Menunggu Godot Penuntasan Centurygate
Mencari sosok penuntasan kasus Century bagai menunggu Godot. Penantian panjang yang penuh kesia-siaan dan tanpa ujung kenyataan.
Godot yang dilakonkan sebagai simbol penantian yang akan mendorong ke arah perbaikan tak jelas dan tak kunjung datang. Godot hanya dibicarakan terus, tetapi tidak pernah tampak. Akhirnya Godot dalam lakon terkenal karya Samuel Beckett itu hanyalah sebuah khayalan.
Ide khayal ala Godot itulah yang ditayangkan ulang oleh teater aparat hukum di Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam lakon ”’Menunggu Godot Penuntasan Kasus Century”. Pesannya sama. Anda boleh berharap akan penuntasan kasus Century, tetapi itu adalah kesia-siaan. Itu adalah kemustahilan. Itu adalah khayalan. Rakyat boleh menunggu kasus Century tuntas, tetapi itu adalah penantian tanpa kenyataan.
Sikap rezim
Tepat setahun yang lalu, Desember 2009, Panitia Khusus Hak Angket DPR terkait kasus Bank Century terbentuk. Sudah lebih dari satu tahun sejak hak angket itu bergulir dan melewati berbagai situasi dan tekanan secara politik, kasus Century hingga kini tak kunjung terselesaikan secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara berbagai kepentingan politik dan ekonomi itu telah merugikan negara setidaknya, menurut audit BPK, sebesar Rp 5,8 triliun. Pada angka ini belum termasuk kerugian turunan yang ditimbulkan oleh kasus itu.
Sebagai pengingat, panitia angket DPR menyimpulkan bahwa kasus Bank Century merupakan perbuatan melanggar hukum yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena diduga merugikan negara. Perbuatan melawan hukum tersebut diduga kuat terjadi pada proses pengambilan kebijakan yang diikuti banyak penyalahgunaan, mulai dari akuisisi-merger, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek, penyertaan modal sementara, hingga tahap aliran dana.
Bahkan dalam simpulannya, beberapa fraksi telah menyebutkan nama siapa saja yang patut diperiksa lebih lanjut secara hukum. Setidaknya Fraksi Golkar, PDI-P, PKS, Hanura, dan Gerindra menyebutkan nama, sedangkan Fraksi PPP hanya menyebutkan institusinya. Atas dasar temuan itulah DPR merekomendasikan agar penegak hukum memproses lebih lanjut seluruh penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab.
Namun, pengusutan skandal Century sejauh ini terkesan jalan di tempat. Sampai saat ini tak ada gebrakan yang berarti dari lembaga penegak hukum. Kiprah Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK tak membuahkan hasil yang signifikan. Malah, nasib kasus ini semakin tak jelas. Kepolisian terlihat enggan mengusut kasus itu dengan berbagai alasan teknis hukum yang terkadang mengada- ada. Kejaksaan Agung juga demikian. Bergerak sangat lambat. Sementara itu, KPK yang diharap mengusut tindak pidana korupsinya hingga saat ini masih berkutat di proses penyelidikan.
Aparat penegak hukum itu juga tak saling bekerja sama. Malah, sepertinya mereka saling lempar tanggung jawab. Hal ini setidaknya terekam dari berbagai pertemuan koordinasi antara Tim Pengawas DPR dan institusi penegak hukum tersebut.
Potret buruknya penegakan hukum diperparah oleh sikap pemerintah yang terlihat tak mempunyai kemauan politik untuk menuntaskan kasus ini. Pemerintah mengabaikan kasus ini dan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap penuntasannya. DPR setali tiga uang dengan pemerintah. Sikap tidak tegas rezim eksekutif menjalar ke lembaga legislatif. Walaupun DPR telah membentuk Tim Pengawas, keberadaan tim ini tidak mampu memastikan bahwa tindak lanjut kasus ini dijalankan oleh aparat penegak hukum. Bahkan, tak jarang suara sumbang justru datang dari DPR. Misalkan, pernyataan Ketua Komisi III Benny K Harman yang pernah meminta agar penegak hukum menutup kasus Century (Kompas, 26/7).
Menunggu KPK
Saat ini harapan satu-satunya adalah KPK. Sedari awal kasus ini bergulir, publik berharap banyak pada lembaga pemberantas korupsi tersebut. Ketika jalur politik (DPR) dan jalur penegakan hukum biasa (Kepolisian dan Kejaksaan Agung) tidak bisa diharapkan, KPK menjadi harapan terakhir rakyat Indonesia yang senantiasa menunggu ujung dari skandal hukum tersebut.
Apalagi saat ini kekuatan KPK telah pulih. Terpilihnya Busyro Muqoddas dan terdeponirnya kasus Bibit-Chandra telah semakin memperkuat posisi KPK. Tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk tidak menuntaskan kasus ini dalam sisa waktu yang ada. KPK harusnya lebih mudah dalam bekerja karena telah banyak terbantu oleh temuan panitia angket DPR. KPK tinggal melanjutkan temuan-temuan tersebut dan bisa memulainya dengan memeriksa pihak-pihak yang disebutkan oleh Panitia Angket yang diduga kuat terlibat dalam kasus ini secara lebih serius.
Penuntasan kasus ini merupakan pertaruhan terakhir bagi pemimpin KPK saat ini. Penuntasan kasus ini sekaligus membantah suara sumbang selama ini yang menduga adanya transaksi politik dalam pemilihan Busyro Muqoddas dan keputusan deponeering bagi Bibit-Chandra. Karena itu, skandal Century sebaiknya dituntaskan segera supaya penantian panjang publik selama ini tidak seperti nukilan Samuel Beckett, penantian Godot yang tak kunjung datang.
OCE MADRIL Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM; Mahasiswa S-2 Program Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan, Universitas Nagoya, Jepang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Desember 2010