Menagih Janji Wakil Rakyat

Rokhmin Dahuri seorang pendidik. Dia oleh mahasiswanya dikenal sebagai dosen teladan. Rokhmin tidak pernah menduga bahwa kebijakan mengoordinasikan pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak April 2002 hingga Maret 2005 berakibat penahanan terhadap dirinya.

Bukan hanya itu, Rokhmin Dahuri juga membagi-bagikan dana nonbujeter tersebut kepada tokoh masyarakat, partai politik, tim sukses calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2004, anggota DPR, ormas keagamaan, ormas kepemudaan, perguruan tinggi, dan sumbangan sosial lain.

Beberapa figur penting di negeri ini telah membuat pengakuan menerima aliran dana DKP. Bermula dari pengakuan Amien Rais, sejumlah nama juga telah membuat pengakuan serupa. Misalnya, Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Seakan tidak mau ketinggalan, beberapa anggota DPR yang juga disebut Rokhmin Dahuri turut menikmati aliran dana haram DKP akhirnya memberikan pengakuan.

Tentu saja, pengakuan beberapa pihak tersebut sangat penting agar benang kusut kasus korupsi di DKP dapat diungkap secara tuntas dan berkeadilan oleh aparat penegak hukum demi terciptanya penegakan hukum (law enforcement).

Mantan menteri kelautan dan perikanan itu memang bukan pejabat pertama yang ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan kasus korupsi dana nonbujeter di departemen yang pernah dipimpinnya. Sebab, publik telah lama disuguhi drama penetapan sebagai tersangka, pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan beberapa pejabat dan mantan pejabat dengan tuduhan terlibat kasus korupsi.

Fenomena itu tentu positif untuk pembelajaran para pejabat agar lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Apalagi, pemerintah kini sangat berkepentingan menunjukkan komitmennya memberantas korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance).

Yang menarik dari kasus Rokhmin Dahuri itu adalah keterusterangannya menyebutkan beberapa pihak yang dianggap turut menikmati cipratan dana haram DKP. Kalau akhirnya Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa sejumlah anggota DPR juga menikmati aliran dana DKP, barangkali itu bukan sesuatu yang aneh.

Yang menjadi ironi adalah ketika para anggota DPR tidak mengetahui asal dana sumbangan itu. Di antara mereka juga ada yang beralasan bahwa dana sumbangan itu tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, tetapi disalurkan ke organisasi, lembaga, dan berbagai kegiatan sosial. Bahkan, salah seorang fungsionaris PKS, Fachry Hamzah, memiliki persepsi bahwa dana yang diterima merupakan bagian dari honorariumnya sebagai konsultan di DKP.

Fenomena tersebut jelas menggelikan dan sekaligus menjadi potret betapa pihak penerima sumbangan sering tidak menanyakan terlebih dahulu asal dana. Pemberi sumbangan juga tidak menjelaskan sumber dana dan posisinya saat menyumbang; apakah secara pribadi atau atas nama pejabat pemerintah.

Keterusterangan penyumbang itu penting. Sebab, jika atas nama pribadi, berarti sumber sumbangan berasal dari kekayaan pribadi. Jika atas nama pejabat negara, berarti sumber sumbangan berasal dari kas negara.

Tetapi, persoalannya memang korupsi di negara ini sudah sedemikian akut. Ibarat virus, korupsi telah menyebar ke seluruh lembaga pemerintah dan sosial. Bahkan, di perguruan tinggi, organisasi sosial keagamaan, dan LSM,juga banyak ditemukan penyalahgunaan anggaran. Agar perilaku individu atau kelompok di lembaga pemerintah maupun sosial tersebut tidak dikategorikan korupsi, telah dikembangkan beberapa istilah yang agak samar.

Masyarakat pun kemudian mengenal istilah-istilah seperti uang administrasi, uang tip, angpau, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja, tahu sama tahu, dan uang lelah. Korupsi dalam bentuk lebih halus itulah yang perlu diwaspadai masyarakat.

Kasus dana nonbujeter DKP menjadi rumit karena di antara pihak-pihak yang disumbang memiliki persepsi beragam. Dari kasus yang dialami Rokhmin Dahuri itu, publik mengetahui kebijakan pengumpulan dan pengelolaan dana nonbujeter tidak hanya dilakukan di DPK.

Terhadap kasus korupsi berjamaah di DKP, semestinya kita dapat mengambil pelajaran berharga betapa pejabat publik selama ini ternyata memiliki kekuasaan luar biasa untuk mengelola dana yang dipungut dari rakyat. Ironisnya, publik belum banyak mengetahui hal itu.

Akibatnya, jika ada sumbangan dari pejabat pemerintah kepada personal dan lembaga, banyak yang menyangka bahwa uang itu merupakan sumbangan pribadi. Padahal, sesungguhnya dana itu diambil dari dana pemerintah.

Jika kulturnya masih demikian, semestinya tidak boleh ada pihak yang kaget kalau di kemudian hari mengetahui bahwa sumbangan yang diberikan pejabat ternyata bersumber dari dana korupsi.

Biyanto, sekretaris eksekutif Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSaPom) di Surabaya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan