Mempersoalkan RUU 'Pesanan'

Indikasi kuat terjadinya transaksi uang di balik proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat kembali terungkap. Koalisi Penegak Citra DPR, yang terdiri atas beberapa lembaga swadaya masyarakat, kembali melaporkan ke Badan Kehormatan DPR aliran dana Rp 4,5 miliar ke Komisi IX, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Perbankan, dan panitia anggaran sekitar September 2004. Ini tentu saja bukan barang baru. Menurut hitungan penulis, yang terungkap sebagai kasus saja sudah mencapai lebih dari tujuh buah. Sudah saatnya pemimpin DPR mengambil tindakan nyata menyikapi derasnya aliran dana mitra kerjanya dalam mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi DPR. Jika tidak, DPR hanya akan menjadi lembaga yang terus bekerja karena pesanan alih-alih bekerja karena kepentingan konstituen.

Program kerja
Kerja sebuah lembaga negara tidak dapat dipisahkan dari program kerja yang disusunnya untuk periode tertentu. Program kerja ini juga merupakan turunan dari rencana kerja jangka panjang ataupun jangka menengah dengan tujuan-tujuan strategis yang hendak dicapai dalam periode tertentu hingga masa kerjanya berakhir. Rencana kerja yang jelas dan terukur kemudian tidak hanya menjadi pedoman dalam bekerja, tapi juga dalam mengevaluasi kerja-kerja yang belum atau sudah dilakukan.

Selama ini DPR terlihat reaktif tanpa arahan kerja yang jelas. Dalam konteks legislasi, tujuan-tujuan strategis apa yang hendak dicapai oleh lembaga rakyat ini belum jelas terbaca. Padahal persoalan yang mesti dijawab sebagai kebutuhan mendesak rakyat sangat banyak. Ambil contoh soal keterbukaan informasi. Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik sudah ngendon di DPR selama hampir tujuh tahun tanpa hasil yang jelas. Jika DPR benar paham bahwa iklim kebijakan yang transparan akan memiliki dampak mengurangi korupsi dan mendorong terjadinya efisiensi dan efektivitas anggaran, tentu saja sangat patut bagi DPR mendorong selesainya undang-undang ini.

Tapi alih-alih diperjuangkan dengan serius, DPR malah menyambut lebih dulu pembahasan atas RUU Kerahasiaan Negara yang memiliki semangat berseberangan dengan RUU Kebebasan Informasi. Ini jelas menunjukkan bahwa DPR belum atau bahkan tidak menempatkan dirinya di sisi masyarakat yang memilihnya, tapi lebih menjadi kaki-tangan pemerintah. Dalam konteks ini, bukannya negara tidak boleh memiliki rahasia, tapi ketidakjelasan posisi DPR menunjukkan ketiadaan target legislasi dan tujuan strategis yang jelas dalam ranah ini di mata DPR. Publik kemudian dengan cepat membaca DPR tak ubahnya segolongan elite yang berupaya melindungi elite yang lain untuk memperkuat struktur oligarki kekuasaan.

Terungkapnya skandal aliran dana dalam hampir setiap pembahasan undang-undang, terutama yang diinisiasi oleh pemerintah, kemudian semakin memperburuk persepsi publik tentang DPR, lebih jauh lagi partai politik. DPR kini tak ubahnya lembaga negara yang bekerja atas pesanan. Yang penting, ada pamrih dalam bentuk setoran dana lewat pribadi-pribadi anggota, yang kemudian juga menjadi lumbung bagi partai politik.

Ketimpangan anggaran
DPR sering berkelit untuk menciptakan argumen-argumen pembenar praktek suap di balik pelaksanaan fungsi DPR. Alasan yang paling sering digunakan adalah alasan ketimpangan anggaran. Rendahnya alokasi anggaran untuk legislasi di DPR dibandingkan dengan alokasi yang sama di pemerintahan dipandang sebagai pangkal masalah. Selama bertahun-tahun alasan ini yang terus mengemuka, hingga DPR sempat meminta agar Undang-Undang tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003) diubah dengan memberikan otonomi lebih luas bagi DPR dalam menentukan anggarannya sendiri.

Fenomena ini menjadi lucu dan menggelikan, mengingat DPR sebenarnya memiliki fungsi penganggaran (budgeting). Dalam konteks penganggaran, DPR tidak hanya dapat mengintervensi anggaran buat dirinya sendiri, tapi juga dapat mengintervensi anggaran di pemerintah, baik departemen maupun lembaga negara. Pertanyaannya, kenapa DPR terus merestui alokasi untuk pembuatan undang-undang di pemerintah dengan alokasi yang besar? Kenapa tidak justru sebaliknya? Hal ini juga disebabkan oleh ketiadaan visi yang jelas bagi DPR soal legislasi. Undang-undang apa saja yang harus dibahas dalam satu periode anggaran, berapa jumlahnya, serta mana yang mesti diprioritaskan tidak pernah jelas bagi DPR. Inisiatif lebih banyak dari pemerintah.

Malah terkesan kondisi ini sengaja disiapkan sedemikian rupa agar DPR memang memiliki sumber dana segar di pemerintah. Indikasi ini sebenarnya samar, tapi mulai terbaca dengan jelas dari beberapa kasus aliran dana dalam pembahasan undang-undang. Indikasi salah satunya dapat dibaca dari judul alokasi anggaran di pemerintahan. Dalam kasus dana Bank Indonesia, misalnya, alokasinya diberi judul Dana Bantuan kepada Komisi IX DPR untuk Sosialisasi dan Diseminasi Pembinaan Hubungan Baik. Ada juga yang ditulis, dana bantuan kepada anggota panja sebagai dukungan serta tetap membina hubungan baik. Hal ini menunjukkan indikasi kuat bahwa sebenarnya anggaran ini bukan mengalir untuk menunjang kegiatan yang diperlukan dalam pembahasan anggaran atau RUU, melainkan lebih kepada orang per orang. Peningkatan ongkos legislasi ternyata juga tidak dipergunakan untuk membangun sistem pendukung (supporting system) di DPR, seperti peningkatan jumlah anggota staf ahli, tapi justru diberikan buat anggota DPR sebesar Rp 1 juta setiap ada pengesahan undang-undang.

Maraknya kembali kasus RUU pesanan akan semakin memperburuk citra DPR. Padahal harapan masyarakat sangat besar agar lembaga ini bisa menjadi bagian dari penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Sementara itu, di sisi lain, mekanisme internal, seperti Badan Kehormatan, terbukti semakin tidak efektif jika harus memeriksa anggota jemaah DPR yang banyak, karena terjadi secara sistemis dan menyangkut teman-teman seperjuangan di partai politik. Pemimpin DPR harus berbesar hati memulai perubahan yang fundamental. Penulis setuju jika format anggaran DPR harus diubah dan alokasi harus ditambah. Tapi harus berdasarkan prinsip kinerja anggaran dengan hasil-hasil yang terukur. Hal ini dapat dimulai dengan memperterang rumusan visi dan misi DPR.

Ibrahim Fahmy Badoh, KOORDINATOR DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 29 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan