KPK Selidiki Dugaan NCD Fiktif

Status kasus dugaan manipulasi penjualan NCD (Negoitable Certificate of Deposit) oleh Drosophila Enterprise kepada PT CMNP (Citra Marga Nusaphala Persada) dinaikkan ke tingkat penyelidikan. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat indikasi kuat kerugian negara dalam kasus itu.

Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pengaduan Erry Riyana Hardjapamekas, laporan dugaan korupsi NCD fiktif itu telah diterima KPK sejak lama. KPK lantas menelaah serta mengumpulkan bukti dan keterangan berbagai pihak.

Sekitar dua minggu lalu, kasus itu sudah masuk tahap penyelidikan, kata Erry melalui pesan pendeknya kepada Jawa Pos. Setelah ditingkatkan ke penyelidikan, kasus itu sangat mungkin masuk tahap penyidikan seperti selama ini dilakukan KPK. Bila berubah ke penyidikan, kasus tersebut tidak akan pernah dihentikan. Berdasar undang-undang, KPK tidak mengenal surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti di kepolisian dan kejaksaan.

Erry tidak menjawab apakah tindakan KPK itu berdasar laporan pengacara Eggi Sudjana atau bukan. Terkait pengembangan penyelidikan itu, Senin lalu penyidik KPK meminta keterangan HM. Yusuf Hamka, mantan anggota komisaris CMNP.

Pada 11 Januari lalu, Eggi mendatangi KPK untuk melaporkan kasus dugaan korupsi penjualan NCD yang diperkirakan merugikan negara Rp 155 miliar dan USD 28 juta (sekitar Rp 280 miliar). Eggi juga menuding Harry Tanoesoedibyo terlibat penjualan NCD fiktif itu. Sebelum Eggi, kasus tersebut pernah dilaporkan ke KPK oleh Abdul Malik Jan pada 29 Juli 2004.

Berdasar dokumen pengaduan itu, 27 April 1999, Drosophila -Harry Tanoesoedibyo menjabat direktur- menjual medium term notes (MTN) kepada CMNP. Penjualan itu diperantarai PT Bhakti Investama, yang Harry Tanoe sebagai direktur utama. Transaksi jual beli tidak hanya sekali, tapi kembali diulang pada 12 Mei 1999.

Berdasar audit akuntan publik Prasetio Utomo & Co, penjualan itu dinilai merugikan CMNP Rp 155,9 miliar.

Menurut rincian pengaduan itu, transaksi yang dilakukan Direktur CMNP Tito Sulistyo dan Teddy Karsadi tersebut tidak melalui persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). NCD itu baru dibuat setelah ada transaksi pada 26 Mei 1999.

Setelah ada transaksi, pada 2002 CMNP melakukan klaim kepada BPPN dan Bank Indonesia. Sebab, Unibank sebagai penerbit NCD tidak beroperasi setelah berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Pada 22 November 2002, BPPN dan BI menolak pencairan NCD tersebut.

Karena itu, CMNP menggugat BPPN, Depkeu, BI, serta Unibank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam putusannya 29 Juli 2004, pengadilan mengabulkan gugatan CMNP dan menghukum BPPN membayar USD 28 juta.

Kerugian transaksi Rp 155,9 miliar dan tidak cairnya NCD USD 28 juta itu adalah kerugian para pemegang saham CMNP. Termasuk, BUMN PT Jasa Marga (Persero) dan PT Krakatau Steel sehingga merugikan negara. (lin)

Sumber: Jawa Pos, 1 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan