Lagi, Terdakwa Korupsi Lahan Sawit Divonis Lebih Ringan; Yang Libatkan Gubernur Kaltim

Satu per satu terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan lahan kebun kelapa sawit jutaan hektar di Berau Kalimantan Timur, dijatuhi vonis hakim. Setelah Suwarna Abdul Fatah (Gubernur non aktif Kaltim), kemarin giliran rekanannya, Martias, Presiden Direktur PT Surya Dumai Group (SDG).

Martias mengikuti jejak Suwarna, sama-sama dijatuhi 1,5 tahun penjara. Bedanya, Martias didenda Rp 200 juta, dan dikenai kewajiban membayar kerugian negara sebesar Rp 4,6 miliar. Jika dalam waktu setahun tak dipenuhi, maka diganti dengan pidana selama satu tahun kurungan.

Dalam pembacaan putusannya kemarin, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Gusrizal membebaskan terdakwa dari dakwaan primer yakni dengan pasal 2 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi). Martias hanya dikenai dakwaan subsider Pasal 3 jo pasal 18 UU yang sama karena menyalahgunakan kewenangan untuk mendapatkan keuntungan sebesar Rp 4,6 miliar dari proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan subsider, ujar Gusrizal membacakan putusan. Putusan tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan JPU (jaksa penuntut umum), yakni pidana sembilan tahun penjara.

Dalam kasus yang sama, hukuman yang lebih ringan dari tuntutan JPU juga dialami Suwarna. Pada persidangan Kamis 22 Maret lalu, dia divonis hukuman 1,5 tahun serta didenda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan atas kasus penyalahgunaan lahan dan izin pemanfaatan kayu (IPK). Putusan majelis hakim yang diketuai Gusrizal jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa dari KPK yang sebelumnya menuntut hukuman tujuh tahun penjara.

Dalam sidang Martias kemarin, putusan majelis tidak bulat. Hakim anggota Slamet Subagyo mengajukan dissenting opinion (perbedaan pendapat, Red). Berbeda dengan pendapat empat majelis hakim lainnya, Slamet menilai unsur perbuatan melawan hukum sesuai dalam dakwaan primer terbukti karena pengurusan IPK diajukan langsung ke Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi (PHP) tanpa ada pertimbangkan Kanwil Dephutbun. Apalagi, hanya dua perusahaan yang tergabung dalam SGD yang menanam kelapa sawit, sembilan sisanya hanya mengambil kayu dari lahan tersebut, ujar Slamet. Akibatnya, tambahnya, program kelapa sawit sejuta hektar tak berjalan dan justru meyebabkan kerusakan lingkungan.

Dikonfirmasi seusai persidangan, Martias menyatakan kekecewaannya. Saya tak habis pikir, kok bisa dihukum. Ini bisa jadi pengalaman bagi saya dalam berbisnis. Saya pikir-pikir untuk banding, ujarnya.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 4 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan