Melanggengkan Oligarki Elite Partai

Pembahasan paket Rancangan Undang-Undang Politik sudah mulai bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat. Paripurna DPR telah membentuk dua panitia khusus untuk membahas empat buah RUU secara paralel, dengan RUU Partai Politik dan Pemilu Presiden sebagai prioritas utama. Dari empat RUU yang ada, RUU Parpol dipastikan menjadi pusat perhatian banyak kalangan, terutama parpol. Betapa tidak, selain di satu sisi dapat menyediakan tiang gantungan bagi banyak parpol kecil dan parpol baru, RUU ini menyiratkan pengaturan yang lebih longgar, terutama dalam hal pendanaan parpol (party financing). Kelonggaran pengaturan dana parpol sangat menguntungkan partai besar dan dapat melegalkan oligarki elite parpol.

Pengaturan dana
Pengaturan dana politik mencakup dana parpol dan dana kampanye. Pengaturan kedua jenis pendanaan politik ini dipengaruhi oleh sistem politik, terutama sistem pemilu. Di negara yang memiliki sistem kepartaian yang kuat, pengaturan dana politik lebih cenderung ke pengaturan dana parpol. Posisi parpol sebagai penentu posisi politik dan satu-satunya pintu masuk ke kekuasaan menyebabkan pengaturan dana parpol menjadi sangat penting. Pengaturan dilakukan untuk menjamin parpol dapat hidup secara mandiri dan sehat dengan hak menarik iuran anggota dan menerima santunan penyumbang. Selain itu, membatasi pengaruh berlebihan dari para penyumbang agar tidak menggerogoti kebijakan parpol yang harus konsisten dengan ideologi, terutama dalam merancang kebijakan yang memiliki dampak publik. Dalam pengaturan ini, parpol juga diharapkan dapat akuntabel dan transparan di mata konstituen pemilihnya secara keuangan.

Indonesia memiliki tradisi kepartaian yang sangat kuat. Meskipun dalam sistem pemilihan umum, baik eksekutif maupun legislatif, pada 2004 pemilih telah dapat secara langsung memilih orang (kandidat anggota legislatif dan presiden-wakil presiden), parpol tetap memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam menentukan daftar kandidat legislatif dan pasangan calon presiden-wakil presiden. Dana kampanye para kandidat pun tidak terlepas dari intervensi parpol. Bahkan, dalam pemilu legislatif, dana kampanye kandidat justru digunakan untuk mendulang suara parpol.

Di satu sisi, selain mendapat keuntungan dengan menjual nominasi, parpol tetap memiliki pengaruh signifikan sebagai pendulang uang untuk kemenangan parpol dan kandidat dalam pemilu. Atau dengan kata lain, secara keuangan, parpol tetap menjadi jalan utama masuknya kepentingan penyumbang untuk mempengaruhi hasil pemilihan yang berbasis kandidat.

Posisi parpol yang sangat vital dari sisi pendanaan mengharuskan parpol diatur dengan aturan yang ketat. Untuk menjaga kepentingan konstituen dan kelangsungan organisasi, parpol harus memisahkan rekening rutin dan rekening kampanye. Ini untuk menjaga pencampuran antara kepentingan pemenangan pemilu dan kepentingan organisasi parpol sebagai pengelola entitas ideologi dan saluran kepentingan konstituen. Parpol juga harus membatasi jumlah sumbangan dari para donatur agar rekening keuangan parpol tidak hanya dikuasai oleh segelintir penyumbang besar yang memiliki kepentingan mengkooptasi kebijakan parpol. Dalam konteks akuntabilitas, partai diharuskan membuat pencatatan penerimaan dan belanja secara tertib dan melaporkannya kepada Komisi Pemilihan Umum secara berkala satu tahun sekali setelah diaudit oleh akuntan publik. Keuangan parpol juga harus diupayakan terbuka bagi publik, terutama konstituen parpol.

RUU Parpol
Semangat pengaturan dana parpol menjadi lebih baik seyogianya tecermin dalam RUU Parpol yang disusun tim pemerintah. Berbagai skandal dana politik yang melibatkan elite parpol seharusnya dapat diupayakan untuk tidak terjadi lagi. Dengan aturan yang ada sekarang (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002), parpol terbukti lemah membentengi diri dari atas aliran dana haram, seperti dana dari rekening taktis pemerintah. Parpol juga tidak terpacu untuk berbenah dengan melakukan pencatatan yang tertib atas penyumbang sesuai dengan standar pencatatan yang ada. Jumlah parpol yang melaporkan hasil audit tahunan juga masih sangat sedikit ke KPU, meskipun aturan mewajibkannya. Pada 2004 hanya 9 parpol dari 24 parpol peserta Pemilu 2004 dan terus menurun di tahun berikutnya menjadi 8 parpol. Kewenangan KPU yang minimalis dalam mengontrol keuangan parpol dan sanksi yang ringan atas pelanggaran pasal pendanaan parpol seharusnya menjadi bahan evaluasi berharga dalam penyusunan RUU Parpol.

Kekhawatiran masih sangat besar jika membaca RUU yang disodorkan pemerintah ke DPR. Peluang penyiasatan keuangan parpol terserak bagai baju rombeng. Parpol masih sangat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan penyumbang besar dengan peningkatan batasan sumbangan perorangan dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar. Demikian juga dengan batasan sumbangan badan hukum/perusahaan yang melambung menjadi Rp 3 miliar. Dengan keleluasaan ini, parpol akan dengan mudah dikuasai segelintir penyumbang besar, karena hanya butuh tidak lebih dari 200 penyumbang untuk membiayai kebutuhan partai besar pemenang pemilu. Keinginan agar sumbangan kecil dapat mendorong demokrasi internal seakan tinggal isapan jempol.

Apalagi RUU versi pemerintah juga tidak mengatur batasan sumbangan anggota partai, termasuk politikus. Pada titik ini, ancaman tidak hanya akan terjadi pada demokrasi internal, tapi juga pada sistem kaderisasi. Tarulah parpol perlu mandiri dari sumbangan para politikus, tapi tanpa batasan yang jelas, besaran pengaruh uang akan mempengaruhi sistem kaderisasi internal parpol. Tingginya angka pengusaha yang masuk parlemen merupakan indikasi kuat jalan pintas uang dalam membeli nominasi. Bagi politikus, persaingan uang akan memicu penyalahgunaan wewenang untuk membeli simpati elite parpol. Politikus akan lebih sering meminta kenaikan gaji dan tunjangan dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan diperburuk oleh rendahnya akuntabilitas dan transparansi parpol. Tidak adanya ketentuan kesiapan pembukuan sebagai syarat pendirian parpol serta ringannya sanksi atas pelanggaran pasal-pasal keuangan semakin menjauhkan parpol dari kontrol konstituen dan publik. Akhirnya, longgarnya pengaturan uang akan memicu korupsi dan semakin melanggengkan oligarki elite parpol.

Ibrahim Fahmy Badoh, Manajer Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 10 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan