KPK dan Penguatan Lembaga Hukum
Kita amat sering mendengar ucapan para pengamat dan aktivis tentang asas keadilan yang sama di bawah hukum dan kedudukan yang sama di hadapan proses hukum.
Ketika pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil dan memeriksa anggota DPR, polisi, jaksa, atau hakim, sebagian besar pengamat dan aktivis bersuara lantang meneriakkan kedua asas itu.
Namun, aneh bin ajaib, saat kepolisian memanggil dan memeriksa komisioner KPK—termasuk mantan Ketua KPK AA, bahkan prosesnya akan berlanjut ke pengadilan—mereka yang bersuara lantang itu ramai-ramai menunjukkan sikap tidak konsisten dengan ”melarang pihak kepolisian memanggil dan memeriksa para komisioner itu”.
Paradigma transisional
Fenomena ”lucu” itu bukan hanya muncul saat beberapa komisioner KPK dipanggil untuk diperiksa. Fenomena lebih ”aneh” saat Ketua KPK nonaktif dinyatakan sebagai tersangka, muncul penciptaan opini seolah AA mustahil bersalah. Dan upaya menangkap AA ”dinilai” sekadar upaya untuk melumpuhkan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Lama-kelamaan, satu per satu, ”pembela apriori” itu menghilang setelah polisi berhasil membeberkan bukti-bukti yang dimiliki. Tentu saja kita tidak bisa melanggar asas praduga tak bersalah. Namun, kita juga tidak bisa menganut asas praduga bersalah. Dan harus diingat, di negara hukum Republik Indonesia tidak seorang pun kebal hukum.
Hendaknya kita tidak terus hidup dalam paradigma transisional yang senantiasa memunculkan euforia kebablasan. Sudah lebih dari 10 tahun bangsa ini menjadi ”bangsa transisi”. Kini saatnya Presiden Yudhoyono (yang akan menjadi presiden periode kedua, 2009-2014) tidak terlalu terpengaruh opini publik yang seolah ingin membiarkan penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, di negeri ini dalam wujudnya yang transisional terus.
Presiden Yudhoyono, DPR, dan Mahkamah Agung terus menggalakkan penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. Namun, selaras dengan itu juga memperkuat upaya penegakan hukum yang universal, yaitu di kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan.
Tinggalkan apriori
Undang-Undang Tipikor yang baru tidak boleh mengandung pasal yang menghilangkan eksistensi KPK, sebaliknya juga tidak boleh mengandung pasal yang terus-menerus menampakkan tidak ada upaya untuk memperkuatkan institusi hukum yang universal dan permanen.
KPK tetap diberi kewenangan ”luar biasa” di tingkat penyelidikan dalam bidang pemberantasan korupsi (sama dengan kewenangan Kompas HAM dalam bidang HAM), tetapi kepolisian dan kejaksaan juga dikembalikan kewenangannya sesuai asas-asas universal tentang ”sistem peradilan pidana” yang permanen.
Penyidikan sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian dan penuntutan tunggal merupakan kewenangan kejaksaan. Pengadilan Tipikor (untuk sementara selain diisi hakim karier, juga hakim-hakim ad hoc) juga harus tetap dipertahankan eksistensinya, tetapi dengan tidak melanggar ”sistem peradilan standar di Indonesia”. Puncak peradilan di Mahkamah Agung dan Pengadilan Tipikor bernaung di dalam pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Sudah saatnya cara-cara berpikir transisional apriori primitif (”sepotong-sepotong”), seolah semua polisi, jaksa, dan hakim ”kotor”, kita tinggalkan karena ternyata unsur KPK juga tidak semua ”bersih”.
Saya yakin, tidak ada pakar hukum yang tidak pernah membaca delapan prinsip hukum modern dan universal menurut Lon L Fuller.
Pertama, tidak berdasarkan putusan untuk hal-hal tertentu. Kedua, peraturan diumumkan kepada publik. Ketiga, tidak berlaku surut. Keempat, dibuat dalam rumusan yang mudah dipahami umum. Kelima, tidak boleh kontradiksi dengan asas-asas hukum. Keenam, setiap institusi hukum diberi kewenangan yang permanen. Ketujuh, tidak boleh bersifat ad hoc. Kedelapan, harus diupayakan tidak ada jurang antara ”apa yang seharusnya” dan ”fakta yang ada”.
ACHMAD ALI Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 September 2009