Mahkamah (Anti)korupsi

Pada pengujung bulan Maret 2001, melalui putusan nomor 03 P/HUM/2000, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan hak menguji materi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peristiwa itu menjadi pertanda, pengadilan (baca: mahkamah) berpotensi menghancurkan gerakan antikorupsi.

Barangkali, terinspirasi oleh keberhasilan tersebut, upaya menggunakan jalur pengadilan semakin sering dilakukan. Misalnya, sampai sejauh ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah enam kali dimohonkan uji materinya ke Mahkamah Konstitusi.

Dari semua permohonan yang pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, tiga permohonan terakhir yang diajukan oleh Nazaruddin Sjamsuddin dkk, Mulyana Wirakusumah dkk, dan Tarcisius Walla paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi. Bagaimanapun, perhatian itu tidak terlepas dari jumlah dan ruang lingkup pasal-pasal yang dimohonkan.

Pasal urat nadi
Kalau dibaca tiga permohonan terakhir, Nazaruddin dkk mendalilkan Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan Pasal 53, Pasal 2 jo Pasal 3 jo Pasal 20, Pasal 40, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 11 huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, Mulyana dkk memohonkan untuk menyatakan Pasal 6 huruf c dan Pasal 12 huruf a UU KPK tidak punya kekuatan mengikat. Begitu juga Tarcisius Walla mendalilkan Pasal 72 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.

Sekalipun ketiga permohonan di atas tidak meminta pembubaran KPK, pasal-pasal yang mereka ajukan (terutama Nazaruddin dkk) merupakan urat nadi KPK. Bisa saja nasib KPK tak persis sama dengan nasib Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, kalau pasal-pasal yang diajukan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, KPK akan lumpuh sebagai extra-ordinary body dalam pemberantasan korupsi. Misalnya, secara hukum, sulit membayangkan posisi KPK kalau Pasal 2 UU KPK yang menyatakan secara eksplisit pembentukan KPK dinyatakan tidak punya kekuatan mengikat.

Melihat ruang lingkup permohonan yang ada, pemohon tidak saja berniat melumpuhkan KPK, tetapi juga secara implisit ingin menghancurkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Keinginan ini dapat dibaca dari permohonan Pasal 1 angka 3 UU KPK dikaitkan dengan Pasal 53 UU KPK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 24 Ayat 1 dan Ayat 2, serta Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945.

Argumentasi yang dibangun Nazaruddin dkk, Pasal 1 angka 3 UU KPK telah menempatkan Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, apabila dikaitkan dengan keberadaan Pasal 53 dan konsideran menimbang huruf b UU KPK, Pengadilan Tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan yudikatif, melainkan lebih erat dan/atau merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif.

Secara hukum, argumentasi pemohon tidak berdasar. Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945 justru memungkinkan lahirnya Pengadilan Tipikor. Bahkan, Pasal 15 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4/2004) membenarkan adanya pengadilan khusus dalam salah satu lingkungan peradilan. Bahkan, dalam Penjelasan Pasal 15 UU No 4/2004 secara eksplisit disebutkan bahwa salah satu pengadilan khusus tersebut adalah Pengadilan Tipikor.

Dalam kaitan dengan Pengadilan Tipikor, secara formal, UU KPK memang mempunyai titik lemah, yaitu tidak secara eksplisit menyebutkan Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945 dalam konsideran menimbang. Namun, secara substansi, karena berada dalam salah satu lingkungan peradilan, tak cukup kuat alasan mengatakan kehadiran Pengadilan Tipikor bertentangan dengan Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945.

Yang perlu disadari, Pasal 1 angka 3 UU KPK merupakan salah satu urat nadi KPK yang menggambarkan rangkaian dan alur pemeriksaan kasus korupsi yang dilakukan KPK mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan. Tidak hanya sekadar alur, Pasal 1 angka 3 UU KPK juga menjadi jembatan kehadiran Pengadilan Tipikor.

Begitu juga dengan eksistensi Pengadilan Tipikor. Menyatakan Pasal 53 UU KPK tidak punya kekuatan mengikat berarti menghilangkan muara penyelesaian kasus-kasus korupsi yang disidik KPK. Apalagi, Pasal 53 UU KPK menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK.

Manfaat vs kepastian
Sejauh ini, dalam penyelesaian permohonan hak uji materi sulit sekali mencari titik seimbang antara prinsip kemanfaatan (doelmatigheid) dan prinsip kepastian hukum (rechtsmatigheid). Terkait dengan hal itu, menarik menyimak pendapat Prof Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya, Judicial Review: Kajian atas Putusan Hak Uji Materil terhadap PP No 19/2000 tentang TGPTPK, yang menyatakan, keseimbangan dalam penerapan prinsip doelmatigheid dan penerapan prinsip rechtsmatigheid dapat ditemukan jika majelis hakim dapat mengembangkan penafsiran yang bersifat kontekstual (Jurnal Dictum, Edisi I, 2002).

Penafsiran kontekstual Jimly amat jelas, kejahatan korupsi telah berurat berakar dalam keseluruhan sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Bahaya korupsi, tambah Jimly, sudah melebihi dampak dan bahaya pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga kejahatan korupsi dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).

Barangkali, karena dasar pemikiran di atas, dalam tulisan yang sama, Jimly mengkritik majelis hakim agung hak uji materi PP No 19/2000 yang dinilainya berpegang teguh kepada prinsip rechtsmatigheid secara kaku tanpa sungguh-sungguh mempertimbangkan tujuan luhur memberantas tindak pidana korupsi.

Masalahnya, apakah dalam tiga permohonan uji materi yang akan diputus dalam waktu dekat prinsip doelmatigheid dengan penafsiran kontekstual yang dimaksud Jimly akankah keluar sebagai pemenang?

Pilihan menjadi amat terbatas: menjadi mahkamah yang mampu memahami bahaya praktik korupsi (antikorupsi) atau mahkamah yang menghancurkan gerakan antikorupsi.

Saldi Isra Dosen Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan