Mahkamah Agung Harus Sesuai Dengan Namanya Yang Agung...

Hasil Wawancara Dengan Calon Hakim Agung
Azi Ali Tjasa, SH. MH.

MAHKAMAH AGUNG HARUS SESUAI DENGAN NAMANYA YANG AGUNG

Meski sebelumnya pernah mengikuti seleksi Hakim Agung tahun 2003 dan gagal dalam fit and propet test di DPR RI, namun tidak menyurutkan niat Azi Ali Tjasa, SH., MH. untuk kembali mencalonkan sebagai Hakim Agung pada tahun 2006. Ada beberapa keinginan yang ingin Ali Tjasa lakukan apabila terpilih nantinya sebagai Hakim Agung dalam rangka melakukan reformasi Mahkamah Agung sehingga lembaga ini bisa kembali agung sesuai dengan namanya.

Pria kelahiran Lubuk Linggau, 12 Maret 1944, setelah tamat dari Fakultas Hukum UGM langsung bekerja sebagai Jaksa selama sepuluh tahun, kemudian beralih profesi sebagai dosen di Universitas Bengkulu (UNEB) dengan jabatan tertinggi sebagai Dekan Fakultas Hukum.

Pernah ditunjuk oleh Rektor UNEB menjadi Ketua Tim Pemeriksa Dugaan Penyimpangan di UNEB, namun akhirnya menjadi kecewa karena laporan pemeriksaannya justru ditindaklanjuti. Selepas pensiun sebagai dosen tahun 2002, bapak dari empat orang anak ini kemudian beralih menjadi advokat yang banyak menganani perkara baik di Bengkulu maupun di Jakarta.

Berikut adalah petikan wawancara Emerson Yuntho (anggota badan pekerja ICW) dengan Ali Tjasa tanggal 3 Agustus 2006 lalu di rumah yang juga merangkap sebagai kantor Advokat Azi Ali Tjasa, SH. MH dan Rekan, Jl. Semarak I Bengkulu.

Apa latar belakang ikut seleksi calon Hakim Agung, mengingat sebelumnya anda pernah mengikuti seleksi calon hakim agung tahun 2003 dan Komisi Kejaksaan
Pada seleksi calon Hakim Agung 2003 itu saya dimintai duit oleh orang yang mengaku ajudan seseorang di DPR RI. Pada waktu itu saya lapor ke induk organisasi saya (HAPI) dan mencuat juga ada laporan permintaan uang oleh DPR dari orang lain termasuk juga Ramdon Naning (calon Hakim Agung dari Advokat) asal Yogyakarta. Ngapain kasih uang, satu rupiah pun ga akan saya kasih. Saya dimintai sedikit tapi kalo diada-adakan bisa. Ga ada nyogok-nyogok.

Dari dulu saya ga ada urusan kalau nyogok-nyogok. Pas waktu fit and propert tes saya dibantai habis. termasuk oleh Dosen saya dulu (saat kuliah di Magister Hukum), Prof. Sahetapy. Setelah itu saya ga diterima tapi saya tidak masalah. Saat itu (di DPR) sepertinya kita mau ujian mencapai gelar doktor saja. Seperti mempertahankan disertasi saja. Tapi saya akan mencoba sekali ini lagi nampaknya proses seleksi ini bersih. Dan saya sarankan KY turun untuk mengecek latar belakang calon ini seperti apa, datangkan petugas khusus, tanyakan kepada masyarakat bagaimana orang ini. Kalau saya siap saja. Saya coba sekali lagi terserah kalau berhasil ya syukur, kalau gagal ya sudah. Walaupun kemungkinan (diterima) kecil namun tidak apa-apa. Tapi kita berangkat dengan niat yang suci.

Pada waktu seleksi calon Hakim Agung (2003) saya dapat 6 suara. Saya tidak berupaya untuk melakukan apa-apa. Tapi syukur masih ada orang DPR yang melihat saya pantas (sebagai Hakim Agung).

Visi dan Misi seandainya menjadi Hakim Agung...

Jika dikatakan visi sebenaranya MA harus cocok dengan Agung namanya. jangan sampai sekarang namanya Agung tapi disana dianggap sarang hantu. Bahkan koran mengatakan sebagai sarang penyamun. Jangan sampailah seperti itu lagi. Bagaimanalah masa depan ini disesuaikan dengan keagungannya dihormati banyak orang dan jangan selalu dihujat dan dicerca. Aduh menyedihkan padahal disitulah sandaran terakhir bagi orang mencari keadilan.jadi puncak seluruh penegakan hukum disitu. Kalau disitu sudah tidak karu-karuan dan dicerca, kemana masyarakat mencari keadilan. Sebenarnya Mahkamah Agung harus sesuai dengan namanya yang agung. Jadi diagungkan orang, betul-betul orang mendaptkan rasa keadilan, kenyamanan, pengayoman. Tapi untuk itu apalah saya seorang diri tapi ide kita agar Mahkamah Agung sesuai dengan namanya. Bagaimana caranya kan tergantung. Tapi keinginan kita seperti itu.

Jika dihubungkan dengan upaya mengembalikan Mahkamah Agung menjadi agung maka pembenahan yang harus dilakukan dihubungkan dengan upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat yang selama ini semakin menurun . . .

Kalau menurut saya tidak ada jalan lain Hakim Agung itu semua siapa yang terpilih haruslah dimulai dari diri sendiri. Benahilah dari diri sendiri, omong kosong kita mengajak orang lain untuk melakukan perubahan atau reformasi peradilan jika dirinya sendiri tidak mau mereformasi dirinya maka tidak ada apa-apanya. Jadi harus dimulai dari diri sendiri.

Sampai sekarang ini tidak ada Hakim Agung yang menjebak penyuap. Saya komitmen kalau ada penyuap akan saya jadikan suap itu barang bukti. Saya betul-betul akan mencobanya seperti itu agar tidak ada yang mau menyuap lagi. Kalo kita jebak kan mati dia (penyuap). Tangkap ini barang bukti panggil KPK. Silahkan. Itu rencana saya kalau bisa seperti itu. Biar saja disenting opinion terus ga masalah. Putusan saya selalu tidak dihargai rekan tidak apa-apa. Barangkali menurut saya adil menurut saya itu yuridisnya seperti itu, sosiologisnya seperti itu, dan filosofisnya kehendak dari filosofisnya Pancasila misalnya Kemanusian yang adil dan beradab, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Cuma apabila kita mau mereformasi MA hanya seorang diri akan omong kosong.

Diluar pembenahan terhadap diri sendiri tersebut pembenahan apa lagi yang dapat kita dilakukan di MA?

Paling-paling kita kan (sebagai) hakim anggota atau Ketua suatu majelis (hakim) disitu kita dapat berperan terhadap kasus yng kita hadapi ini. Kita lakukanlah secara profesional sesuai dengan duduk persoalannya, sesuai filosofisnya sehingga putusan kita itu betul-betul menciptakan penemuan hukum dan sesuai dengan yang dikehendaki. Bukan menimbulkan heboh atau meresahkan masyarakat. Tapi putusannya itu hendaknya mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya orang-orang yang berperkara. Kalau pidana misalnya ada keseimbangan kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan negara dan kepentingan hukum tidak boleh dilukai dan harus dipertahankan serta kepentingan korban dan terdakwa itu sendiri. Jadi harus seimbang.

Dalam perkara korupsi menutut saya korupsi itu adalah tindakan yang tdak dapat diampuni. Bagaimana dia minta maaf kepada 200 juta rakyat Indonesia? kalau saya menipu anda selanjutnya saya minta maaf saya bayar kembali selesai urusannya. Apabila anda maafkan maka habislah. Tapi kalau korupsi anda tidak akan mungkin memaafkan mereka. saya juga tidak. 200 juta rakyat tidak akan memaafkan koruptor. Jadi kejahatan yang tidak berampun itu korupasi.

Jadi korupsi adalah kejahatan yang pantas diganjar dengan hukuman yang berat. saya komitmen korupsi diatas 100 milyar saya hukum mati. Dibawah itu kita mainkan 20 tahun dan segala macam. Jadi silahkan saja cek jika saya jadi. Catat saja yang saya kemukakan dan disenting opinionsaya nanti. Dan lihat saja apabila ada penyuap yang tertangkap itu saya. Mungkin saya ga panjang umur nanti karena dihantam banyak orang. Apa boleh buat bila itu nasib saya seperti Hakim Agung Syaefuddin apa boleh buat. Kalau tidak seperti itu kita tidak akan bisa. Kalau 6 orang hakim agung sudah seperti itu saya pikir yang lainnya akan mikir-mikir juga. Jika 6 orang Hakim Agung yang mau disogok lalu (pelakunya) ditangkap. maka berpikir lima kali orang mau nyogok.

Jika secara institusi Mahkamah Agung, kira-kira pembenahan apa yang akan dilakukan?

secara institusi kita tahu banyak permasalahan. masalah pengawasan yang tumpang tindih. Persoalannya terlihat MA tidak mau diawasi. KY sepertinya di impoten kan. Menurut saya UU nya harus dibenahi. Kedua-keduanya UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial. Karena UU Mahkamah Agung mengatakan bahwa kewenanagan pengawasan itu Mahkamah Agung. Ini harus salah satu donk. UUD 1945 pasal 24 yang berwenang mengasai hakim kan Komisi Yudisial. UU Kekuasan Kehakiman yang dimaksud hakim itu Hakim Agung dan semua hakim.

Untuk mengurangi praktek Mafia Peradilan di Mahkamah Agung?

Salah satunya adalah penjebakan tadi. Menurut saya jika pengawasan dilaksanakan sudah betul dan tidak seperti sekarang prakteknya pelakunya bukan diawasi tapi dilindungi. Kalau pengawasan berjalan maka Komisi Yudisial usulkan kepada presiden dipecat maka pecat Hakim Agung yang ada indikasi. Tidak perlu terbukti maka yang sudah terindikasi pecat saja Hakim Agung tersebut. Kalau penggawasannya efektif maka insya allah praktek mafia peradilan bisa diatasi. Pengawasan harus dilanjutkan dengan tindakan karena pengawasan tanpa tindakan tiada artinya. Harus sangat tegas.

Posisi Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim ada masalah?

Masalah. KY kewenangannya tidak berarti, mandul. karena UU nya semacam itu. Memberikan rekomendasi 6-7 kali tidak ditanggapi oleh Mahkamah Agung.Mestinya bukan rekomendasi yang ditujukan kepada Mahkamah Agung dan MK dan tembusannya kepada Presiden dan DPR RI. Seharusnya rekomendasinya ditujukan kepada Presiden dan tembusannya kepada Mahkamah Agung dan DPR RI. Jadi dia seharusnya mengusulkan kepada presiden karena Komisi Yudisial merekrut hakim maka dapat mengusukan pemberhentian hakim. Itu yang betul. Bagaimana caranya? Amandemen UU nya. apapun yang terjadi maka harus. Sekarang ini pengawasan dari Komisi Yudisial tidak berjalan. Komisi Yudisial sekarang ini mandul.

Selain pengurangan praktek mafia peradilan, dalam pengurangan perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung bagaimana solusinya?

Sebenarnya kenapa perkara menumpuk di kasasi? Hal ini karena perkara dibawahnya (pengadilan dibawah Mahkamah Agung) tidak benar. Benahi dulu yang pengadilan dibawahnya. rekruitmen hakim itu seharusnya dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sudah rahasia umum untuk menjadi hakim itu kan nyogok mulai dari jaman departemen kehakiman dulu. Saya waktu menjabat dekan (universitas Bengkulu) kan banyak mahasiswa yang melamar hakim. Ada mahasiswa yang pinter yang seharusnya lulus (calon hakim) kok tidak lolos. jawab mahasiswanya saya ga punya uang gimana? Rp 60 juta gimana pa? Di kejaksaan juga begitu. Memang ada yang murni namun presentasinya sangat kecil.

Soal pembatasan perkara didalam UU kan sudah mengatur. Pra peradilan tidak dapat dikasasi dan itu harus ditaati. Sekarang ini kan tidak, pra peradilan tetap dapat dikasasi. Dan jika konsisten maka perkara yang bebas murni maka jangan dikasasi. Harus ditolak dibawah. Tapi kalau hakim itu memang benar dan putusannya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Kalau putusannya karena nyogok jaksa harus kasasi. Kalau hakim dibawah benar tidak mungkinlah kasasi. Karena pencari keadilan sudah merasa puas jadi untuk apa kasasi. Jadi sejak dibawah sudah menumpuk. (dalam hal penumpukan perkara) 49-51 Hakim Agung harus dijatah dengan keras. Dalam waktu sekian harus sudah selesai tapi dengan maksimal. Tapi putusannya harus berkualitas. Kuantitas itu nomor dua. Jadi untuk apa banyak namun tidak adil. Jika putusannya semua ada indikasi KKN maka bubar Mahkamah Agung. Sekarang sudah Mahkamah Agung sudah SOS.

Bagaimana penilaian Anda mengenai kepemimpinan Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung?

Dia diminta hadir saja di pengadilan saja tidak mau (dalam perkara suap Mahkamah Agung). Seharusnya dia sendiri kan memberi contoh. Dulu (saat masih menjadi dosen Universitas Bengkulu) saya punya Rektor Uneb yang namanya Sukotjo dipanggil ke pengadilan dalam perkara ijazah palsu. Saya bilang ga usah lah hadir cukup memberikan keterangan dibawah sumpah karena eselon IA. Saya waktu itu LBH Uneb dan berpikir ga usahlah repot-repot datang ke persidangan menjadi saksi jadi dibacakan saja keterangannya. Jawabnya

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan