Kursi Panas Bernama Bulog

Salah satu hukum alam universal adalah daur kehidupan (lifecycle). Ini aksioma yang berlaku pada setiap yang ada di bumi. Aksioma ini juga berlaku pada kehidupan organisasi. Meminjam teori Ichak Adizes dalam Corporate Lifecycle (1988), secara umum organisasi akan mengalami daur kehidupan, dari periode bayi (infant), remaja (go-go), pemuda (adolescence), prima (prime), stabil (stable), aristokrasi (aristocracy), birokrasi awal (early bureaucracy), birokrasi (bureaucracy), sampai periode mati (death).

Teori ini bisa dipinjam untuk menganalisis daur hidup Bulog. Pada periode lahirnya Bulog (1967-1968), Bulog masih berkutat dengan perumusan tugas, organisasi, sistem pembiayaan, dan sistem kepegawaiannya. Periode ini kian mantap setelah disempurnakan pada periode 1969-1972 dengan menetapkan misi Bulog yang terkait dengan pembangunan nasional. Organisasi dan karyawan makin solid karena dibangun di atas corporate culture dan kepemimpinan yang kuat. Pada periode ini, Bulog telah lahir sebagai organisasi yang kuat luar-dalam yang didukung political will yang mantap. Dengan modal inilah Bulog terasa enteng mengerjakan tugas-tugas berikutnya (1973-1978 dan 1979-1984). Karyawan antusias, terbukti banyak inovasi yang muncul.

Setelah mengalami masa tumbuh (growing stage) yang membanggakan, sampailah Bulog di posisi puncak (stable organization) pada 1985-1992. Pada periode ini Bulog mereevaluasi tugas-tugasnya karena beban yang membengkak akibat pangsa pasarnya mengecil. Bulog harus mempertahankan efektivitas dan efisiensi agar tidak bangkrut. Manajemen Bulog melakukan langkah antisipatif. Tapi karena tidak ada perubahan, daur kehidupan Bulog terus meluncur ke tingkat aristokrasi dan birokrasi awal (1993-1997).

Lima ciri organisasi yang terjerembap pada tingkat aristokrasi, pertama, secara individual karyawan khawatir tentang lembaganya, tapi secara kelompok tidak mau mewujudkan kekhawatirannya. Untuk menutup kecemasan, mereka mengatakan Jangan khawatir, masih ada dewa penolong, yaitu Pak Harto (Presiden) (Sapuan, 2002). Kedua, setiap karyawan ingin ada terobosan, tetapi secara lembaga selalu bilang jangan, sehingga motonya Don't make waves, and makes business as usual. Ketiga, ada indikasi kurang proaktif menangkap peluang jangka panjang, dan kapasitas untuk merespons kebutuhan jangka pendek tumpul. Keempat, karyawan acuh tak acuh dan kurang inovasi internal. Kelima, sebagai aristokrasi, mereka sombong, keren, dan menolak realitas yang ada.

Karena belum sempat melakukan perubahan mendasar, Bulog akhirnya meluncur ke level birokrasi (1998-2001), yang cirinya, pertama, lembaganya disorganized, tiap fungsi dalam organisasi tidak tahu apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua, asyik dengan dirinya sendiri, tidak mau tahu kritik dan keluhan orang lain. Ketiga, keputusan dan/atau kegiatan lembaga lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan politik ketimbang pertimbangan bisnis. Keempat, keputusan yang dibuat oleh lembaga selalu lambat karena memerlukan pertimbangan politik. Prahara Buloggate sepanjang pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid adalah bukti yang valid.

Ketika memasuki masa transisi (2002-2003), atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), Bulog berubah status dari lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) jadi perusahaan umum (perum). Perubahan status tersebut bisa menyelesaikan masalah kepastian hukum dan transparansi. Ketika masih berbentuk LPND, status Bulog banci. Di satu sisi, Bulog diberi tugas melaksanakan sebagian kebijakan pemerintah di bidang pelayanan publik, yaitu perberasan. Makanya, aturan pengelolaan keuangannya tunduk pada Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Negara. Namun, dalam prakteknya, Bulog melakukan usaha sebagaimana aktivitas BUMN/badan usaha.

Posisi banci ini yang jadi sumber dari segala sumber terjadinya kasus nonbujeter Bulog yang sering jadi sumber keguncangan politik di Indonesia, seperti dimakzulkannya Presiden Gus Dur, diseretnya Akbar Tandjung ke meja hijau, dan dikirimnya Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Sapuan ke penjara. Dengan status LPND, seharusnya seluruh risiko usaha Bulog jadi tanggung jawab pemerintah. Namun, karena Bulog bukan BUMN/badan usaha, pemerintah tidak menuntut untuk mendapatkan keuntungan. Karena tidak ada tuntutan itulah, setiap keuntungan Bulog dimasukkan ke kas nonbujeter. Kas nonbujeter inilah yang jadi incaran penguasa untuk dimanfaatkan bagi kepentingannya.

Dengan status banci (LPND), standar akuntansi yang digunakan menjadi kacau dan tidak jelas acuannya. Sebagai LPND, seharusnya memakai standar akuntansi keuangan negara, dan setiap sisa hasil usahanya langsung disetor ke negara. Tapi sebagai pelaku usaha negara, sistem pengelolaan keuangan yang berlaku sama dengan BUMN, yaitu menyetorkan sejumlah keuntungan kepada negara sesuai dengan hasil rapat pemegang saham, yaitu pemerintah. Ketidakpastian inilah yang menempatkan posisi Bulog sangat rawan dari intervensi kepentingan politik. Sebab, pengelolaan keuangan hanya berdasarkan keputusan presiden, bukan berdasarkan undang-undang keuangan negara. Perubahan kelembagaan Bulog menjadi perum akan bisa menyelesaikan ketidakjelasan tersebut.

Setelah berjalan hampir lima tahun (2003-2007), rupanya kepastian hukum dan transparansi Bulog hanya ada di tingkat teori. Transformasi Bulog dari organisasi yang berkultur birokratis dan korup menjadi organisasi inovatif, berorientasi entrepreneur, dan transparan belum sepenuhnya terjadi. Di mana salahnya? Saya menduga, asumsi awal bahwa pelegalan dua fungsi, fungsi sosial dan fungsi bisnis, bakal bisa berjalan sinergis justru jadi biang persoalan. Penggabungan dua fungsi Bulog antara tujuan memupuk laba dan fungsi pelayanan publik justru menimbulkan komplikasi dan konflik kepentingan.

Mengapa? Kedua tujuan tersebut hakikatnya tidak mungkin bersatu. Sebab, dalam implementasinya, fungsi penyangga kebijakan sering kali lebih bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder, misi kebijakan yang bersifat sosial sering kali dijadikan kambing hitam kegagalan. Itulah sebabnya belakangan ini muncul keluhan terhadap kinerja Bulog. Bulog dinilai melalaikan tugas publik, bahkan dicap melenceng jauh dari tujuan pendiriannya. Sebaliknya, Bulog justru asyik-masyuk dengan bisnisnya, mengeruk rente dan komisi.

Transparansi yang belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kultur organisasi membuat Bulog rawan korupsi dan moral hazard. Dengan kondisi semacam ini, Bulog tak hanya belum bisa menggeser citranya sebagai lembaga korup, tapi juga bisa terjerembap ke level death. Konsekuensinya, siapa saja yang menduduki posisi puncak di Bulog identik dengan--meminjam istilah Wakil Presiden Jusuf Kalla--duduk di kursi panas. Jika kurang lentur mengikuti permainan politik, duduk di kursi panas akan bisa berakhir di jeruji besi. Kursi panas itu telah menelan korban Widjanarko Puspoyo dan lima pejabat Bulog lainnya. Akankah Mustafa Abubakar, pengganti Widjanarko, lolos dari kursi panas?

Khudori, Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 2 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan