Membaca Sayatan Dahi Arifin

AKTIVIS antikorupsi asal Yogyakarta Arifin Wardiyanto berunjuk rasa di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta dengan merantai diri dan menyayat dahinya dengan cutter (SM, 16/09/11). Aksi itu seperti ingin mengekspresikan kegalauan, kekecewaan, kemarahan, dan entah perasaan apa lagi yang berkecamuk, mendesak-desak untuk dimuntahkan. Lantang ia berteriak, ”KPK harus didukung!” Di balik aksinya itu publik menangkap rintihan kepedihan luar biasa.

Secara implisit dia menyatakan kecemasan tak tertanggungkan atas kondisi bangsa yang sedang dikepung gerombolan perecok antipembenahan. Ia menyatakan kegelisahan amat sangat melihat kondisi negara yang masih dicengkeram tangan-tangan pemburu rente di hampir semua institusi negara. Perih sayatan di dahinya merepresentasi keperihan hati rakyat yang melihat perilaku khianat sejumlah penyelenggara negara. Rantai dirinya merepresentasi keterbelengguan institusi hukum oleh kekuatan-kekuatan hitam yang telanjur perkasa  secara politik dan ekonomi.

Aksi Arifin harus kita baca sebagai sinyal bahaya, sebab ia tidak sendirian. Ada beribu-ribu, bahkan berjuta-juta, orang yang punya aspirasi serupa, tentu dengan ekspresi beraneka ragam, dari berteriak-teriak di jalan, melontar pernyataan sikap, sampai yang hanya mampu menggerutu di warung kopi. Terdapat tanda-tanda memuncaknya kemasygulan dan kemuakan kolektif yang tak tertahankan. Karenanya, aksi Arifin tak mustahil menjadi sepercik api, yang bila ditambah percikan-percikan lain, bisan mengawali berkobarnya semacam revolusi seperti halnya Revolusi Melati di Tunisia yang dipicu aksi bakar diri seorang pedagang kaki lima.

Pengondisi bagi meledaknya aksi massa berskala masif untuk menentang penguasa, yang berupa pamer perilaku tak amanah para penyelenggara negara, dari waktu ke waktu kian bertumpuk. Kesabaran khalayak seolah terus-menerus ditantang hingga mendekati titik nadir. Tokoh lintas agama dan lintas akademisi tak kurang-kurang mengingatkan penguasa, seraya menekankan bahwa mereka hanya bermaksud menyeru pelurusan perilaku, bukan hendak menggulingkan pemerintahan. Namun gayung tak kunjung bersambut sehingga terbuka kemungkinan bagi rakyat untuk memilih jalan sendiri.

Dukungan Rakyat
Belakangan aktivis mahasiswa memperlihatkan gelagat konsolidasi gerakan yang makin intensif dengan tujuan yang kian jelas. Baru-baru ini bahkan diadakan pertemuan aktivis mahasiswa lintas generasi di Bandung yang membuahkan Manifesto Gerakan Indonesia Menggugat. Inti manifesto ini berisi seruan kepada masyarakat untuk bergerak menyelamatkan bangsa (Kompas, 18/09/11). Mereka mengincar tanggal 28 Oktober mendatang sebagai momentum pemicu gerakan sipil yang lebih luas.

Terhadap kian memuncaknya kemasygulan khalayak, bagi SBY hanya tersedia dua pilihan yang konsekuensinya sama-sama berat. Pertama; membuat gebrakan dengan langkah nyata tak sekadar retorika guna memenuhi janji memimpin sendiri gerakan pemberantasan korupsi. Kedua; tetap bertahan pada langgam kepemimpinan sekarang yang serbagamang, setengah hati, dan gemar berwacana tapi miskin implementasi.

Pilihan pertama berpotensi mengembalikan kepercayaan publik, bahkan pihak-pihak yang selama ini kerap mengecam pun bisa saja berbalik berdiri di belakang SBY. Hanya saja mengingat pengalaman yang sudah-sudah, kita sulit berharap ia akan menentukan pilihan pertama tersebut.

Faktanya, berulang kali kita menyaksikan kurangnya nyali dalam berhadapan dengan para perecok. Terkait menipulasi hukum dalam kriminalisasi pimpinan KPK oleh pimpinan Polri dan pimpinan Kejaksaan Agung misalnya, SBY terkesan cuci tangan. Penyikapan serupa ditunjukkan dalam penuntasan masalah rekening gendut perwira Polri.

Sebaliknya, kalau enggan berubah maka SBY kemungkin besar makin digoyang oleh gerakan masyarakat sipil. Karena itu wajar jika SBY merasa serba salah, tapi ini tidak boleh berlarut-larut. Sekiranya ingin menjadi pemimpin khusnul khatimah seyogianya SBY memilih sikap segera berubah, lalu memperbesar nyali untuk bertarung menghadapi para perecok. Asalkan memperlihatkan kesungguhan berpihak pada pembenahan kondisi bangsa, mayoritas rakyat pasti membelanya. (10)

Md Mardanus, pengamat korupsi, tinggal di Banjarnegara
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 24 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan