Kriteria 3C untuk Pimpinan KPK

Sampai usia lima tahun sejak berdirinya, KPK telah menorehkan prestasi yang bagus dalam pemberantasan korupsi. Apalagi jika dibandingkan dengan kinerja lembaga serupa sebelumnya. Sampai saat ini, sudah banyak kasus korupsi yang terungkap baik di daerah maupun di pusat dan setidaknya 25 miliar uang negara berhasil dikembalikan.

Selain itu, menurut survei Transparency International, sampai tahun 2005 indeks persepsi korupsi meningkat hingga 2.2 poin dari 1.9 poin pada tahun 1999. Namun, karena banyak negara lain yang meningkat lebih baik, Indonesia masih berada di perangkat keenam negara terkorup di dunia bersama Azerbaijan, Cameron, Etiophia, Iraq, Liberia, dan Uzbekistan di antara 158 negara yang disurvei.

Prestasi tersebut, walaupun tidak signifikan, tentu perlu mendapat apresiasi positif. Pada 2004 Indonesia masih menempati perangkat kelima dunia dan pertama di Asia.

Meskipun tidak signifikan, kenaikan peringkat dari urutan ke-5 ke urutan ke-6 dalam kondisi penegakan hukum yang amburadul, tidak lepas dari persepsi atas beberapa prestasi KPK.

Karena potensinya begitu besar untuk dijadikan lilin penerang di tengah kegelapan perilaku korupsi di negeri ini, pemilihan ketua KPK baru layak diberi perhatian lebih oleh banyak kalangan.

Kriteria Pimpinan KPK
Mengingat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan satu pekerjaan yang ekstraberat, setidaknya, ketua KPK harus mempunyai kriteria tiga C, clean, competence, dan courage. Pertama, ketua KPK harus clean, dia harus mempunyai track record yang bersih dari perilaku penyimpangan (korupsi).

Mengapa? Sebab, sebagai lembaga penanggulangan korupsi, KPK harus mencerminkan kebersihan dari korupsi. Sehingga, tidak muncul persepsi bahwa KPK bisa saja menjadi sarang korupsi, sebagaimana pernah dikhawatirkan masyarakat terkait dengan pembukaan cabang KPK di daerah.

Kekhawatiran tersebut tentu dapat dimaklumi, mengingat kasus-kasus yang ditangani berkaitan dengan jumlah uang yang sangat banyak yang memungkinkan terjadinya praktik korupsi (baik berupa suap, penggelapan, atau yang lainnya) di tubuh KPK.

Kedua, ketua KPK harus berkompeten. Artinya, dia mempunyai kemampuan yang memadai dalam hal penindakan kasus korupsi dan kemampuan yang andal dalam memimpin.

Hal itu tentu dimaksudkan selain demi meningkatkan kinerja KPK juga demi terbentuknya lembaga pemberantasan korupsi yang solid dan disegani. Karena itu, kasus-kasus besar, seperti kasus BLBI yang sampai saat ini tidak jelas arahnya dapat segera diatasi.

Selain itu, persepsi positif dari masyarakat terhadap kinerja KPK dapat diperoleh lebih baik sebagai bentuk dorongan dan dukungan.

Ketiga adalah courage atau keberanian. Kasus-kasus korupsi melibatkan banyak kalangan yang selama ini tak tersentuh hukum. Di antaranya, melibatkan orang (penguasa) yang tega melakukan intimidasi hingga teror bagi siapa saja yang hendak mengusik mereka.

Dugaan pembunuhan terhadap Jaksa Agung Baharuddin Lopa beberapa tahun lalu bisa saja terjadi kepada para pegawai KPK, lebih-lebih sang ketua. Jadi, tidak salah, jika dikatakan bahwa ketua KPK harus berani mati (Mohammad Eri Irawan, Jawa Pos, 16/07/07).

Demi menyaring pemimpin KPK dengan tiga kriteria tersebut, seleksinya harus diawasi banyak kalangan secara ketat. Apalagi, posisi ketua KPK tentu punya banyak arti bagi banyak kalangan. Jangan sampai, pihak-pihak yang punya kepentingan tidak baik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia memengaruhi proses seleksi itu.

Pengawasan proses pemilihan tersebut, selain dari lembaga eksekutif (pemerintah) dan DPR bisa juga dilakukan oleh lembaga lain yang independence, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, dan kalangan media.

Diharapkan, kinerja KPK dapat ditingkatkan. Apalagi, menurut banyak pihak, kinerja KPK masih belum efektif dan masih terlihat tebang pilih. Terlebih, Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) yang dibentuk presiden dibubarkan. Beban yang ditanggung KPK tentu lebih berat.

Semoga, Ketua KPK yang baru, dengan dukungan seluruh komponen bangsa, dapat bekerja lebih baik. Sehingga, upaya menuju Indonesia bebas dari korupsi tak lagi sekadar mimpi. Semoga. Wailallahi nasta

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan