Layu Sebelum Berkembang
Awal September 2014, tiba-tiba Wakil Mendikbud beserta jajarannya mendatangi kantor Indonesia Corruption Watch di Jakarta Selatan.
Tujuan kedatangan, untuk berdiskusi dengan aktivis pendidikan terkait dengan implementasi Kurikulum 2013. Kurikulum baru ini sedang bermasalah karena buku tak kunjung sampai ke sekolah dan guru juga belum menguasai materi dan metode pengajaran baru. Diskusi berlangsung singkat dan menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Isu kritis
Berikut sebagian dari pertanyaan, klarifikasi, kritik, dan catatan atas Kurikulum 2013 yang belum mengemuka dalam diskusi. Pertama, Kurikulum 2013 menuai kontroversi sejak 2012. Muncul pertanyaan, mengapa harus mengganti kurikulum lama (Kurikulum 2006)? Pertanyaan ini muncul karena pemerintah tak punya rencana sedikit pun mengganti kurikulum. Sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah mengagendakan aksi terkait kurikulum berupa penataan dan penyempurnaan kurikulum yang ada. Perpres ini tak sedikit pun menyinggung aksi mengubah kurikulum.
Perubahan tiba-tiba ini memicu spekulasi adanya intervensi politik atas kurikulum ini. Spekulasi diperkuat oleh tak adanya dokumen riset, kajian, atau evaluasi mendalam dan komprehensif atas implementasi kurikulum yang sedang diberlakukan saat itu. Sampai kini, Kemdikbud belum mampu menunjukkan satu pun dokumen kajian dan evaluasi atas kelemahan dan kekuatan serta relevansi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kepada publik. Kalaupun ada evaluasi, hanya sebatas poin-poin yang dipresentasikan oleh pejabat Kemdikbud dalam berbagai sosialisasi Kurikulum 2013.
Perubahan kurikulum diduga juga sarat kepentingan pihak yang ingin dapat keuntungan dari penjualan buku. Perubahan kurikulum akan berdampak terhadap perubahan buku pegangan murid. Murid tak lagi dapat menggunakan buku yang digunakan murid tahun ajaran sebelumnya. Oleh karena itu, pengadaan buku menjadi lahan bagi berbagai pihak seperti birokrasi, politisi, broker, penerbit, sampai kepala sekolah untuk mendapat keuntungan.
Bagi birokrasi, perubahan kurikulum merupakan proyek baru dan tentu anggaran yang sangat besar. Kurikulum baru, misalnya, mensyaratkan pelatihan bagi guru yang jumlahnya dua juta lebih di seluruh Indonesia. Selain dana pelatihan guru, anggaran pembiayaan birokrasi untuk mendukung dan memfasilitasi pelatihan bagi guru juga cukup besar. Belum lagi biaya untuk menyusun konsep dan materi Kurikulum 2013 yang melibatkan berbagai ahli dan guru. Untuk 2014, anggaran yang tersedot untuk Kurikulum 2013 mencapai triliunan rupiah.
Kedua, Kemdikbud terkesan memaksakan Kurikulum 2013 melalui serangkaian uji publik dan sosialisasi di seluruh Indonesia. Ini menuai kritik dan penolakan luas dari kalangan masyarakat serta perguruan tinggi yang menilai substansi dan metode Kurikulum 2013 patut dipertanyakan. Kritik terutama ditujukan pada pendekatan integratif yang digunakan dalam kurikulum yang memadukan materi tentang spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Dalam pengetahuan memang dimungkinkan penyisipan materi tentang sikap dan karakter. Misalnya sikap jujur dikaitkan dengan pelajaran berhitung. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi soal berhitung dalam bentuk narasi yang di dalamnya murid mendapat pengetahuan tentang kejujuran. Namun, konsep dan kemampuan berhitung terkait kemampuan bernalar siswa tentu sulit diharapkan membentuk sikap dan perilaku anak. Kalaupun ada perubahan sikap dan perilaku anak, itu mungkin karena adanya penyisipan materi sikap sosial dan spiritual.
Masalah akan muncul ketika anak belajar tentang konsep pengetahuan lebih tinggi seperti pelajaran persamaan linier di tingkat SMA/SMK. Bagaimana mungkin mengetahui konsep dan persamaan linier matematika akan mengubah perilaku dan spiritual anak? Oleh karena itu, kurang tepat Kurikulum 2013 dinamakan sebagai kurikulum dengan pendekatan integratif. Lebih tepat jika dinamakan ”kurikulum sisip-sisipan”. Semua materi pelajaran disisipkan sehingga tiada lagi kejelasan dan fokus tentang apa yang sedang dipelajari siswa bersama guru di dalam atau di luar ruangan kelas.
Ketiga, perubahan tiba-tiba juga diikuti oleh ketidaksiapan pemerintah menyediakan infrastruktur implementasi kurikulum. Sampai kini masih banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas belum mendapat pelatihan Kurikulum 2013. Padahal, salah satu indikator keberhasilan kurikulum ini semua guru telah dilatih Kurikulum 2013 dan mampu mengimplementasikannya. Dari pemantauan ICW atas implementasi Kurikulum 2013 pada awal tahun pelajaran 2014/2015 di berbagai sekolah ditemukan bahwa guru cukup percaya diri menjalankan Kurikulum 2013. Namun, itu bukan karena pengaruh pelatihan kurikulum atau kurikulum ini sederhana, melainkan karena guru terbiasa mengelola kelas dan tidak terlalu memikirkan materi kurikulum terbaru.
Salah satu yang dikhawatirkan guru adalah metode penilaian siswa. Sebelumnya, nilai siswa diberikan dalam bentuk angka untuk setiap mata pelajaran. Saat ini siswa tak lagi dinilai dalam bentuk angka, tetapi penilaian narasi dengan empat kriteria: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Guru harus memberikan nilai narasi untuk empat kriteria untuk setiap siswa.
Jadi, jika guru—terutama guru SMP/MTs dan SMA/SMK/MA—mengelola enam kelas dan setiap kelas memiliki 35 murid, ia harus memberikan nilai narasi bagi 210 siswa. Hal ini menjadi masalah bagi guru karena menghafal ratusan nama siswa saja sulit, apalagi memberikan penilaian narasi murid satu per satu. Hampir dipastikan waktu interaksi guru habis untuk mengamati murid satu per satu sehingga fokus terhadap materi pelajaran kian berkurang. Apalagi guru juga disibukkan kegiatan lain seperti mengejar pemenuhan syarat sertifikasi.
Keempat, indikator keberhasilan lain Kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid dan guru di sekolah pada awal tahun pelajaran 2014/2015. Faktanya, murid dan guru sampai kini belum kunjung memegang buku Kurikulum 2013. Satu bulan tahun ajaran baru, buku masih dalam proses percetakan oleh penerbit. Berbagai pihak terkait pengadaan dan distribusi buku saling lempar tanggung jawab. Proses tender dipermasalahkan karena meloloskan penerbit berkapasitas cetak rendah sebagai pemenang tender. Perusahaan kecil bisa lolos tender karena panitia lelang kurang melakukan visitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya didasarkan penawaran terendah tanpa memperhatikan kapasitas produksi. Akibatnya, perusahaan tak mampu memproduksi buku yang menjadi kewajibannya dan mengalihkannya pada percetakan berkapasitas lebih besar.
Selain kapasitas produksi, kontrak payung pengadaan buku antara pemerintah dan penerbit juga bermasalah. Ketika penerbit gagal memenuhi kewajiban, pemerintah sulit menjatuhkan sanksi karena ini tak diatur dalam kontrak payung.
Di sisi lain, beberapa pihak menuding sekolah dan dinas pendidikan terlambat mengajukan permintaan buku serta pembayarannya. Kemdikbud menilai sekolah dan pemda kurang berinisiatif memesan buku kepada penerbit. Pesanan baru datang menjelang tahun ajaran baru sehingga penerbit tak punya waktu cukup menyelesaikan pencetakan dan pendistribusian buku. Akibat ketiadaan buku, murid dan orangtua murid berinisiatif mencari buku Kurikulum 2013 dengan berbagai cara. Mereka mengunduh buku melalui situs resmi Kemdikbud, menggandakan cetakan dokumen yang terdapat melalui cakram padat yang dikirim Kemdikbud ke sekolah, atau membeli melalui toko buku. Orangtua harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk mendapatkan bahan itu. Sayangnya, biaya yang telah dikeluarkan ini tidak dapat dibayar oleh pihak sekolah.
Ketiadaan buku juga memicu pihak tertentu mengambil keuntungan. Buku Kurikulum 2013 seharusnya tidak untuk diperdagangkan, tetapi dijual bebas di berbagai tempat, terutama toko buku, secara terang-terangan. Harganya jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah pada penerbit. Label tak boleh diperdagangkan ditutupi. Sayangnya, belum ada upaya penegakan hukum atas penjualan buku ilegal ini. Buku Kurikulum 2013 juga sekali pakai sehingga tak efisien dan boros anggaran. Murid pada tahun ajaran berikutnya tak dapat menggunakan buku ini lagi. Berapa anggaran untuk pengadaan buku setiap tahun?
Kelima, Kurikulum 2013 diprediksi akan layu sebelum berkembang. Hal ini karena pemerintahan SBY-Boediono segera berakhir Oktober 2014, diikuti pergantian Mendikbud. Perubahan politik pemerintahan akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemdikbud terhadap Kurikulum 2013. Konsentrasi pejabat Kemdikbud akan terpecah antara tetap mendukung atau tidak atas implementasi kurikulum ini karena adanya kemungkinan rotasi dan mutasi pejabat.
Keberlangsungan implementasi kurikulum tematik integratif akhirnya akan ditentukan oleh pemerintah baru. Apakah pemerintah baru akan tetap melanjutkan kurikulum ini atau tidak, ditentukan relevansi dan kesesuaian antara kurikulum ini dan visi dan misi yang disampaikan saat kampanye pilpres. Presiden dan wakil presiden terpilih belum menyinggung sedikit pun soal Kurikulum 2013. Dalam kampanyenya, mereka selalu menyampaikan revolusi mental bagi bangsa Indonesia. Apakah kurikulum 2014 akan sejalan dengan revolusi mental yang digaungkan? Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab oleh pemerintah baru.
Rekomendasi
Kurikulum 2013 telah menuai kontroversi, penolakan luas, serta mengakibatkan kerugian bagi pemerintah dan publik, terutama orangtua dan murid. Negara dirugikan karena sejumlah penerbit tak dapat memenuhi target pencetakan dan distribusi buku. Kerugian kian meningkat jika pemerintah baru tak melanjutkan program ini. Anggaran Rp 6 triliun lebih telah dihabiskan guna membiayai penyusunan materi, pelatihan guru, pengadaan buku, pembayaran pengarang buku, serta pembiayaan birokrasi untuk menyusun dan mengimplementasikan kurikulum.
Orangtua dan murid juga dirugikan karena semrawutnya manajemen pemerintah dalam implementasi kurikulum ini. Orangtua telah mengalami kerugian materiil berupa pengeluaran sejumlah dana untuk menggandakan dan membeli buku Kurikulum 2013. Murid juga telah dirugikan secara imaterial karena belajar tanpa buku sehingga proses belajar tak optimal. Guna mencegah kerugian lebih lanjut, pemerintah baru mendatang wajib mengkaji dua kurikulum ini. Tujuannya untuk melihat kekuatan, kelemahan, relevansi, efektivitas, dan efisiensi setiap kurikulum. Kajian ini harus didasarkan pada fakta lapangan dan masukan dari ahli pendidikan, terutama ahli kurikulum. Kajian dan hasil evaluasi selanjutnya disampaikan kepada publik guna mendapatkan masukan lebih lanjut.
Setelah mengkaji dan mendengar masukan publik, terdapat tiga opsi bagi pemerintah baru. Pertama, Kurikulum 2013 dihentikan pada saat ini dan kembali menggunakan KTSP. Opsi ini cukup memungkinkan mengingat guru sudah terbiasa menjalankan kurikulum ini. Buku Kurikulum 2006 juga masih tersedia di sekolah dan dijual di sebagian toko buku. Kurikulum baru disusun berdasarkan riset atas kajian terhadap dua kurikulum tersebut dan langsung dimulai ketika kajian atas dua kurikulum selesai dilaksanakan.
Opsi kedua, Kurikulum 2013 tetap berjalan sampai maksimal dua tahun setelah berhasilnya disusun kurikulum baru berdasarkan sintesis atas dua kurikulum itu atau tidak sama sekali. Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum selesai dilaksanakan. Opsi ketiga, merevisi sebagian Kurikulum 2013, menyiapkan guru lebih matang, dan mencetak kembali buku berdasarkan hasil revisi. Opsi ini memang menimbulkan kerugian lebih kecil, tetapi permasalahan substansi kurikulum tidak akan berubah. Padahal, salah satu inti penolakan dan kritik adalah pada substansi dan metode pengajaran dalam Kurikulum 2013.
Akhirnya, semua ini bergantung pada pemerintah mendatang. Apakah melihat Kurikulum 2013 memang relevan terhadap kebutuhan bangsa Indonesia ke depan. Atau, apakah mereka tunduk pada keinginan elite politik dan birokrasi yang memiliki kepentingan besar atas dana pengadaan buku dan pelatihan guru.
Kesemrawutan kurikulum ini telah memberikan pelajaran berharga bagi pemimpin negeri ini untuk tidak sembarang mengubah kurikulum. Apalagi kalau mengubah didorong oleh motif kepentingan politik dan mencari keuntungan dari pengadaan buku. Pendidikan bukanlah sektor yang tepat untuk dua hal ini.
Febri Hendri AA Badan Pekerja ICW
Sumber: Kompas, 19 September 2014