Memburu Tikus, Membakar Lumbung

Pemerintah daerah takut kreatif.

Eka Santosa, bekas Ketua DPRD Jawa Barat yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, belakangan ini resah. Kasus dana kaveling yang heboh ketika dia masih memimpin DPRD sejak awal Januari telah masuk ke pengadilan. Rekan sejawatnya, Koerdi Mukri dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, bahkan sudah divonis empat tahun bui oleh Pengadilan Negeri Bandung. Saya merasa diperlakukan tidak adil, kata Eka saat ditemui pekan lalu.

Menurut Eka, kebijakan pembagian dana kaveling perumahan sebesar Rp 250 juta untuk semua anggota DPRD Jawa Barat pada tahun anggaran 2001 dan 2002 adalah kewenangan pemerintah daerah setempat yang disepakati bersama DPRD. Ini benar-benar tebang pilih. Mengapa Danny Setyawan, bekas sekretaris daerah yang sekarang jadi gubernur, tidak menjadi tersangka? Dia yang mencairkan dana itu, Eka menggugat.

Karena itu, Eka mengaku berharap banyak pada rencana Komisi Pemerintahan dan Komisi Hukum DPR membentuk panitia kerja gabungan. Mereka akan membahas maraknya kasus korupsi anggaran daerah.

Selain Eka, ratusan anggota dan mantan anggota DPRD telah atau sedang terancam masuk bui gara-gara kasus serupa. Hari ini, rencananya 33 mantan anggota DPRD Sumatera Barat dieksekusi setelah divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD Rp 5,9 miliar.

Rencana pembentukan panitia kerja gabungan itu diakui Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Mulfachri Harahap. Penerapan hukum untuk kasus dugaan korupsi anggaran daerah masih multitafsir, ujarnya saat dihubungi pekan lalu.

Tak hanya Eka yang resah. Asosiasi DPRD Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia pada awal Januari lalu melayangkan protes atas Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.31/006/BAKD. Surat edaran itu menjelaskan apa saja yang menjadi hak keuangan anggota parlemen daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2005 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pemimpin dan anggota DPRD.

Mereka menilai surat itu menimbulkan kerancuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak mengenal adanya surat edaran menteri. Mereka juga menilai surat edaran itu membatasi kewenangan mereka, sesuai dengan peraturan otonomi daerah.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR Sayuti Asyathri menganggap penolakan kedua asosiasi itu sah-sah saja. Namun, dia menilai ada masalah yang lebih besar yang harus diselesaikan di balik maraknya kasus korupsi anggaran daerah.

Saat ini belum jelas betul di mana wilayah kewenangan pemerintah daerah dan di mana kewenangan itu menabrak hukum, paparnya. Akibatnya, pemerintah daerah sekarang takut membuat kebijakan yang kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ini kemunduran besar untuk otonomi daerah, katanya, prihatin.

Sayuti mengakui masih ada DPRD yang membuat peraturan untuk kepentingannya sendiri. Yang disayangkan Sayuti, buruknya kinerja para anggota Dewan ini justru dijawab pemerintah pusat dengan palu godam: pembatasan kewenangan daerah. Korupsi memang harus diberantas. Tapi, ibarat pepatah, untuk mengejar tikus, sebaiknya jangan lumbung yang dibakar. WAHYU DHYATMIKA

Sumber: Koran Tempo, 9 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan