MA dan BPK Bentuk Tim Pengkaji Biaya Perkara

Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan membentuk tim untuk mengkaji biaya perkara di Mahkamah Agung. Menurut Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, tim tersebut akan menentukan unsur dalam biaya perkara yang masuk penerimaan negara. Sehingga nantinya bisa ditentukan mana yang bisa dan tidak bisa diaudit Badan Pemeriksa Keuangan, kata Harifin saat dihubungi kemarin. Kendati begitu, Harifin belum bisa memastikan kapan tim pengkaji itu akan memulai tugasnya.

Harifin menjelaskan Mahkamah Agung telah bertemu dengan Badan Pemeriksa Keuangan pada Kamis lalu. Dalam pertemuan itu, kata dia, kedua lembaga sepakat bahwa biaya perkara yang selama ini ditetapkan Mahkamah Agung di pengadilan bukan pungutan liar. Kami telah menyampaikan dasar hukum biaya itu dan besarannya, ujarnya. Dasar hukum yang dipakai soal biaya perkara itu, kata Harifin, antara lain Undang-Undang Pokok Kehakiman dan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Ini bermula dari pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution perihal biaya perkara di Mahkamah Agung. Menurut dia, biaya perkara yang ditetapkan Mahkamah Agung bermasalah karena hanya disetorkan kepada negara sebesar Rp 1.000 per perkara. Padahal biaya yang dikenakan Rp 500 ribu-2,5 juta.

Harifin mengatakan Mahkamah Agung sepakat bahwa biaya perkara masuk jenis penerimaan negara dengan syarat diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut dia, tidak semua unsur dalam biaya perkara harus disetor ke kas negara. Sebab, kata Harifin, sebagian biaya perkara itu adalah uang panjar yang dibayar pihak bersengketa untuk proses pengadilan. Jadi biaya itu untuk kepentingan yang beperkara, ujarnya.

Dia mencontohkan, unsur biaya perkara berupa hak redaksi, biaya pendaftaran, dan meterai adalah unsur dalam biaya perkara yang masuk penerimaan negara. Terhadap penerimaan dari unsur itu, kata Harifin, seluruh hasilnya harus disetor ke kas negara. Tapi biaya-biaya pemanggilan pihak yang bersengketa tidak harus disetor karena itu biaya proses perkara, ujarnya. AGOENG WIJAYA

Sumber: Koran Tempo, 9 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan