Manipulasi Dana Kampanye Pemilihan Presiden

Pengusutan aliran dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan (selanjutnya disebut dana DKP) memasuki babak baru.

Serabut yang awalnya simpang-siur kini mulai terang akar tunggangnya yang menghunjam cukup dalam ke ranah kekuasaan hingga ke kantong para kandidat yang memperebutkan tiket menuju Istana. Pernyataan Amien Rais, mantan kandidat calon presiden pada pemilihan presiden (pilpres) 2004 yang mengakui menerima dana DKP dan meminta agar aliran dana ini diusut tuntas, merupakan hal menarik. Terlepas dari rumor adanya kepentingan lain di balik sikap Amien yang seakan ingin menjadi martir, pengusutan aliran dana DKP ke para mantan pasangan calon presiden-wakil presiden sangatlah penting. Publik harus dibuat tahu soal praktek pendanaan kampanye semua kandidat pilpres.

Setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa upaya mengusut aliran dana DKP ke para calon presiden-wakil presiden menjadi penting. Pertama, dengan mengusut tuntas, publik dapat mengetahui seberapa besar jumlah dan pengaruh dana tidak jelas dari sumber-sumber taktis di pemerintahan mempengaruhi para calon presiden-wakil presiden. Kedua, bentuk relasi semacam apa yang memungkinkan rekening kampanye tercemari uang haram. Ketiga, bagaimana mempersoalkan aliran dana ini secara hukum dan institusi apa yang seharusnya mengambil peran.

Dana kampanye
Terungkapnya dana DKP sebenarnya merupakan bentuk konfirmasi. Hasil pemantauan bersama Indonesia Corruption Watch dan Transparency International Indonesia secara acak pada laporan dana kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden yang maju pada putaran II pilpres 2004 menemukan 15 alamat penyumbang perorangan dan perusahaan yang tidak jelas ke Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Di antara para penyumbang ini, selain tidak terbukti sesuai dengan alamat, ada yang menolak menyumbang dan tidak layak menyumbang sesuai dengan kemampuan ekonomi.

Hal yang sama juga terjadi pada 19 penyumbang perorangan dan perusahaan dalam laporan dana kampanye Mega-Hasyim. Total sumbangan yang dinilai manipulatif dari dua pasang calon presiden-wakil presiden ini sebesar Rp 5,35 miliar. Mengalirnya dana DKP ke rekening calon presiden-wakil presiden merupakan aib yang menunjukkan lemahnya sistem proteksi para calon presiden-wakil presiden serta tim sukses terhadap masuknya berbagai dana dari sumber tidak jelas yang dapat saja berasal dari hasil kejahatan seperti korupsi. Di sisi yang lain, aliran dana ini menunjukkan bentuk penyelewengan kekuasaan untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.

Para aktor
Dari pengakuan mantan menteri Rokhmin ke Komisi Pemberantasan Korupsi, cukup besar dana yang mengalir ke kantong perorangan atau institusi yang dapat diindikasikan untuk pemenangan pemilu calon presiden-wakil presiden. Pasangan Yudhoyono-Kalla mencapai Rp 225 juta, Mega-Hasyim Rp 280 juta, Wiranto-Salahuddin Rp 220 juta, Amien-Siswono Rp 400 juta, dan Haz-Agum Rp 320 juta. Sumbangan itu memang tidak digelontorkan sekaligus dalam jumlah besar, tapi diberikan dalam waktu yang berbeda-beda ke pihak yang juga berbeda-beda.

Misalnya Amien, yang disebutkan menerima dua kali pada Maret dan Mei 2004 masing-masing Rp 200 juta. Demikian juga halnya dengan Mega-Hasyim, yang teridentifikasi melalui aliran ke Mega Center setidaknya dua kali pada Juni 2004 (Rp 50 juta) dan Juli 2004 (Rp 200 juta). Hal yang paling menarik adalah dana yang dicurigai mengalir ke rekening Haz-Agum yang diberikan dalam pecahan Rp 10-150 juta sebanyak 11 kali lewat Agus Haz. Masuknya dana menggunakan tangan yang berbeda-beda tentu akan sangat menyulitkan untuk identifikasi, terutama jika tidak ada kehati-hatian dari tim sukses dan pasangan calon. Namun, tindakan tidak mencatatkan aliran dana dari sumber-sumber ini serta melaporkannya ke KPU menunjukkan ada indikasi kuat menyembunyikan para penyumbang.

Masuknya uang ini juga dapat ditentukan polanya lewat peran para aktor. Imam Daruqudni, yang disebut mengatasnamakan Partai Amanat Nasional, misalnya, selain untuk kepentingan PAN (Rp 25 juta) juga dapat menarik dana atas nama tim Yudhoyono (Rp 200 juta). Demikian juga Fachri Hamzah, selain disebut dapat menarik atas nama pribadi sebesar Rp 50 juta, dapat menarik atas nama PKS sebesar Rp 50 juta. Fakta dari keterangan Rokhmin ini menjelaskan bahwa mengalirnya dana ini sangat dipengaruhi oleh peran para aktor politik yang dekat dengan sumber dana DKP, yang di satu sisi menggunakan relasi pribadi dan di sisi lain menggunakan relasi lembaga. Hal ini yang kemudian berdampak pada institusi yang lebih besar seperti partai politik, tim pemenangan para calon presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lainnya.

Sangat penting jika ada klarifikasi yang memadai dari sang aktor atau lembaga bersangkutan terkait dengan aliran dana ini agar publik dapat dengan jernih memetakan apakah aliran dana ini atas kehendak para aktor atau kehendak institusi yang dibawanya. Karena itulah, sekecil apa pun dana yang mengalir harus diselesaikan lewat mekanisme kelembagaan seperti penerapan mekanisme sanksi di lingkup internal partai politik seperti pemecatan dari jabatan politik. Selain itu, pengusutan lewat aturan internal lembaga seperti memfungsikan Badan Kehormatan di DPR juga harus berjalan. Hal ini untuk menjaga citra lembaga-lembaga ini sebagai lembaga politik dan saluran aspirasi rakyat. Tanpa adanya klarifikasi yang memadai, publik dapat menuding bahwa aktor-aktor yang terlibat memang disusupkan atau dipelihara untuk mengakses sumber-sumber dana segar di instansi pemerintah seperti DKP.

Mengalirnya dana DKP ke calon presiden-wakil presiden menyalahi larangan menerima sumbangan dari instansi pemerintah (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003). Sanksi atas pelanggaran ini sangat berat, yaitu dibatalkan sebagai kandidat calon presiden-wakil presiden oleh KPU. Sayangnya, penerapan sanksi terhambat ketentuan tentang penegakan hukum pelanggaran pemilu (pasal 79-84) yang membatasi proses pelaporan, penyidikan, dan pengadilan pelanggaran pemilu pemilihan presiden untuk dilakukan di luar batasan waktu pemilu. Tetapi, sebagai bentuk afirmasi, KPU dapat mengambil peran untuk mengusut dan memberikan klarifikasi sebagai bentuk tanggung jawabnya atas pelanggaran administratif pemilu. Mandulnya KPU dalam menindak manipulasi pendanaan kampanye, selain karena faktor kinerja, karena lubang dalam aturan yang harus diselesaikan. Hal ini harus menjadi salah satu PR dalam perubahan Undang-Undang Pemilihan Presiden ke depan.

Ibrahim Fahmy Badoh, manajer Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 26 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan