Mantan Bupati Dituntut 4 Tahun

Mantan Bupati Sukabumi periode 2000-2005, Drs. H. Maman Sulaeman, dituntut hukuman penjara 4 tahun dipotong masa tahanan, denda Rp 50 juta dengan subsider 4 bulan kurungan, serta wajib mengganti kerugian negara Rp 1,9 miliar. Jika harta benda yang disita tidak mencukupi untuk mengganti uang negara, hukuman bagi terdakwa ditambah selama 1 tahun.

Demikian tuntutan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikoordinasikan M. Ridosan, S.H. pada sidang lanjutan perkara dana mobilisasi anggota DPRD periode 1999-2004, Selasa (10/10) di Pengadilan Negeri Cibadak, Kab. Sukabumi.

Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan telah mengeluarkan sejumlah uang untuk kepentingan anggota DPRD. Dana Rp 4,5 miliar tersebut dibagi rata kepada 45 anggota dewan. Setiap anggota menerima Rp 100 juta dengan perincian, Rp 57 juta sebagai dana pinjaman tanpa bunga yang dikembalikan selama tiga tahun. Sisanya, Rp 43 juta dikompensasikan sebagai biaya operasional dan pemeliharaan kendaraan selama kurun waktu tiga tahun dan dibayar sekaligus.

Kebijakan ini dinilai melanggar hukum, sebab dana yang diberikan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi anggota dewan.

Atas tuntutan tersebut, terdakwa secara spontan menyatakan akan menyampaikan pembelaan secara pribadi, ditambah pembelaan melalui kuasa hukumnya. Demi Allah, saya tidak pernah memakan uang itu sepeser pun. Semua tahu ini. Saya dizalimi oleh kelompok tertentu yang berusaha menghadang saya dalam proses pilkada. Tapi, biarlah tuntutan itu merupakan hak hukum jaksa. Saya yakin kebenaran dalam hukum masih tetap ada, kata Maman, usai persidangan.

Wartawan protes
Usai persidangan, sejumlah wartawan media cetak dan elektronik yang meliput persidangan, menemui Ketua PN Cibadak, Sir Johan yang juga sebagai ketua majelis hakim pada persidangan tersebut. Melalui salah seorang wartawan senior, mereka menyampaikan ketidaksenangan kepada ketua majelis hakim yang melarang koresponden SCTV, Asep Didi, mengambil gambar persidangan tersebut.

Sir Johan menilai, Asep Didi tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pengadilan untuk mengambil gambar tersebut. Namun, teguran yang disampaikan dirasakan tidak bersahabat, tapi lebih kepada mempermalukan wartawan, sebagaimana disampaikan majelis kepada wartawan Kompas Agustinus Handoko pada persidangan sebelumnya. Padahal, kedua wartawan itu sejak persidangan pertama sudah melakukan peliputan dalam persidangan perkara yang sama.

Selain itu, sesuai dengan permintaan Wakil Ketua PN Cibadak yang bertindak sebagai Humas PN Cibadak, wartawan telah diberi daftar tentang siapa yang akan meliput kegiatan tersebut sekaligus meminta izin untuk mengambil gambar. Itu dilakukan pada sidang pertama perkara ini. Saya sendiri yang membuat dan memberikannya sesuai dengan permintaan pengadilan, ujar Tony Kamajaya, wartawan Sindo.

Sir Johan menjelaskan, larangan itu disampaikan karena belum menerima permohonan izin mengambil gambar. Dalam setiap sidang harus ada izin tertulis karena khawatir akan mengganggu persidangan, katanya.

Pertemuan menjadi memanas ketika Sir Johan mengatakan, wartawan juga tidak kebal hukum. Ucapan itu menyulut kemarahan kontributor Lativi, Fitriyandi. Nyaris terjadi insiden fisik jika tidak dihalangi oleh kasi Intel Kejari Cibadak, Mukri. Siapa yang bilang wartawan kebal hukum. Semua warga negara tidak ada yang kebal hukum, termasuk wartawan dan ketua pengadilan. Selama saya meliput kegiatan pengadilan, baru kali ini mendapat perlakuan arogan dan tidak bersahabat seperti yang dilakukan Ketua PN Cibadak ini, ujar Fitriyandi. (A-82)

Sumber: Pikiran Rakyat, 11 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan