Menunggu Keberanian BK DPR

Ketua Badan Kehormatan DPR (BK DPR) Slamet Effendi Yusuf dan beberapa anggota dewan lainnya termasuk dalam daftar anggota DPR yang menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Bukan hanya itu, seluruh capres pada Pilpres 2004 juga terindikasi menerima uang haram tersebut (Jawa Pos, 28 Juni 2007).

Heboh nasional pun tak terelakkan. Dana hasil korupsi Rokhmin menjalar ke mana-mana. Ada indikasi bahwa itu termasuk praktik korupsi berjamaah, tepatnya menikmati hasil korupsi Rokhmin secara berjamaah.

Tetapi, menurut saya, langkah DPR memeriksa anggota dewan yang terindikasi menerima dana korupsi DKP belum cukup. Pengusutan tuntas atas kasus itu harus terus diupayakan sampai ke akar-akarnya.

Kasus DKP ibarat gunung di dasar laut. Dan Rokhmin hanya puncaknya. Sementara, gunung yang ada di dasar laut itu belum terkuak sepenuhnya. Tugas penegak hukumlah mengungkap secara gamblang korupsi tersebut.

Realitas di Balik Korupsi
Setidaknya, ada dua asumsi ketika membaca realitas di balik dugaan korupsi yang dilakukan Rokhmin. Pertama, korupsi independen (pribadi). Maksudnya, Rokhmin melakukan korupsi demi kepentingan politisnya sendiri. Fakta bahwa Rokhmin tidak menolak gugatan pengadilan, setidaknya, menguatkan asumsi pertama ini.

Apalagi ketika diparalelkan dengan teori dividen politic (politik tanam saham). Bisa jadi, uang yang dikorupsi Rokhmin dibagi-bagikan secara cuma-cuma kepada politisi-politisi dan capres pada Pilpres 2004 demi menanam kepercayaan kepada mereka. Tentu, dengan begitu, Rokhmin berharap akan menuai laba berupa kedudukan dan semacamnya pada era kepemimpinan pasca-Pilpres 2004 itu.

Sayang, ambisi Rokhmin tidak sampai. Dana korupsi DKP yang dia jadikan sebagai senjata untuk mendapatkan keuntungan politis menikam dirinya sendiri dan menjebloskannya ke tahanan. Sikap Rokhmin membeberkan data penerima uang haram itu bisa dipahami sebagai salah satu bentuk ekspresi rasa frustrasi pribadinya ketika dia tidak mampu menggapai birahi politisnya.

Korupsi DKP miliaran rupiah bukan kasus kecil. Apalagi aliran dana hasil korupsi ternyata merambat ke mana-mana. Karena itu -asumsi yang kedua- korupsi dana DKP bisa disebut sebagai korupsi berjamaah.

Tanpa bermaksud membela Rokhmin, saya berasumsi bukan hanya pribadi Rokhmin yang terbukti korupsi, tetapi ada kekuatan besar dan rapi di belakang Rokhmin yang menyokongnya agar berani melakukan perbuatan terkutuk itu demi kepentingan tertentu. Jangan-jangan, Rokhmin hanya menjadi korban kepentingan kekuatan besar di belakang dirinya itu?

Asumsi adanya kekuatan besar yang menyokong Rokhmin sangat kuat ketika menengok realitas atmosfer politik masa Megawati yang cukup panas. Saat itu, apa pun bisa terjadi, termasuk mengelabui Rokhmin untuk korupsi. Sehingga dana hasil korupsi Rokhmin tersebut bisa dimanfaatkan untuk menggapai kepentingan politik kekuatan besar itu.

Apalagi menjelang Pilpres 2004, musimnya membagi-bagikan uang, baik untuk kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi. Karena itu, pelacakan distribusi uang hasil korupsi itu harus tuntas demi membongkar indikasi korupsi berjamaah dan menyelesaikannya secara hukum.

Ketegasan Hukum
Sikap Rokhmin membeberkan data penerima dana korupsi DKP itu patut dihargai. Karena data itu sangat membantu KPK untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Meskipun korupsi DKP bukan kasus baru, komitmen dan ketegasan penegak hukum untuk menyelesaikan tetap harus dipertahankan.

KPK punya tugas berat ketika dana korupsi terindikasi merembet ke elite-elite besar politisi. Lima anggota DPR -Slamet Effendi Yusuf (Golkar), Khofifah Indar Parawansa (PKB), Endin Soefihara (PPP), Fahry Hamzah (PKS), A.M. Fatwa (PAN), dan elite politisi lain juga diduga menerima uang setan itu. Meskipun mayoritas mereka mengaku tidak tahu-menahu mengenai sumber dana yang mereka terima.

Solusi yang selama ini berkembang ialah mengembalikan uang yang dibagi-bagikan Rokhmin kepada negara. Sementara komitmen penegak hukum untuk mengusut tuntas indikasi adanya konspirasi korupsi masih perlu dipertanyakan.

Butuh keberanian BK DPR untuk memberikan sanksi yang seberat-beratnya kepada para wakil rakyat yang terbukti punya kaitan dengan kasus korupsi Rokhmin. Selain keberanian dan ketegasan KPK dan penegak hukum secara keseluruhan untuk melacak kasus itu dan memprosesnya sesuai dengan prosedur hukum. Jangan sampai kasus itu mengendap lebih lama lagi dan tak kunjung selesai seperti nasib kasus-kasus yang lain.

Yang menjadi catatan, ketika kasus terindikasi menyentuh banyak elite politisi, bisa jadi, ada usaha-usaha pihak tertentu untuk menutupi kasus itu. Jangan-jangan korupsi DKP tidak hanya merupakan bentuk korupsi berjamaah, tetapi memunculkan usaha menutupinya secara berjamaah pula?

Asep Saefullah, mahasiswa Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman (STIK) Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep (E-mail: asep_saefullah_hs@yahoo.co.id)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 6 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan