Lemahnya Antibodi Elite Pendidikan

Bagaikan sebuah virus, korupsi kini sudah menyebar dan mulai berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat kita. Bukan hanya di ranah politik, hukum, birokrasi, dan pemerintahan yang tertimpa korupsi. Di bidang pendidikan pun, yang notabene merupakan institusi pencerdasan, pembentukan karakter generasi muda, serta salah satu media penentu masa depan bangsa, tak lepas dari jeratan korupsi.

Padahal, idealnya, justru institusi pendidikan itulah yang seharusnya menjadi salah satu antibodi terpenting menghadapi virus korupsi. Sebab, di bidang pendidikan itulah, para aktor intelektual, berpengetahuan, dan berpendidikan berkumpul. Mulai kepala pendidikan nasional (menteri), kepala Depdiknas pusat hingga daerah, pengawas, komite sekolah, kepala sekolah, hingga para guru sekolah (pendidik).

Mereka itulah yang sejatinya mampu membendung budaya korupsi yang kini mulai menjadi makanan sehari-hari melalui kebijakan, habitus pembelajaran, transparansi dana, akuntabilitas pendidikan, komunikasi resiprokal, serta aktualisasi nilai-nilai dan norma-norma sosial-kultural. Baik diaktualisasikan di tingkat bawah (guru beserta anak didiknya) atau pun di tingkat struktural atas pendidikan itu sendiri.

Ironisnya, justru elite pendidikan itu sendiri yang melakukan praktik korupsi. Betapa tidak, bantuan dana World Bank atas rekonstruksi gedung sekolah, pengembangan kurikulum, dan pengadaan spesifikasi buku-buku pelajaran yang berkisar USD 320 juta mengalami kebocoran hingga 400 miliar (penelitian World Bank dalam Sagoro, 2005).

Dana bantuan operasional (DBO) sekolah yang diperoleh tiap SLTP sebesar Rp 4 juta juga mengalami penyunatan oleh kepala sekolah yang berkongkalikong dengan pengawas sekolah kira-kira 11,5% dengan dalih potongan tetek-bengek. (Darmaningtyas, 2005). Padahal, dalam buku pedoman DBO, tak ada petunjuk atas berbagai pemotongan tetek-bengek tersebut.

Penyunatan itu pun terjadi atas dana bantuan operasional sekolah (BOS). Sepuluh daerah yang diteliti ICW Maret-November 2006, (yakni Jakarta, Tangerang, Garut, Padang, Banjarmasin, Lombok Tengah, Sumba Barat, Makassar, Manado, dan Buton) menunjukkan adanya pungutan rata-rata Rp 98.050 untuk uang LKS dan paket sekolah serta Rp 70.615 untuk pendaftaran masuk sekolah.

Padahal, dalam juklak (petunjuk pelaksanaan) BOS, hal itu dilarang. Menurut Manajer Monitoring ICW Ade Irawan, aktor yang melakukan korupsi dana BOS itu adalah kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Ada dua modus penilapan dana BOS. Pertama, memotong dana ke sekolah melalui dinas dengan dalih akan diganti dengan dana BOS. Misalnya, Dinas Pendidikan Kabupaten memotong dana kesra dan nanti bilang diganti pakai BOS. Kedua, Kepsek memberikan setoran kepada Dinas Pendidikan setempat. Setoran itu digunakan untuk memperlancar sekolah tersebut mendapatkan proyek. (www.suarapembaruan.com)

Fenomena di atas jelas merupakan cermin paradoksal dalam pendidikan. Di satu sisi, para peserta didik dididik untuk antikorupsi melalui sosialisasi para gurunya dalam bentuk transformasi materi pelajaran, seperti sosiologi, antropologi, kewarganegaraan, agama, dll. Namun, di sisi lain, elite pendidikan yang membuat kebijakan pentransformasian pendidikan antikorupsi terhadap para siswanya itu justru melakukan praktik korupsi.

Parahnya lagi, pihak-pihak yang seharusnya menjadi pengawas sekolah secara diam-diam turut larut dalam korupsi itu. Mereka juga ikut terlibat dalam praktik korupsi dana bantuan sekolah.

Persolannya kini, mengapa dana bantuan sekolah itu banyak dikorup para elite pendidikan? Pertama, kemiskinan mentalitas dalam elite pendidikan. Elite pendidikan kita masih belum mampu memiliki sense of populis. Mereka lebih mementingkan ego pribadinya daripada kepentingan pendidikan. Misalnya, ingin memiliki mobil dan rumah mewah.

Namun, mereka ingin memenuhi keperluan pribadi itu secara mudah dan instan. Salah satu cara instan tersebut adalah mengorupsi dana bantuan pendidikan. Kalau hanya menyandarkan pada gaji per bulan, jelas keinginan mendapatkan barang-barang mewah itu akan sangat lama diwujudkan.

Seandainya kepentingan pribadi itu ditekan dan dibelakangkan serta mendahulukan kepentingan kemajuan pendidikan, mungkin berbagai dana bantuan pendidikan tersebut tidak akan dikorup.

Kedua, kontrol sosial yang lemah. Artinya, masyarakat luas mengalami kesulitan mengakses kontrol terhadap distribusi pendanaan yang dikeluarkan negara. Ini disebabkan fungsi kontrol masyarakat itu direpresentasikan oleh komite dan pengawas sekolah. Masyarakat pun menganggap bahwa merekalah yang tampaknya dapat dipercaya secara penuh guna mengawasi distribusi pendanaan atas pendidikan yang ada.

Karena kepercayaan yang berlebihan itulah, komite dan pengawas sekolah memanfaatkannya sebagai senjata untuk terlibat dalam praktik korupsi itu. Apalagi, yang menduduki komite dan pengawas sekolah itu adalah aktor-aktor yang berpikiran pragmatis. Hanya memanfaatkan status dan kekuasaan untuk meraih berbagai keuntungan ekonomis.

Ketiga, rendahnya ketegasan hukum. Sistem hukum kita selama ini dinilai banyak kalangan intelektual dan tokoh masyarakat sebagai sistem hukum kelas atas. Faktanya sangat jelas di depan mata kita. Mereka yang memiliki kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan akan mudah melawan dan menghadapi sistem hukum.

Banyak koruptor kelas kakap yang memiliki kekuasaan dan kekayaan akan mudah terlepas dari jeratan hukuman. Bahkan, mereka yang telah terperangkap dalam hukuman pun, proses penahanannya akan lebih elastis dan singkat karena diberi status tahanan luar dan berbagai bentuk remisi.

Ardhie Raditya, mahasiswa sekolah Pascasarjana Sosiologi, UGM, kini ketua FORDIS (Forum Diskusi Sosiologi) Jogjakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan