Memerangi Korupsi via Infotainment

Semula ada kasus biasa. Sebagaimana lazim dialami warga kebanyakan. Ibu artis film dan sinetron Sandy Aulia, Elyse Dupong, mengurus surat IMB di kantor kecamatan untuk rumah anaknya. Biasa juga, prosesnya molor. Padahal, pihak Sandy telah mengeluarkan biaya cukup banyak. Hingga waktu yang dijanjikan camat, IMB belum juga keluar. Setiap ditanya, camat menjawab belum jadi.

Akhirnya, keluarga Sandy menunjuk kuasa hukum Ruhut Sitompul yang dikenal sebagai pengacara artis. Untuk memperkuat tekanan, Sandy meminta dukungan Anwar Fuady, ketua Persatuan Artis Sinetron.

Elyse menyatakan ke camat bahwa dirinya menyerahkan persoalan tersebut ke pengacaranya. Ucapan itu dianggap camat sebagai bentuk ancaman terhadap dirinya dan balik menantang agar membawa pengacaranya ke kantornya. Lantas, Elyse bersama Sandy, Ruhut, Anwar, serta wartawan infotainment mendatangi kantor camat. Tapi, camat tidak ada di lokasi.

Berhasil
Kejadian itu menjadi luar biasa karena disiarkan infotainment televisi. Suasana emosional di lokasi tampak dominan dalam tayangan. Denga berapi-api, pihak Sandy mengungkapkan empat poin. Pertama, camat dianggap sebagai sosok pengecut karena tak menemui Sandy. Kedua, mempertanyakan kapasitas camat yang nol prestasi saat menjabat wakil camat, tetapi bisa menjadi camat.

Ketiga, camat telah berkorupsi saat memungut uang IMB melebihi ketentuan. Sehingga, camat tersebut merupakan cermin birokrat korup. Camat yang mempersulit rakyat demi keuntungan pribadi semata. Keempat, selaku sahabat Gubernur Sutiyoso, Ruhut dan Anwar meminta agar gubernur DKI itu menindak aparatnya yang memalukan warga Jakarta.

Setelah kasus tersebut di-infotainment-kan, keluarlah surat IMB. Begitu surat IMB di tangan dan uang pelicin sekitar Rp 15 juta dikembalikan, suasana berubah drastis. Wajah amarah menjadi ceria. Semula, problem yang dianggap serius menyangkut korupsi berubah sebagai problem khilaf seorang manusia.

Pihak Sandy menganggap kasus itu telah selesai melewati cara kekeluargaan. Lantas, Sandy, Elyse, dan Ruhut menyatakan bahwa kasus tersebut tak usah dipanjang-panjangkan sembari memelesetkan lirik grup musik Seuriues, Camat juga manusia. Punya salah, punya hati.

Masygul
Kenyataan seperti itu memperlihatkan efektivitas infotainment menebarkan fakta korupsi dan memeranginya. Selain itu, infotainment perkasa sebagai alat mengembalikan kerugian material pihak tertentu.

Tapi, tampak jelas, narasumber infotainment gagal menampilkan spirit penegakan kultur antikorupsi. Tidak ada rasa sesal bahwa menyogok birokrat adalah tindakan keliru. Landasan menyelesaikan problem lebih menekankan perkawanan dengan gubernur daripada merujuk pada aturan hukum.

Artis masih sebatas berjuang -melalui infotainment- untuk mengembalikan kerugiannya. Ia tak mau menjadi mata tombak pendobrak praktik korupsi. Puncaknya, model penyelesaian jabat tangan pihak Sandy dengan camat disertai excuse atau permakluman yang dibungkus camat juga manusia mencerminkan pandangan masih remehnya kasus korupsi di level bawah birokrasi. Meski, penyelewengan itu menjadi makanan sehari-hari yang menggelisahkan rakyat bawah.

Bisa dipahami, ada infotainment yang masygul dan kecewa karena spirit meng-infotainment-kan korupsi terhadang kepentingan sesaat. Padahal, pengelola infotainment terlihat bersemangat mengolah kasus Sandy menjadi martil tayangan edukatif untuk memerangi pejabat publik yang korup. Pihak Sandy, mengingat tingginya emosionalitas pada awal kasus, dibayangkan kukuh menempuh jalan hukum, meski IMB telah ditangan, bukan rute jabat tangan.

Hal itu penting bagi infotainment sebagai bukti bahwa dirinya tak melulu mengudal-udal persoalah privasi artis seputar kawin-cerai-selingkuh, tetapi juga bisa menyajikan probem publik. Isu korupsi infotainment merupakan terobosan cita rasa baru yang mengisi tema liputan.

Selain memperlebar ruang liputan, menu korupsi menumbuhkan semangat kompetisi dengan jurnalisme mainstream, jurnalisme umum non-infotainment. Sekaligus, melengkapi kegemilangan prestasi infotainment dalam mengendus dan membongkar skandal artis-selebriti.

Maknanya, infotainment bisa menjadi tayangan pengontrol korupsi aparat pemerintah/negara. Dengan demikian, infotainment dapat memperlihatkan tanggung jawab sosial dengan menjadikan dirinya sarana gerakan antikorupsi.

Tantangan
Pragmatisme narasumber dan upaya terobosan infotainment terhadap korupsi sedemikian itu memperlihatkan kepada kita semua bahwa ada tantangan besar menegakkan budaya antikorupsi. Power infotainment mendesak pejabat korup dan memancing kepedulian publik (penonton) terhadap problem kronis bersama belum mendapatkan sambutan setara dari narasumber artis.

Infotainment terlihat belum menemukan artis mata tombak yang memerangi korupsi. Semangat infotainment memerangi korupsi dengan pintu masuk artis-selebriti belum mulus, bahkan terganjal. Pertanyaannya, apakah infotainment akan terus berusaha mengisi tayangannya dengan tema korupsi?

Kalau ya, infotainment bisa mengalokasikan durasinya sebagai arena antikorupsi. Memberikan waktu tayang mengangkat informasi pengalaman praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai lingkungan sekolah, tempat bekerja, lokasi peribadatan, dan aneka layanan publik. Bukankah artis juga manusia, yang bersekolah, bekerja, beribadah, dan bersentuhan dengan public service?

Bukankah di tempat itu bisa dijumpai praktik korupsi? Kalau hal tersebut diakomodasi, sungguh, ada sekuntum energi positif memerangi korupsi via infotainment. Seandainya hasilnya belum maksimal, itu bukan berarti gagal. Sebab, infotainment juga layaknya manusia. Punya ambisi sekaligus restriksi yang bisa dimaklumi. Yang wajib dihindari adalah, melawan problem kronis dan serius korupsi dengan lirik lagu grup musik Seurieus bernuansa permakluman yang bukan pada tempatnya.

Bagaimanapun, infotainment bisa mengemas persoalan serius menjadi nan menghibur, sehingga mengundang pemirsa menonton.

*Teguh Imawan, ketua KameliaTV (Komunitas Media Literacy for TV) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan