Lumpuh di Ujung Agenda

Mandeknya eksekusi yang seharusnya dilaksanakan kejaksaan atas kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja di dua daerah, yakni Sumatera Barat dan Cirebon, pascaputusan kasasi Mahkamah Agung seakan menjadi titik balik dari program pemberantasan korupsi yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.

Skenario pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang menghendaki adanya penegakan hukum yang tegas, sungguh-sungguh, dan tidak pandang bulu atas tindak pidana korupsi nyatanya masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih, sikap yang bertolak belakang antara komitmen penegakan hukum dan kebijakan menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan menghambat percepatan pemberantasan korupsi.

Coba tengok, beberapa anggota DPRD dari Sumatera Barat dan Cirebon yang telah menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD hingga saat ini masih dapat merumuskan kebijakan publik di lokus kekuasaannya masing-masing. Mereka yang secara hukum sudah dinyatakan bersalah tetap menduduki posisi penting sebagai pejabat publik (baca: anggota DPRD). Sungguh sebuah periode yang mengherankan. Program pemberantasan korupsi yang telah gencar dikampanyekan sudah dinisbikan oleh institusi penegak hukum sendiri.

Tak dapat dimungkiri bahwa kini kinerja kejaksaan melalui ujung tombaknya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, sedikit-banyak berbeda dengan kejaksaan periode sebelumnya. Banyak kasus korupsi yang sudah mulai diungkap, dari yang kecil hingga yang melibatkan pejabat penting.

Tak sedikit kepala daerah dan mantan pejabat publik yang menjalani masa-masa diperiksa oleh penyidik karena diduga terlibat tindak pidana korupsi. Namun, apa yang sudah diupayakan kejaksaan akan jatuh pada kesia-siaan tatkala tindakan yang menentukan--yakni eksekusi putusan--dalam kerangka penegakan hukum justru dihindari.

Sejauh pengamatan terhadap fenomena yang berkembang, mau tidak mau harus diakui bahwa kejaksaan hanya berkonsentrasi pada upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pembukaan kembali kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya. Sedangkan di sisi lain, kejaksaan abai terhadap kewajiban mengeksekusi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht). Padahal esensi dari penegakan hukum dalam kerangka hukum positif adalah pemberian punishment yang setara dengan tindak kejahatan yang dilakukan. Harapannya, secara psikologis, pemberian hukuman itu bermuara pada terbentuknya efek jera sehingga orang kemudian takut melakukan atau mengulangi perbuatan korupsi.

Sekadar mengingat, sejak 2 Agustus 2005, Mahkamah Agung telah menolak kasasi yang diajukan 33 pemimpin dan anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 dalam perkara korupsi APBD Sumatera Barat 2002 sebesar Rp 5,9 miliar. MA telah menjatuhkan vonis bersalah dan ke-33 orang terpidana tersebut seharusnya menjalani masa hukuman 4-5 tahun penjara. Mereka juga sudah bisa disebut sebagai koruptor. Tapi, menginjak usia satu tahun, terhitung sejak dikeluarkannya putusan kasasi sampai saat ini, kejaksaan belum berani melakukan eksekusi.

Putusan kasasi MA terhadap kasus korupsi dana APBD Kota Cirebon 2002 bernasib serupa. Pada 6 Oktober 2005, MA dalam putusan kasasi telah menjatuhkan vonis pidana 2 tahun penjara kepada 3 mantan pemimpin dan 7 anggota DPRD Kota Cirebon. Namun, sampai waktu yang sudah melebihi hitungan enam bulan sejak dikeluarkannya putusan kasasi, para terpidana belum juga dieksekusi.

Dalam posisi yang tidak tepat, kejaksaan justru mencari pembenaran untuk tidak melakukan eksekusi. Persis seperti argumentasi pemberian surat ketetapan penghentian penuntutan perkara terhadap Soeharto, kebijakan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terpidana korupsi APBD disebabkan oleh faktor kemanusiaan.

Di samping itu, muncul pertimbangan-pertimbangan bernuansa politis, seperti kekhawatiran terjadinya instabilitas di daerah karena yang akan dieksekusi adalah pejabat berpengaruh. Yang tidak cukup dipahami, kejaksaan juga memberikan opini bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan karena terdakwa tengah mengajukan upaya peninjauan kembali. Padahal jelas-jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa upaya peninjauan kembali tidak menunda pelaksanaan eksekusi.

Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan menunda eksekusi secara ekstrem bisa dikatakan sebagai bagian dari pembangkangan pihak kejaksaan terhadap perintah undang-undang. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Dalam usaha mempercepat dan lebih menjamin keefektifan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, Pasal 2 ayat 2 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menegaskan, Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.

Demikian pula dalam Pasal 30 ayat 1-b UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI sebenarnya sudah secara jelas disebutkan, Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mengacu kepada dua pasal tersebut, usaha pemberantasan korupsi dan penindakan hukumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari tugas dan wewenang kejaksaan. Sehingga kejaksaan tidak boleh berhenti pada proses penyidikan dan penuntutan atau melimpahkan kasus korupsi ke pengadilan, tapi harus hingga pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, jika kejaksaan tetap pada pendiriannya untuk menunda atau--dalam skenario terburuk--tidak melaksanakan eksekusi, sebenarnya kejaksaan sudah dapat dikatakan melanggar undang-undang.

Yang mengkhawatirkan, ekses negatif dari terbengkalainya eksekusi terpidana korupsi adalah melemahnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Usaha sungguh-sungguh untuk melaporkan berbagai dugaan tindak pidana korupsi dan dukungan bulat yang dialamatkan kepada kejaksaan akan berbalik arah menjadi kekecewaan jika masyarakat secara kasatmata melihat para terpidana korupsi masih bisa berkeliaran secara bebas, lebih-lebih mereka yang hingga saat ini masih aktif menjadi pejabat publik. Tak dapat dibayangkan bagaimana hasil dari sebuah kebijakan jika pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusannya memiliki cacat hukum dan moral.

Karena itu, mempertahankan kebijakan untuk tidak mengeksekusi sesegera mungkin terpidana korupsi hanya akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi program percepatan pemberantasan korupsi. Seprima apa pun kinerja kejaksaan dalam menyeret pelaku korupsi ke meja hijau, tanpa diimbangi dengan tindakan tegas untuk melakukan eksekusi atas putusan pengadilan, tidak akan berarti apa-apa. Sebab, sesungguhnya, akhir dari penegakan hukum adalah ketika secara nondiskriminatif semua pelaku kejahatan (korupsi) menerima akibat yang setimpal. Lumpuh di ujung agenda barangkali merupakan kata yang tepat jika pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan oleh kejaksaan dianggap bukan bagian yang esensial.

Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 3 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan