Lagi, Tata Kelola Pemerintah Digugat

Isu tata kelola (governance) dalam manajemen keuangan pemerintah, kembali mengemuka, tatkala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi status disclaimer (tidak memberi pendapat) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2005. BPK menemukan Rp 35,6 triliun aset BUMN yang tidak jelas statusnya; ratusan rekening pemerintah yang tidak tercatat di neraca pemerintah pusat; serta ratusan rekening yang diatasnamakan pribadi-semua berjumlah Rp8,54 triliun (Kompas, 4 dan 5/10/06).

Ini sebenarnya bukan persoalan baru, karena pada tahun sebelumnya pun BPK juga memberi status disclaimer untuk LKPP 2004. Apa esensi persoalan kasus ini, dan adakah implikasinya bagi kinerja perekonomian Indonesia? Mengapa kasus ini terjadi?

Alasan yang paling standar dan elementer adalah banyak birokrat yang sengaja membuat banyak rekening di departemennya - atas nama pribadi - untuk menampung dana berbagai macam proyek. Ini adalah jalan pintas yang bisa membuat gampang pencatatan keluar-masuk dana sebuah proyek. Jadi, bila di sebuah departemen terdapat 50 proyek, maka akan dibuatkan 50 rekening untuk menampungnya. Bagi para birokrat dan pemimpin proyek, cara ini jauh lebih mudah ketimbang memasukkan semua proyek ke dalam satu rekening. Bayangkan, betapa repotnya mengurus lalu lintas dana 50 proyek hanya melalui satu pintu rekening.

Namun, dalam prinsip tata kelola yang baik, cara ini jelas tidak bisa diterima. Istilah orang Amerika, cara ini masuk kategori a la pedestrian, diibaratkan sebagai pejalan kaki di pinggir jalan yang sudah ketinggalan zaman.

Dengan cara pencatatan yang amburadul ini, praktis dapat membuka peluang moral hazard, atau lebih konkretnya praktik manipulasi dan korupsi. Cara ini juga menyebabkan rentang pengawasan menjadi lebih luas, sehingga lebih sulit dilakukan. Itulah sebabnya BPK merasa kebingungan menilai (confused), sehingga akhirnya mengeluarkan status disclaimer.

Lalu, adakah dampak semua ini terhadap perekonomian Indonesia? Ketika BPK dan aparat penegak hukum lainnya (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Tim Tastipikor, BPKP) secara simultan gencar menegakkan tata kelola keuangan negara, maka ternyata justru bisa kontraproduktif, berupa berkurangnya insentif mendorong perekonomian.

Daya serap belanja pemerintah (government spending) hingga semester pertama 2006 hanya 40 persen. Kenapa? Karena birokrat takut salah prosedur dan ekstra hati-hati dalam membelanjakan APBN. Padahal, dalam komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pos belanja pemerintah menyumbang 8,24 persen.

Karena itu menjadi mudah dipahami, jika pertumbuhan ekonomi 2006 belum menggembirakan. Di awal tahun 2006, pemerintah semula berani menargetkan pertumbuhan 6,2 persen. Namun setelah satu semester berlalu, target diturunkan menjadi 5,8 persen. Itu pun kini kuat tanda-tanda bakal tak tercapai, paling-paling maksimal hanya 5,5 persen. Salah satu penyebabnya adalah, ketidakmampuan birokrat membelanjakan anggaran pemerintah secara optimal, karena kehati-hatian memenuhi prosedur (compliance).

Tentu masih ada faktor lain di luar isu tata kelola untuk menjelaskan rendahnya pertumbuhan ekonomi 2006. Isu-isu tersebut adalah melemahnya pengeluaran konsumsi masyarakat yang didera rendahnya daya beli (purchasing power), akibat inflasi 17,11 persen tahun lalu; yang juga direspons negatif oleh para investor, sehingga menyebabkan rendahnya persetujuan dan realisasi PMA dan PMDN. Tahun lalu, sektor konsumsi menyumbang 65 persen, dan sektor investasi berkontribusi 22 persen terhadap pembentukan output nasional (PDRB).

Disimpang jalan
Dalam keadaan ini, isu tata kelola seperti sedang berada di persimpangan jalan. Di satu jalan, ia diyakini dapat memperbaiki kinerja, tidak saja kinerja pemerintah, namun juga sektor swasta yang kini juga tengah gencar mendorong good corporate governance. Dalam teori ekonomi, isu ini disangga oleh payung besar teori X-efficiency oleh Harvey Leibenstein (Harvard, 1966 dan 1976), yang mengatakan bahwa badan usaha perlu memiliki insentif untuk berkinerja baik, terlebih jika ia tidak memiliki kompetitor.

Caranya adalah membenahi dan mendisplinkan diri melalui konsep tata kelola. Perusahaan yang didorong untuk menjual sahamnya kepada publik di bursa efek, diyakini akan efektif mendisiplinkan diri melalui kebiasaan membuka lebar-lebar akses informasi kepada pasar. Ia diharapkan dapat memenuhi lima asas tata kelola yang baik, yakni (1) transparansi, (2) akuntabilitas, (3) tanggung jawab, (4) keadilan atau fairness, dan (5) independen.

Sementara itu, di jalan yang lain, upaya membenahi tata kelola ternyata juga menyisakan serpihan-serpihan dampak negatif yang kontraproduktif, yang bermuara pada kurangnya insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Lalu, ke arah mana langkah kaki mesti kita ayunkan?

Meski mungkin masih terasa kikuk di awal implementasinya, upaya mendisiplinkan diri dalam tata kelola keuangan pemerintah, adalah keniscayaan yang harus ditempuh. Bahwa di awalnya timbul disinsentif pertumbuhan ekonomi karena birokrat bertindak terlalu hati-hati, itu adalah biaya wajar yang harus dibayar.

Kini kita mulai dapat merasakan, bahwa manajemen ekonomi makro mulai mengakomodasikan pendekatan institusionalisme, daripada sekadar pendekatan neo-klasik. Pendekatan institusionalisme mulai berkembang tahun 1920-an di Amerika Serikat, tatkala sebagian pihak menyadari bahwa dalil-dalil ekonomi seringkali tumpul menghadapi berbagai persoalan. Melalui inisiatif ekonom besar seperti Gunnar Myrdal (1898-1987), pendekatan ini menemukan momentumnya. Intinya, disiplin lain di luar ekonomi (misalnya sosiologi, politik, dan hukum) bisa saling berkontribusi untuk membentuk perekonomian nasional yang tangguh.

Kesimpulan, temuan BPK harus ditindaklanjuti, dan birokrat harus bekerja keras untuk tidak mengulang rapor disclaimer tahun depan. Namun di sisi lain, BPK juga harus terus menyerap berbagai masukan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai aspek di luar kemampuan teknis akuntansinya, sehingga menjadi lembaga tinggi yang bijak dan penuh wibawa. Pengetahuan dan pemahaman terhadap konteks permasalahan menjadi urgen, tatkala BPK menghadapi aneka kasus baru yang variatif, yang bisa jadi belum ada dalam textbook BPK selama ini. Selamat menegakkan governance.

A Tony Prasetiantono, Dosen Fakultas Ekonomi UGM dan Chief Economist BNI

Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan