Mencari Hakim Agung (yang) Agung

Komisi Yudisial telah mengajukan 18 calon hakim agung ke DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Apakah sosok para calon pengadil agung itu sudah sesuai dengan harapan publik?

Jawaban atas pertanyaan itu penting karena hasil seleksi hakim agung oleh KY diharapkan mampu melahirkan sosok hakim agung yang ideal. Kewenangan KY menyeleksi hakim agung diberikan konstitusi, dalam Pasal 24B UUD 1945, lalu diatur dalam UU No 22/2004 tentang KY (pasal 13-18).

Kini kualitas dan integritas hakim agung dipertanyakan banyak pihak, termasuk oleh KY. Bahkan KY sempat memunculkan wacana kocok ulang hakim agung. Wacana ini, meski tak terwujud, menunjukkan betapa besar keprihatinan atas sosok para hakim agung kita.

Kualitas dan integritas hakim agung tidak lagi bisa ditawar. Mahkamah Agung (MA) membutuhkan penjaga-penjaga keadilan yang tangguh, pintar (menguasai ilmu dan teknis hukum), serta tahan aneka godaan.

Ini adalah kali pertama prosedur baru dalam seleksi hakim agung. Sebelumnya hakim agung diangkat Presiden berdasarkan usulan MA. Sistem ini diperbarui dengan uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR atas calon hakim agung usulan MA, lalu ditetapkan Presiden.

Sistem itu disempurnakan dengan memberi KY kewenangan melakukan seleksi awal. KY bisa menghasilkan calon hakim agung yang kapabel, independen, memiliki integritas dan jejak rekam yang baik, tidak menjadi bagian dari benang kusut mafia peradilan, dan memiliki komitmen melakukan reformasi peradilan.

Kualitas calon
Demi kualitas, tiga kali KY gagal mengajukan calon, dari jumlah kebutuhan hakim agung, ke DPR (Pasal 18 Ayat 5 UU No 22/2004). KY hanya mampu memilih enam calon hakim agung, sama dengan jumlah kekosongan hakim agung. Akhirnya KY menyeleksi ulang dan memilih 12 calon hakim agung tambahan.

Bagaimana kualitas para calon pengadil agung itu? Masyarakat yang lebih berhak menilai. Oleh karena itu, menjelang uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR pada 2-6 Juli, masyarakat diberi kesempatan menyampaikan masukan ke dewan.

Namun, dari opini di media, masyarakat kecewa dengan hasil seleksi KY. Hasil seleksi pertama, misalnya, kritik terkait sikap KY yang dianggap berkompromi dengan kualitas dan integritas calon hakim agung karena meloloskan calon bermasalah.

Pada seleksi kedua, saat masih pada tahap III dan dihasilkan 16 calon (sebelumnya diperas menjadi 12 orang), Koalisi Pemantau Peradilan mengkritik rendahnya kualitas calon. Menurut koalisi, hanya dua calon yang bernilai baik, 10 calon bernilai cukup, dan lainnya kurang nilainya.

Kebutuhan hakim agung
Terlepas dari mutu calon, ada yang patut diapresiasi dari hasil KY. Hasil seleksi yang meluluskan 10 hakim karier, 5 akademisi, 2 pejabat, dan 1 mantan jaksa ini cukup sesuai dengan kebutuhan hakim agung.

Ketua MA Bagir Manan, dalam beberapa rapat konsultasi dengan Komisi III DPR, mengisyaratkan MA lebih membutuhkan hakim karier. Bukan berarti hakim nonkarier tidak dibutuhkan. Namun, kini komposisi hakim nonkarier, 14 dari 45 hakim agung, dianggap cukup menimbulkan suasana baru di MA dengan menghilangkan proses in briding.

Kita dapat memahami aspirasi MA. Apalagi semangat undang-undang mengutamakan hakim karier. Undang-undang menyatakan, untuk menjadi calon, hakim agung harus berpengalaman menjadi hakim minimal 20 tahun (Pasal 7 Ayat 1 UU No 5/2004 tentang MA), dan jika dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier (Ayat 2).

Dari wawancara KY terhadap calon hakim agung, terungkap plus-minus para calon dari dua jalur tersebut. Mereka yang berasal dari jalur karier lemah di bidang pengetahuan hukum, sedangkan mereka yang dari jalur nonkarier kurang paham teknis hukum.

Kini ada kekosongan empat hakim agung untuk peradilan umum, satu untuk tata usaha negara, dan satu untuk peradilan agama. Komposisi ini, dan undang-undang yang mengutamakan hakim karier, akan menjadi pertimbangan DPR dalam memilih calon hakim agung.

Meski demikian, kualitas dan integritas calon harus tetap menjadi ukuran utama. Sebab, konstitusi tegas mensyaratkan, para hakim agung adalah manusia unggul. Ia memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Hal penting lain adalah negeri ini membutuhkan hakim agung yang memiliki banyak energi baru untuk mengakselerasi reformasi di bidang peradilan dan punya komitmen kuat untuk membangun supremasi hukum.

Berbagai catatan ini akan menjadi pertimbangan DPR dalam melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim agung. Dari 18 calon, DPR akan memilih enam orang terbaik untuk dijadikan hakim agung (yang) agung.

Trimedya Panjaitan Ketua Komisi III DPR, Anggota DPR dari Fraksi PDI-P

Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan