Kriminalisasi Anggota DPRD

Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR dalam rapat Badan Musyawarah DPR Selasa lalu (3 Oktober) secara mengejutkan menyatakan bahwa proses hukum yang dilakukan atas anggota DPRD dalam berbagai kasus korupsi sudah mengarah ke kriminalisasi politik kebijakan pemerintah daerah.

Panja DPR yang merupakan gabungan Komisi II dan III DPR dan dibentuk sehubungan dengan pengaduan anggota DPRD dan kepala daerah yang mengalami proses hukum berbagai dugaan korupsi dan penyimpangan selanjutnya merekomendasikan 3 (tiga) hal kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pertama, segera merehabilitasi dan memulihkan nama baik serta segenap hak anggota DPRD dan kepala daerah yang saat ini diproses dalam kasus korupsi.

Kedua, menginstruksikan aparat penegak hukum untuk tidak diskriminatif dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan kepala daerah. Rekomendasi ketiga, menegur keras Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang dinilai tidak mampu memimpin aparat kejaksaan di daerah, menangani kasus korupsi. Penanganan dilakukan dengan dasar hukum tidak tepat.

Rekomendasi dari Panja DPR tersebut dapat diartikan sebagai bentuk nyata intervensi legislatif terhadap eksekutif, sekaligus sebagai bentuk mengerdilkan upaya penegakan hukum, khususnya dalam penyelesaian kasus korupsi. Rekomendasi itu tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi.

Hal itu tentu saja menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi yang saat ini gencar didorong oleh Presiden SBY.

Bentuk perlindungan secara politik yang dilakukan DPR terhadap koleganya di daerah, yaitu anggota DPRD, sering terjadi. Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung selama dua tahun terakhir, misalnya, agenda utama yang menjadi perhatian serius anggota komisi III adalah kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Isu yang sering muncul adalah adanya diskriminasi dalam penanganan korupsi yang dilakukan jajaran kejaksaan di daerah.

Hal itu berlanjut dengan permintaan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan surat edaran yang intinya supaya pengadilan menolak kasus korupsi di daerah yang dijerat dengan pelanggaran terhadap PP 110/2000 tentang Keuangan DPRD.

Selain kontradiktif dengan agenda pemberantasan korupsi yang sedang didorong oleh pemerintahan SBY, terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi secara lebih dalam dari rekomendasi yang telah dihasilkan Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR.

Pertama, penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dalam memproses kasus korupsi DPRD/kepala daerah. Memang, telah tepat jika PP 110/2000 tidak lagi digunakan sebagai dasar untuk menjerat anggota DPRD/kepala daerah karena telah dibatalkan Mahkamah Agung.

Tetapi, yang harus diingat, korupsi yang melibatkan DPRD/kepala daerah tidak melulu sekadar pelanggaran terhadap PP 110/2000, melainkan sangat beragam.

Dalam catatan ICW, ada beberapa modus yang biasanya terjadi dalam kasus tersebut. Mulai penggelembungan (markup) anggaran, pendapatan ganda (double budget), merekayasa sumber penerimaan yang ilegal (mengada-adakan sumber penerimaan), dan pengeluaran fiktif.

Dari berbagai modus tersebut, pelanggaran PP 110/2000 hanyalah satu dimensi, selain pelanggaran hukum yang berkaitan dengan aturan keuangan negara maupun prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN.

Dengan demikian, memanfaatkan isu telah dicabutnya PP 110/2000 untuk menghentikan proses hukum terhadap para anggota DPRD/kepala daerah sangat tidak relevan.

Kedua, diskriminasi hukum. Harus diakui bahwa proses hukum dalam kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD, kental dengan nuansa diskriminasi. Hingga kini kejaksaan hanya bisa menjerat mantan anggota DPRD di luar fraksi TNI-Polri. Anggota DPRD dari TNI-Polri yang juga menikmati hasil korupsi hingga kini dapat dikatakan tidak tersentuh. Jumlah kepala daerah yang dijerat korupsi juga masih sangat minim jika dibandingkan dengan anggota DPRD.

Rekomendasi Panja DPR agar segenap hak anggota DPRD yang terlibat korupsi supaya direhabilitasi harus dimaknai sebagai upaya melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung di balik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR.

Seharusnya, ketika praktik diskriminasi terjadi, DPR secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.

Kriminalisasi anggota DPRD yang telah merugikan rakyat dan keuangan negara justru harus dilakukan jajaran aparat penegak hukum. Namun, keluhan adanya diskriminasi atau tebang pilih seharusnya juga direspons dengan terus melanjutkan proses hukum dalam kasus korupsi terhadap siapa pun yang terbukti atau terlibat dalam kasus korupsi tanpa pilih-pilih, baik politisi, TNI-Polri, birokrat, maupun kalangan swasta.

Dengan demikian, presiden harus mengabaikan rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah Komisi II dan Komisi III DPR sebagai bagian dari konsistensi kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan