Legitimasi Publik Calon Kapolri
Istana akhirnya mengusulkan calon tunggal Kapolri baru, Komjen Timur Pradopo.
Munculnya nama itu mengejutkan karena sebelumnya marak tersiar kabar ada dua kandidat kuat Kapolri, yaitu Komjen Nanan Soekarna dan Komjen Imam Sudjarwo. Bahkan, terakhir muncul nama Komjen Ito Sumardi.
Beberapa fakta sosial yang terjadi akhir-akhir ini menggambarkan beratnya beban yang harus dihadapi kepolisian. Kasus Century dan indikasi adanya ”rekening gendut” yang konon dimiliki beberapa petinggi kepolisian sebenarnya menggambarkan dua hal. Pertama, belum terlihat jelas di mata masyarakat komitmen penegak hukum dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Korupsi yang telah dinisbatkan sebagai extraordinary crime harus dihadapi secara extraordinary pula.
Kedua, para penyelenggara negara belum mampu mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan integritas, sesuatu yang dalam teori kepemimpinan merupakan faktor utama menilai kapasitas pemimpin.
Kekuasaan administratif
Kesan kuatnya kepentingan Istana terhadap pencalonan Timur menimbulkan tantangan legitimasi publik karena saluran naiknya Timur lebih menggunakan apa yang disebut Habermas sebagai kekuasaan administratif. Dalam pandangan Habermas, kekuasaan administratif bukanlah subyek makro yang berkuasa untuk mengendalikan segenap masyarakat di era demokrasi deliberatif, tetapi justru tipe kekuasaan yang terdiferensiasi dari wilayah tindakan sosial.
Sebenarnya, pengisian jabatan-jabatan strategis puncak di tiga institusi penegak hukum: KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, merupakan momentum membenahi karut-marut proses penegakan hukum di negeri ini. Penguasa, dalam bahasa Habermas, harus bertindak komunikatif untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada hukum. Berbagai aksi kerusuhan yang merebak di sana-sini dan aksi terorisme yang kian berani perlu jadi bahan refleksi bagi institusi kepolisian untuk memperbaiki kinerja di kemudian hari. Lemahnya pengawasan internal di lingkungan kepolisian juga salah satu yang harus dikerjakan Kapolri baru.
Buruknya citra polisi yang sering dirujuk sebagai salah satu sebab meluasnya penyerangan terhadap polisi merepresentasikan citra fotografis dari pendekatan kekuasaan yang abai terhadap rakyat, menyalahgunakan wewenang, dan korupsi birokrasi selama ini. Serangan terhadap aparat kepolisian merupakan reduksi dari luasnya kenyataan praktik-praktik maladministrasi dan korupsi yang selama ini dinilai sering melukai hati rakyat.
Modal sosial
Kapolri baru sebenarnya harus memiliki modal sosial berupa kepercayaan rakyat sebagai langkah awal membenahi tubuh institusi kepolisian. Ini konsekuensi sebagai salah satu institusi penegak hukum yang menjadi tangan pertama dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan kasus dalam sistem keadilan pidana (criminal justice system).
Hal itu sangat penting karena hukum merupakan ruang operasi dari interaksi strategis guna mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.
Dalam pandangan Habermas mengenai teori tindakan komunikatif (theorie des kommunikativen handelns), hukum sebagai suatu sistem tindakan yang terdiri dari sistem norma-norma seharusnya dapat mendasari tatanan yang legitim dan pada akhirnya harus mengikatkan diri pada solidaritas (lebenswelt). Menimbang semua pemikiran ini, penting untuk menjadikan kepercayaan rakyat (di luar Senayan) atau legitimasi publik sebagai modal utama membenahi institusi kepolisian dan penegakan hukum dalam arti luas. Apalagi di negeri yang dalam konstitusinya mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Bisakah Kapolri baru mengimplementasikannya?
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 Oktober 2010