Menggugat Korupsi Bantuan Sekolah

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) setiap tahun terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pemerintahan, termasuk Departemen Pendidikan Nasional (DPN), selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran dana pendidikan. Karena itu, sering terjadi kebocoran dan inefisiensi tiap kali akan melangsungkan subsidi sekolah, terlebih terhadap dana proyek bantuan sekolah dari pemerintah.

Lihat saja kebocoran yang terjadi pada penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) 2006. Di sana terdapat banyak penyimpangan, mulai penggelembungan jumlah siswa agar bisa dapat dana BOS yang banyak, belum memiliki izin operasional sudah mendapatkan dana bantuan, hingga tidak transparannya sekolah mengelola dana BOS. Belum lagi, penyelewengan dana bantuan berupa block grant maupun specific grant.

Dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi X (pendidikan) DPR dengan Mendiknas, Bambang Sudibyo, terungkap hasil audit BPKP yang menunjukkan terjadinya penggelembungan jumlah siswa sekolah di 29 provinsi. Hanya empat provinsi yang tidak ditemukan kasus tersebut, yakni Lampung, Jambi, Gorontalo, dan Bali. Tetapi, belum tentu empat provinsi itu tidak menyelewengkan dana bantuan sekolah dalam bentuk lain, seperti dana pengembangan fisik sekolah, dana pengadaan buku pelajaran.

Selain itu, di antara dana BOS 2006 sebesar Rp 10,314 triliun, sebanyak 71,6 persen atau Rp 7,14 triliun tersalurkan dengan baik. Sisanya tidak jelas rimbanya. Ironisnya, hal tersebut dibiarkan saja oleh Mendiknas. Malah dengan penuh percaya diri dia mengatakan bahwa secara umum pelaksanaan BOS 2006 berjalan sukses dan tepat sasaran.

Padahal kalau menyaksikan sendiri di lapangan, hingga sekarang masih banyak sekolah yang belum menerima dana BOS. Karena itu, para pengelola pendidikan harus pontang-panting mencari utang, bahkan banyak yang harus mengeluarkan kocek sendiri demi berlangsungnya proses pendidikan sambil menunggu dana BOS turun.

Bahkan dengan tegas, Kepala SDN Tegal Kuniran Sri Sulastri SPd mengatakan bahwa program dana BOS sangat membatasi ruang gerak sekolah. Sebab, sekolah sangat kesulitan menarik dana operasional pendidikan lain dari orang tua siswa. Mereka menganggap semua kebutuhan sekolah telah terpenuhi dengan dana BOS.

Padahal, menurut dia, dana BOS senilai Rp 19.600 per anak per bulan itu sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan para siswa. Belum lagi, kalau pencairan dana BOS terlambat, jumlahnya berkurang dengan alasan yang tidak jelas, dan semacamnya.

Fenomena itu memperkuat dugaan bahwa birokrasi pendidikan kita kurang transparan, tidak profesional mengelola anggaran pendidikan. Yang terpenting, ternyata mental korup masih melekat di mana-mana, tak terkecuali di dunia pendidikan.

Di sisi lain, terdapat indikasi faktual yang semakin menyadarkan kita bahwa pada prinsipnya masalah utama bobroknya pendidikan nasional bukan hanya terletak pada minimnya anggaran, kualitas SDM yang lemah, dan kaburnya visi pendidikan nasional. Lebih dari itu, manajemennya juga hancur. Baik yang menyangkut manajemen pengelolaan keuangan maupun manajemen dalam konteks administrasi kelembagaan. Lalu, apa gunanya dana bantuan sekolah jika kemudian tidak menjamin meningkatnya kualitas pendidikan kita? Serbadilematis memang.

Artinya, peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya bergantung pada besarnya dana yang dimiliki DPN, tetapi juga dipengaruhi sektor-sektor lain. Termasuk, kejujuran para pengelola pendidikan menggunakan dana bantuan sekolah yang selama ini menjadi program prioritas Mendiknas.

Kita paham, adanya dana bantuan sekolah punya maksud baik. Tetapi, di sisi lain hal itu justru bisa menjadi bumerang karena akan memperparah mental korupsi di lingkungan DPN.

Lalu, apa antisipasi kita? Diperlukan standardisasi penyaluran dana bantuan yang tegas dari pemerintah, termasuk menyeleksi dengan ketat sekolah-sekolah yang berhak mendapatkan dana bantuan, agar tidak jatuh ke tangan-tangan oknum pengelola pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, juga diperlukan aturan yang ketat terhadap para pelaku korupsi dana bantuan pendidikan. Entah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pejabat atau diturunkan golongan kepangkatannya.

Tentu saja butuh komitmen bersama untuk melakukan semua itu. Bahkan, hal tersebut merupakan pilihan yang sulit karena menyangkut kehormatan dan masa depan mereka. Tetapi, bukankah menjaga sekolah dari para bandit juga merupakan kehormatan yang harus dibela? Apalagi, menyangkut masa depan jutaan anak didik.

Zahratun Na

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan