250 miliar, dan belum juga memiliki kantor cabang di daerah. Di tengah harapan publik yang mengangkasa, badan ini seperti tersengal-sengal.

Berbagai kritik datang menerpa. Sebagian layak disimak, sebagian lagi terasa tak pas.

Seorang aktivis antikorupsi, misalnya, mempersoalkan langkah KPK memprioritaskan kasus-kasus yang mudah dibuktikan. Kritik ini gagal memasukkan pertimbangan yang lebih luas. Pilihan KPK itu tak kurang direkomendasikan Bertrand de Speville, mantan Komisaris ICAC (Komisi Antikorupsi) Hong Kong. Polisi kawakan Inggris ini mewanti-wanti, penyidikan kasus yang hanya berakhir dengan bebasnya tersangka akan menjadi bumerang dan merontokkan kepercayaan publik.

Contoh berikut ini adalah kecaman seorang dosen hukum yang mendasari kritiknya pada besaran rupiah. Aset negara yang dikembalikan KPK hanya Rp 25,7 miliar atau 10 persen dari biaya operasional mereka tahun ini, katanya.

Penilaian ini kelewat sempit. Kinerja KPK juga perlu ditimbang dengan berbagai indikator lain yang sulit dirupiahkan. Misalnya efek jera yang diciptakannya atau kontribusinya menempatkan korupsi sebagai isu utama pada agenda publik.

Penilaian lebih dingin dan menyeluruh diberikan Soren Davidson, Visnu Juwono, dan David G. Timberman dalam buku Curbing Corruption in Indonesia, 2004-2006. Tanda-tanda awal sangat menjanjikan. Paling tidak dalam hal komitmen KPK, kualitas stafnya, serta kesuksesannya di sektor penyelidikan dan penuntutan, mereka memuji.

Beberapa kritik Davidson dkk patut disimak. KPK, misalnya, dinilai belum berhasil menindaklanjuti langkah penindakan dengan perbaikan sistem. KPK baru menyentuh sedikit bidang pencegahan, mereka menggarisbawahi. Juga dipertanyakan soal belum disentuhnya koruptor kelas kakap dan sinyalemen masuknya pertimbangan politis dalam penetapan target penyelidikan KPK.

Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengakui keterbatasan lembaga yang dipimpinnya. Kami ini ibarat the oldman of the sea, katanya.

Seorang pejabat KPK yang minta identitasnya disembunyikan membeberkan tiga masalah mendasar yang masih membelit lembaganya, yakni, Keberanian, kecepatan, dan kerahasiaan.

Soal keberanian, ia mencontohkan kasus korupsi impor beras Bulog yang kini menyeret ketuanya, Widjanarko Puspoyo. Sejak Mei 2006, data lengkap sebetulnya sudah disorongkan ke meja pemimpin KPK. Tapi, hingga Desember, penyelidikan belum juga dimulai. Kasus ini baru bergulir setelah dibocorkan kepada petinggi Gedung Bundar Kejaksaan Agung yang kebetulan juga tengah menginvestigasi kasus impor sapi pada badan yang sama.

Masalah keberanian dalam bertindak ini pada akhirnya mempengaruhi gerak KPK yang dinilainya tak cukup sigap. Contohnya kali ini dalam kasus suap di suatu lembaga tinggi hukum negara.

KPK sebenarnya telah merancang operasi supaya tersangka bisa tertangkap tangan. Alat sadap telah dipasang, pengiriman uang suap sudah diplot. Yang jadi persoalan, penyidik KPK tak gesit bergerak. Penggeledahan baru dilakukan sebulan setelahnya. Alhasil, begitu dilakukan penggerebekan, alat bukti sudah menguap. Padahal penyadapan sempat mendeteksi perintah seorang tersangka kepada anggota keluarganya agar menyembunyikan dana haram yang diterimanya.

Kasus yang sama menjadi contoh bahwa faktor kerahasiaan masih perlu dibereskan. Sang pejabat mengungkapkan rekaman telepon internal menunjukkan indikasi bahwa sejumlah rencana penggeledahan pernah bocor kepada tersangka.

Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi tak bersedia mengomentari hal ini. Penjelasan datang dari juru bicara KPK. Johan Budi S.P. mengatakan kasus impor beras Bulog memang merupakan temuan instansinya yang lalu dilimpahkan ke kejaksaan setelah sempat mengendap 4-5 bulan di Direktorat Penyelidikan KPK. Ini bagian dari nota kesepahaman dengan kejaksaan, kata Johan, tapi peran KPK cukup besar. Ada 90 persen penggeledahan kami yang lakukan.

Soal kebocoran informasi, Johan membantahnya. Tidak ada selama ini. Kalau memang ada, tolong kami diberi tahu untuk dievaluasi.

Soal mengevaluasi sektor penindakan, Amien Sunaryadi menyatakan, ada tiga bidang penting yang belum digarap KPK. Itu adalah korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat, kantor pajak, dan Imigrasi. Di luar itu, menimbang nilai strategisnya bagi penyelamatan kekayaan negara, ia melihat ada tiga bidang yang perlu diprioritaskan pemimpin KPK mendatang. Yang pertama adalah pengadaan barang dan jasa. Pada anggaran pendapatan dan belanja negara, sektor ini ditaksir menyedot bujet Rp 250 triliun dan sekitar Rp 150 triliun dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kalau kita bisa menyelamatkan 10 persennya saja, itu sudah sangat signifikan, kata Amien.

Pengadilan adalah area strategis berikutnya. Biarpun kasusnya bisa dibongkar, kalau pengadilannya korup, harta negara hilang juga, Amien menjelaskan. Dan yang terakhir adalah perusahaan negara. Wilayah ini tak kalah penting karena nilainya pun besar. Menurut taksiran Amien, nilai buku investasi negara di badan usaha milik negara mencapai Rp 450 triliun.

Di masa mendatang, Amien menambahkan, berbagai target penindakan itu mesti dipadukan dengan langkah pencegahan dan pembangunan institusi. Terciptanya efek kejut dan terbukanya jendela kesempatan akibat penyelidikan kasus korupsi Bulog harus langsung diikuti dengan pembenahan tata kelola BUMN.

Di sini, Erry mengingatkan satu hal, Masyarakat dan pers cuma tertarik kalau ada konglomerat atau menteri ditangkap. Tapi tak begitu peduli pada upaya pembenahan sistem.

Yang lebih celaka lagi, banyak tokoh yang galak bersuara di media ternyata tak cukup peduli untuk menjadi calon pemimpin KPK. Menggelembungkan harapan publik lewat pernyataan di koran memang selalu lebih nikmat ketimbang berpeluh memimpin KPK untuk memenuhi tuntutan yang kian membubung itu. Karaniya Dharmasaputra

Sumber: Koran Tempo, 2 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan