Lampu Kuning untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif, Mochtar Muhammad, pada 11 Oktober lalu dapat dikatakan mimpi buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak berdiri pada 2003, baru pertama kalinya KPK dikalahkan oleh putusan bebas dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebelumnya, semua kasus korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor dapat dipastikan 100 persen divonis bersalah oleh hakim Tipikor.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung adalah pengadilan yang pertama meruntuhkan kejayaan KPK selama ini. Meski jaksa KPK menuntut terdakwa dengan 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, majelis hakim tetap menyatakan Wali Kota Bekasi nonaktif tidak terbukti melakukan korupsi. Pengadilan Tipikor Bandung sebelumnya juga membebaskan dua kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, yaitu Bupati Subang Eep Hidayat dan Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ru'yat.
Dalam kasus vonis bebas terhadap Wali Kota Bekasi nonaktif, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada sejumlah kejanggalan. Pertama, majelis hakim tidak mempertimbangkan vonis kasus korupsi lain yang terkait. Kasus korupsi yang terjadi di Bekasi, khususnya suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan Jawa Barat, tidak hanya menyeret Wali Kota Bekasi, tapi juga menjerat lima pelaku lainnya, yaitu tiga pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi dan dua pegawai BPK Jawa Barat, yang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor di Jakarta.
Kedua, majelis hakim terkesan hanya mempertimbangkan pembuktian yang diajukan pihak terdakwa, Mochtar. Semua alat bukti yang diajukan KPK, terdiri atas keterangan 43 saksi dan 320 barang, di antaranya bukti berupa dokumen tertulis, koper, dan uang, yang diajukan di persidangan, tidak satu pun yang dipertimbangkan oleh hakim.
Selain itu, integritas hakim yang membebaskan Mochtar patut dipertanyakan. Ketua majelis hakim Azharyadi adalah hakim yang membebaskan terdakwa korupsi Wakil Wali Kota Bogor Ahmad Ru'yat. Hakim ad hoc Ramlan Comel pernah menjadi terdakwa dalam kasus korupsi dan dihukum bersalah di tingkat pengadilan negeri, meskipun akhirnya divonis bebas di tingkat kasasi. Ramlan Comel juga hakim ad hoc yang membebaskan terdakwa korupsi lainnya, yakni Bupati Subang Eep Hidayat.
Vonis bebas terhadap terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung tidak hanya melemahkan KPK, tapi secara luas juga dapat berdampak melunturkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah. Selama ini KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dianggap saudara kembar yang saling mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pada aspek lain, bebasnya terdakwa korupsi di Bandung menambah daftar kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Dalam catatan ICW, kurang dari dua tahun sudah 26 terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ke-26 terdakwa korupsi itu divonis bebas atau lepas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung.
Mulai banyaknya pelaku korupsi yang divonis bebas dikhawatirkan lantaran tertular kebiasaan pengadilan umum. Dalam catatan ICW, sejak 2005 sampai 2009, dari 1.624 terdakwa korupsi yang diadili oleh pengadilan umum, jumlah yang dibebaskan mencapai 812 orang atau 49,4 persen. Sedangkan yang divonis bersalah hanya 831 terdakwa atau 50,6 persen. Umumnya terdakwa korupsi divonis 1-2 tahun penjara di pengadilan umum.
Sebelum dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, kinerja Pengadilan Tipikor layak diberi apresiasi. Sejak 2004 sampai 2009, dari sedikitnya 68 terdakwa korupsi yang diproses oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, semuanya dinyatakan bersalah dan dihukum penjara atau belum ada koruptor yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan ketika hanya ada satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta itu cukup memberi efek jera terhadap koruptor dengan hukuman rata-rata 3-4 tahun penjara.
Memang tidak semua vonis bebas dapat dikatakan bermasalah. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga tidak adil jika menghukum pelaku yang sungguh-sungguh tak bersalah. Karena itu, putusan bebas atas terdakwa korupsi harus dinilai secara obyektif sejak proses persidangan hingga putusan hakim dibacakan. Aspek integritas hakim juga tidak boleh dilupakan untuk ditelusuri.
Semua pihak sebaiknya tidak boleh mengabaikan adanya indikasi mafia peradilan, yang dapat mengakibatkan terdakwa kasus korupsi dibebaskan. Misalkan saja hakim Syarifuddin, yang membebaskan terdakwa korupsi Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu nonaktif, yang akhirnya tertangkap oleh KPK dalam kasus suap dan pemerasan. Selain Syarifuddin, dalam lima tahun terakhir sudah empat hakim lainnya ditangkap oleh penegak hukum karena terlibat praktek mafia peradilan.
Meskipun dilematis, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sudah suatu keniscayaan. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Kasus korupsi yang diadili bukan hanya yang diajukan oleh KPK, tapi juga dari pihak Kejaksaan.
Regulasi ini juga mengamanatkan paling lama dua tahun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dibentuk di semua ibu kota provinsi. Per April 2011, Mahkamah Agung telah membentuk 14 Pengadilan Tipikor di daerah. Munculnya vonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai sebagai lampu kuning bagi upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak harus berhati-hati terhadap upaya pelemahan pada kinerja pemberantasan korupsi, termasuk melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
KPK dan Kejaksaan sebaiknya juga perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja di bidang penuntutan. Evaluasi dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kelemahan dalam surat dakwaan, proses pembuktian dan penuntutan yang diajukan oleh jaksa KPK. Proses ini penting agar menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan perilaku hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Apalagi Komisi Yudisial, melalui regulasi terbaru, telah memiliki kewenangan melakukan penyadapan terhadap hakim yang dicurigai. Ketika ada indikasi penyuapan terhadap hakim, maka proses selanjutnya adalah melibatkan KPK untuk menangkap pelaku.
Mahkamah Agung, sebagai atasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, perlu mengevaluasi kembali semua hakim Tipikor yang telah berdinas. MA juga harus memperketat proses seleksi calon hakim Tindak Pidana Korupsi untuk ditempatkan di pengadilan antikorupsi lain yang belum terbentuk. Lembaga ini juga tidak perlu ragu melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan proses seleksi dan menelusuri rekam jejak yang bersangkutan. Calon hakim yang memiliki integritas diragukan atau bahkan buruk sudah selayaknya tidak diterima.
Langkah-langkah tersebut penting dilakukan agar eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagai benteng terakhir antikorupsi, tidak terancam oleh mafia peradilan. Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para koruptor.
Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para koruptor
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Oktober 2011