Memburu Koruptor Usai Perjanjian Ekstradisi

Banyak kalangan menilai Jumat, 27 April 2007, merupakan tonggak bersejarah bagi proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Setelah hampir 30 tahun pembahasan mengenai masalah ekstradisi terkatung-katung, akhirnya Menlu RI, Hasan Wirajuda, dan Menlu Singapura, George Yeo, menandatangani perjanjian ekstradisi di Istana Tampak Siring, Bali, yang memuat 42 jenis tindak pidana termasuk kasus korupsi.

Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 30 pelaku korupsi yang diduga berada di Singaura. Sejumlah koruptor kelas kakap seperti Samadikun Hartono (korupsi BLBI Bank Modern senilai Rp 169 miliar), Sudjono Timan (korupsi BPUI senilai 126 juta dolar AS), dan Bambang Sutrisno (korupsi BLBI Bank Surya senilai Rp 1,5 triliun) adalah beberapa orang yang menikmati hidup nyaman di Singapura. Upaya pemerintah selama ini untuk 'mengambil paksa' para koruptor tersebut selalu kandas karena ketiadaan perjanjian ekstradisi diantara dua negara.

Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla mengatakan, perjanjian ekstradisi RI-Singapura efektif mengembalikan para koruptor ke Indonesia (Republika Online, 27 April 2007). Pernyataan Kalla ini sah-sah saja dikemukakan. Namun di sisi lain, muncul pula sikap pesimisme bahwa perjanjian ekstradisi ini nantinya akan mampu membawa pelaku korupsi kembali ke Indonesia.

Faktor pengganjal
Ada sejumlah argumen yang dapat memeperkuat sikap pesimistis tersebut. Pertama, konsepsi korupsi di kedua negara memiliki perbedaan yang sangat siginifikan. Definisi korupsi versi Indonesia, yaitu selain korupsi karena suap juga termasuk korupsi yang mengandung unsur melawan hukum, membawa keuntungan pribadi atau orang lain, dan ada unsur kerugian negara. Sedangkan Singapura hanya mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan menyuap. Jika konsepsi korupsi yang dipakai adalah milik Singapura atau sebatas penyuapan, maka perjanjian ekstradisi tak ada gunanya karena semua koruptor yang kabur ke Singapura tidak korupsi berbentuk penyuapan, namun korupsi karena melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

Kedua, ekstradisi tidak dapat langsung segera dilaksanakan karena masih harus menunggu parlemen masing-masing negara membuat undang-undang. Dalam hal ini proses pengesahan tidak mungkin semulus seperti yang dibayangkan karena akan terjadi banyak tarik ulur kepentingan maupun pro dan kontra soal isi perjanjian di antara anggota parlemen itu sendiri.

Selain itu, jika mencemati beberapa perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan beberapa negara lain, maka sejak perjanjian ditandatangni hingga pengesahan oleh DPR RI umumnya memakan waktu cukup lama. Misalnya saja perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Australia pada 1992 yang baru disahkan DPR di tahun 1994 (UU No 8 Tahun 1994). Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Hongkong yang ditandangani pada tahun 1997 namun baru disahkan oleh DPR pada tahun 2001 (UU No 1 Tahun 2001). Adanya jeda waktu yang cukup lama dalam proses pengesahan di parlemen dikhawatirkan menjadi peluang beberapa koruptor yang tinggal sementara di Singapura melarikan diri.

Ketiga, ekstradisi hanya menjerat pelaku pidana yang berstatus sebagai tersangka dan terpidana. Berdasar pasal 1 UU 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi disebutkan bahwa yang dapat diekstradisi ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.

Artinya, perjanjian ektradisi tidak akan menjangkau mereka yang masih masih diselidiki (dengan status calon tersangka). Padahal dalam kasus korupsi BLBI misalnya, ICW mencatat dari total 60 pelaku korupsi, sebanyak 36 orang masih dalam proses penyelidikan dan patut diduga umumnya sudah melarikan diri ke luar negeri.

Hal yang juga penting adalah apakah perjanjian hanya mengikat terhadap pelaku warga negara Indonesia (WNI). Apabila perjanjian ini hanya berlaku bagi WNI dan bukan terhadap pelaku WN Singapura, muncul kekhawatiran akan banyak koruptor beralih menjadi WN Singapura. Sebagaimana diketahui, Agus Anwar, tersangka korupsi BLBI Bank Pelita senilai Rp 1,9 triliun saat ini telah berganti kewarganegaraan menjadi WN Singapura.

Keempat, ekstradisi hanya menjerat orang dan bukan aset hasil korupsi. Politik pemberantasan korupsi yang dianut pemerintah SBY-Kalla adalah penegakan hukum dan pengembalian aset hasil korupsi. Jika yang diekstradisi adalah orang atau pelaku korupsi namun tidak dengan aset hasil korupsi, maka hasil akhirnya menjadi tidak menguntungkan dan justru akan menjadi beban negara apabila akhirnya koruptor dipenjara.

Kelima, proses ekstradisi dapat terkendala karena perbedaan sistem hukum. Di negara jajahan Inggris yang menganut sistem hukum anglo saxon seperti Singapura, untuk mendapatkan keputusan ekstradisi terhadap seorang pelaku, harus melalui proses hukum di pengadilan sehingga dipastikan butuh waktu lama. Persoalan akan muncul jika pengadilan Singapura justru menolak permintaan ekstradisi.

Pada kasus Hendra Raharja misalnya, menurut catatan ICW, Indonesia tetap harus berjuang melalui jalan yang panjang agar Pemerintah Australia mau mengirim pelaku korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa senilai Rp 2,6 triliun balik ke Indonesia. Penghukuman terhadap Hendra di Indonesia tidak pernah terlaksana karena koruptor itu meninggal di Australia. Terhadap harta-harta hasil korupsi yang diduga kuat dibawa lari Hendra, Indonesia pun hanya bisa mendapatkan sebagian kecilnya.

Salah satu hal yang menyebabkan pemulangan ke Indonesia itu berjalan alot adalah perbedaan sistem hukum. Untuk mendapatkan keputusan ekstradisi, Indonesia harus melalui sejumlah proses hukum di pengadilan Australia yang memakan waktu cukup lama. Keputusan di tingkat pengadilan itu pun masih bisa dimintakan kasasi ke menteri kehakiman.

Pada akhirnya yang harus dicermati adalah upaya memburu dan mengembalikan koruptor di luar negeri khususnya di Singapura masih sangat panjang dan berliku. Tidak mustahil, tidak ada satu pun koruptor yang akhirnya berhasil ditangkap dan kembali ke Indonesia.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Republika, 30 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan