Mekanisme Silih Korupsi

Pleidoi Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, menjadi bukti dalam korupsi terjadi mekanisme silih.

Pleidoi yang dibacakan Rabu (4/7) itu menyebutkan dari total dana nonbudgeter DKP sekitar 13 persen mengalir ke DPR, 42 persen untuk operasional menteri, bantuan bagi organisasi kemasyarakatan, organisasi mahasiswa, dan lainnya, serta 45 persen untuk nelayan (Kompas, 5/7)

Sekadar mengingatkan, dalam kategori lainnya itu ada juga gelontoran uang untuk dana kampanye para calon presiden pada Pemilu 2004. Terkait dana kampanye, Rokhmin menyebut nama-nama yang menerima, di antaranya mengakui keterangan Rokhmin.

Sang dermawan
Maksud mekanisme silih adalah uang korupsi tidak pernah seluruhnya dimakan sendiri oleh koruptor (Haryatmoko, 2003:129). Uang korupsi sengaja dibagi-bagi agar sama-sama menikmati. Caranya bisa membagi uang itu kepada panitia pembangunan tempat ibadah, membantu korban gempa, lembaga amal, atau pengurus partai politik. Atau bila sedang musim kampanye, bisa ikut menggelontorkan dana kampanye, siapa tahu kelak berimbas positif kepada dirinya.

Adanya mekanisme silih itu mencitrakan koruptor sebagai dermawan, bahkan tak jarang menempatkan dirinya sebagai sang penyelamat bagi banyak orang. Kita sering melihat tayangan televisi, sidang korupsi selalu dipadati pendukung fanatik si koruptor. Begitu si koruptor divonis penjara, mengamuklah pendukungnya, tak rela jika sang dermawan atau sang penyelamat dituding melakukan korupsi dan dijebloskan ke penjara.

Di mata pendukung, si koruptor telah ikut mengatasi pengangguran. Koruptor membuat para fakir miskin bisa makan lebih banyak dari biasanya. Bahkan, koruptor ikut mengurangi pusing para politisi karena bingung mencari dana kampanye. Para pendukung itu telah ikut menikmati uang si koruptor, meski umumnya tidak pernah menyadari kenikmatan itu sebagai hasil korupsi.

Selain itu, mekanisme silih juga dijadikan salah satu trik si koruptor untuk meringankan perasaan bersalah. Jika uang korupsi dimakan sendiri, seluruh perasaan bersalah ditanggung sendiri. Sebaliknya, jika uang korupsi dibagi-bagi, perasaan bersalah ditanggung bersama. Memang porsi terbesar uang korupsi untuk memperkaya diri, tetapi ia merasa tidak bersalah karena sebagian digunakan untuk amal, membantu orang miskin, dan ikut menegakkan demokrasi dengan menyumbang partai politik.

Atas dasar itulah si koruptor merasa tak bersalah. Ia beranggapan siapa pun yang menikmati uang korupsi, mereka layak ikut bersalah. Cuma, siapa saja yang layak ikut bersalah, sering disembunyikan si koruptor. Si koruptor lebih banyak pasang badan, melindungi mereka yang layak ikut bersalah itu. Namun, Rokhmin berani menyebut siapa yang layak ikut bersalah, dan ini adalah perkembangan menggembirakan dalam pemberantasan korupsi.

Sang imam
Rokhmin ingin menyatakan korupsi beramai-ramai memang ada. Dalam konteks ini, jangan-jangan pemimpin korupsi beramai-ramai itu bukan si koruptor bersangkutan. Sekadar contoh, saat mantan Sekjen DKP Andin H Taryoto divonis 32 bulan penjara, ia mengaku pencairan dana nonbudgeter atas perintah Rokhmin. Siapa tahu Rokhmin pun diperintah seseorang.

Masalah pemberantasan korupsi di dalam negeri memang tidak ada keseriusan untuk menindaklanjuti mekanisme silih itu. Padahal begitu mekanisme silih dibongkar, pemberantasan korupsi berpeluang sampai ke akar-akarnya. Keseriusan itu bisa ditunjukkan dengan menyeret otak korupsi beramai-ramai ke pengadilan, jangan hanya kambing hitam-nya. Celakanya di negeri ini hanya kambing hitam yang dihukum. Si otak korupsi beramai-ramai dengan tenang menikmati pergaulan sosial, bahkan bisa membentuk kelompok baru, karena si otak tetap menjamin kambing hitam-nya. Maka si koruptor mau saja dijadikan kambing hitam, toh di penjara pun akan tenang dan keluarga ada yang mengurus.

Jangankan si otak, anggota korupsi beramai-ramai saja sering sulit dijerat hukum, manakala menyangkut nama suci, dan publik pun terpecah dua. Ada yang minta elite politik yang tersandung mekanisme silih korupsi lebih baik diampuni, toh yang bersangkutan telah mengaku dan menyatakan uang yang diperolehnya bukan untuk memperkaya diri.

Namun di sisi lain ada juga yang meminta untuk diadili, tak peduli itu nama suci. Intinya, mereka yang ikut menikmati uang korupsi sewajarnya diberi hukum setimpal.

Kenyataannya nama-nama yang pernah disebut Rokhmin masih tenang mengikuti pergaulan sosial tanpa harus ikut diperiksa. Jika saja pihak-pihak itu ikut diperiksa, mungkin pemberantasan korupsi akan lebih maju dari sekarang. Bahkan bisa jadi para koruptor lain berani menyebut pihak yang terkait.

Bayangkan jika para tersangka korupsi BLBI, atau tersangka korupsi macam Mulyana W Kusumah, ataupun mantan Kepala Bulog Widjanarko mau mengikuti Rokhmin untuk menguak mekanisme silih korupsi, kita bakal tahu siapa saja yang tergabung dalam jemaah koruptor.

Sepanjang mekanisme silih korupsi ditindaklanjuti, kita punya harapan baru dalam pemberantasan korupsi. Kita berharap banyak dari para koruptor, jangan lagi ditutup-tutupi mekanisme silih itu. Kita butuh pleidoi yang lebih terbuka agar masyarakat tidak lagi apatis atas pemberantasan korupsi. Kita butuh kisah sukses, di mana ada kelompok bahkan otak koruptor dihukum setimpal.

Toto Suparto Peneliti Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan