KPK: Unit Kerja Presiden Fokuskan Reformasi Peradilan

Komisi Pemberantasan Korupsi berharap Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi yang dipimpin Marsillam Simandjuntak memfokuskan pada reformasi peradilan. Menurut KPK, reformasi peradilan sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan, termasuk para investor yang menanamkan investasinya di Indonesia.

Harapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini diungkapkan Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas di Jakarta, Minggu (29/10). Ia mengatakan, kritik terhadap pembentukan unit kerja ini masuk akal. Namun, katanya, yang paling penting untuk dilihat adalah efektivitas kinerja dari unit kerja ini. Karena itu, harus ada prioritas yang dilakukan oleh unit kerja ini.

Kata Erry, KPK mengajukan usulan agar unit kerja presiden ini menaruh perhatian pada reformasi peradilan dan juga mereformasi birokrasi sehingga tercipta pelayanan kepada publik yang prima. Kami tidak menafikan pentingnya reformasi di sektor ekonomi. Namun, menurut kami, sektor penegakan hukum harus menjadi prioritas pertama supaya investor memperoleh kepastian hukum, ujar Erry.

Unit kerja presiden ini mengambil bentuk seperti Presidential Delivery Unit di Amerika Serikat atau Prime Minister Delivery Unit di Inggris. Unit-unit kerja ini memang terpisah dari kabinet dan diharapkan dengan unit yang kecil mereka bisa bekerja lebih efektif.

Yang terpenting menurut KPK adalah kinerja unit ini diharapkan bisa membantu upaya-upaya pemberantasan korupsi. Unit kerja ini memfokuskan pada aspek pencegahan di mana prioritas yang dilakukan terletak pada dua hal, yaitu reformasi peradilan dan menciptakan birokrasi yang efektif kinerjanya yang berujung pada munculnya pelayanan kepada publik yang prima, kata Erry.

Tidak akan efektif
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Dewan Pertimbangan dan Penasihat Presiden serta RUU Kementerian Negara, Agun Gunandjar Sudarsa, Sabtu, mengatakan, pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) tidak akan efektif.

Persoalan riil sekarang itu ada pada koordinasi di kabinet dan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada. Kalau sekarang ada UKP3R kemudian membentuk atau menyusun program pun tidak akan efektif karena tidak memiliki landasan kuat. Para menteri lebih kuat legitimasinya untuk melakukan eksekusi karena diatur dalam UUD, ujarnya.

Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR ini mencontohkan soal tidak turun-turunnya tunjangan keselamatan petugas lembaga pemasyarakatan yang sudah dibahas sejak April 2005.

Konsep peraturan presiden pun telah dibahas Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Keuangan Negara, Departemen Hukum dan HAM. Akan tetapi, anehnya, katanya, sampai saat ini peraturan presiden itu tidak juga turun.

Saya tidak tahu apakah di tubuh kabinet terjadi sabotase atau tidak. Tapi, kalau sampai presiden tidak tahu soal ini dan ada menteri yang tidak memberitahukan, harusnya tindak saja menteri itu. Bukan buat lembaga baru, kata Agun.

Agun menduga membentuk UKP3R malah akan menimbulkan persoalan baru, misalnya terjadi tumpang tindih dengan peran menteri koordinator atau dengan sejumlah Dewan yang selama ini ada di lingkungan presiden, maupun sejumlah staf khusus presiden. (SUT/VIN)

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan