Menegaskan Presiden Antikorupsi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memutuskan mempertahankan dua menterinya, Paskah Suzetta dan MS Kaban. Alasannya, ia menunggu proses hukum kasus aliran dana Bank Indonesia yang lebih komprehensif.
Pemberhentian sementara dilakukan jika keduanya menjadi terdakwa. Pemberhentian tetap dilakukan jika keduanya dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan. Tepatkah kebijakan hukum yang diambil Presiden?
Tak bisa dihindarkan, kebijakan Presiden Yudhoyono akan dipandang sebagai langkah inkonsisten dibandingkan keputusan pemberhentian dua menteri sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin. Amat jelas saat itu, Yusril dan Hamid diberhentikan karena ciri problem yang sama. Keduanya diberitakan terlibat tindak pidana korupsi membantu transfer uang Tommy Soeharto dari Bank Paribas. Kala itu Presiden tak menunggu proses hukum pidana yang komprehensif. Ia mengganti keduanya.
Ada dua pendekatan hukum berbeda yang dilakukan Presiden. Dalam kasus Yusril dan Hamid, Presiden lebih mengedepankan pendekatan hukum tata negara dengan menyatakan pengangkatan dan pemberhentian anggota kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Jadi tidak perlu menunggu putusan pengadilan. Pada kasus Paskah dan Kaban, Presiden berubah haluan dengan mengutamakan pendekatan hukum pidana, yang prinsipnya menunggu putusan pengadilan memastikan seseorang bersalah atau tidak.
Pendekatan hukum tata negara dan pidana seharusnya tidak dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Keduanya sebaiknya dipadukan. Presiden tidak keliru jika menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Paskah dan Kaban. Jangankan seorang presiden, Jaksa Agung Hendarman Supandji saja tanpa menunggu proses hukum, dengan informasi dan alat bukti yang tersedia, mencopot posisi jaksa agung muda dari Kemas Yahya Rahman dan Untung Udji Santoso. Dalam kasus serupa tetapi tak sama, Mahkamah Agung mencopot Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Khaidir tanpa menunggu proses hukum pidana setelah ada indikasi kuat yang bersangkutan meminta dana main golf ke China bagi beberapa hakim agung.
Presiden dengan hak prerogatifnya setiap saat berwenang mengevaluasi dan mencopot anggota kabinetnya. Tentu setelah mendapat data, informasi, dan bukti yang menunjukkan kuatnya keterlibatan kedua menteri dalam kasus aliran dana BI. Adalah keputusan terlalu dini segera mempertahankan atau memberhentikan Paskah dan Kaban, dengan hanya bersandar pada pengakuan dua menteri itu. Presiden sebaiknya mengumpulkan informasi dan data dari pihak ketiga, terutama Badan Pemeriksa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
Informasi dari BPK tentu diperlukan karena mereka yang pertama kali melakukan audit dan menemukan ada penyimpangan aliran dana BI. Data dari PPATK terkait kemungkinan aliran dana BI tercatat dalam rekening Paskah atau Kaban. KPK perlu didengar karena mereka kini yang melakukan investigasi profesional atas kasus aliran dana BI. Proses meminta informasi ini harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menjadi bentuk intervensi atas independensi ketiga lembaga, terutama proses penyelidikan yang sedang dilakukan KPK.
Jangan pidana semata
Setelah data, informasi, dan bukti terkumpul, Presiden Yudhoyono bisa mengambil kebijakan lebih tepat dan komprehensif. Paling tidak, ada empat alternatif putusan yang bisa dipertimbangkan: memutuskan untuk mempertahankan keduanya, memberhentikan sementara, memberhentikan permanen, dan memberhentikan permanen serta mendorong proses hukum pidana korupsi atas keduanya.
Sekali lagi, pengambilan keputusan demikian tak wajib menunggu keduanya menjadi terdakwa, apalagi menanti putusan pengadilan yang menyatakan Paskah dan Kaban bersalah. Memberhentikan sementara setelah keduanya resmi terdakwa, seperti disebutkan Presiden dalam kasus Gubernur Ali Mazi, tak tepat diterapkan bagi Paskah dan Kaban. Dalam hal kepala daerah, UU Pemerintahan Daerah mengatur, Presiden hanya berwenang memberhentikan sementara kepala daerah yang didakwa kasus korupsi (Pasal 31 Ayat 1 UU 32 Tahun 2004). Presiden tak dapat langsung mengambil kebijakan appointment and removal kepada kepala daerah karena mereka dipilih melalui pilkada. Ini berbeda dengan kewenangan prerogatifnya yang tiap saat dapat mengangkat atau memberhentikan menterinya.
Pernyataan Presiden Yudhoyono akan memberhentikan sementara setelah Paskah dan Kaban menjadi terdakwa juga tidak tepat karena kasus aliran dana BI ditangani KPK yang tak mengenal mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Kalaupun menunggu proses pidana, pemberhentian sementara cukup dilakukan setelah keduanya ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus korupsi yang ditangani KPK (yang tak mengenal SP3), seorang tersangka pasti menjadi terdakwa meski belum tentu jadi terpidana.
Karena itu, mengambil kebijakan atas Paskah dan Kaban semata-mata dari perspektif pidana (setelah keduanya menjadi terdakwa atau setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan keduanya bersalah) adalah kebijakan yang terkesan bijak, tetapi sebenarnya nyaris tak mungkin terjadi. Saat ini KPK masih mencari alat bukti lain selain kesaksian Hamka Yandhu di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena satu saksi bukan saksi (testis unus, testis nullus) meski tetap merupakan alat bukti. Kini Hamka Yandhu mendapat tekanan atas kesaksiannya. Program perlindungan saksi harus diberikan kepadanya.
Proses KPK mencari alat bukti lain tentu tidak mudah. Maka, proses pidana atas Paskah dan Kaban—kalaupun ada— akan memakan waktu lama di tengah masa kerja kabinet yang kian pendek. Sebaiknya ada langkah percepatan di luar proses hukum pidana guna menyelamatkan kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu dan menegaskan komitmen Presiden Yudhoyono yang antikorupsi.
Denny Indrayana Ketua Pusat Kajian Antikorupsi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Agustus 2008