Merdeka dari Mental Korup
PERAYAAN HUT kemerdekaan RI selalu diperingati tiap tahun di samping untuk mengenang semangat perjuangan para pendiri bangsa, dimaksudkan juga untuk meneguhkan nasionalisme (kecintaan pada Tanah Air). Hari-hari ini dua semangat itu seperti kehilangan elan vitalnya sebab secara fisik tak ada lagi penjajahan atau koloni di negeri ini. Karena itu untuk membangkitkan semangat yang terkandung di dalamnya, guna menginspirasi generasi setelah 66 tahun kemerdekaan perlu ditemukan makna barunya yang lebih adaptif dengan isu-isu kekinian.
Meminjam ungkapan Ernst B Hass, dalam tulisannya ”Nationalism: An Instrument Social Construction” (1993: 508) disebutkan bahwa nasionalisme merupakan doktrin solidaritas sosial yang dilandasi oleh ciri dan simbol kebangsaan. Adapun menurut Kate Manzo (1955:44), nasionalisme dapat berkaitan dengan tingkah laku yang dimotivasi oleh ideologi. Bila dua gagasan tersebut diadaptasi, sebenarnya kini bangsa kita tengah dijajah kolonial bentuk baru, yakni para koruptor.
Hari-hari ini republik ini seperti menyongsong kebangkrutan, karena hampir seluruh kekayaan alam dan kekayaan yang dihimpun dari dana pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD digerogoti kruptor. Korupsi tidak lagi di pusat kekuasaan eksekutif tetapi merambah di legislatif, bahkan di partai politik, dan bersemayam di tubuh yudikatif (hakim, jaksa, dan polisi). Lebih jauh lagi menjalari politikus dan birokrat muda seperti M Nazaruddin (32) dan Gayus HP Tambunan (29).
Di titik ini kita perlu mewujudkan nasionalisme baru dengan pertama-tama menemukan maskot atau semacam common flatform untuk membentuk kesadaran publik akan perlunya mencintai negerinya. Seperti kata Ernest Renan (1823-1892) dalam bukunya Qu’est-ce qu’une Nation? (What is Nation?) (1996:41-55), bahwa timbulnya nasionalisme didasarkan pada perasaan menderita bersama (having suffered together) sehingga dirasa perlu menjemput kegemilangan (genuine glory).
Hanya Slogan
Korupsi mestinya menjadi salah satu beban dan rasa penderitaan bersama bagi bangsa ini. Karena korupsilah bangsa ini tak mampu segera bangkit dari keterpurukan krisis berkepanjangan hingga menyeret rakyat di negeri ini menjadi korban. Untuk itulah bersegera dan berkonsistenlah bersama memerangi dan membenci perilaku korup agar kita dapat segera menjemput kegemilangan masa depan bangsa.
Jangan biarkan korupsi hanya menjadi slogan politik penguasa atau topik kajian dan seminar di perguruan tinggi. Namun begitu usai acara, korupsi hanya menjadi hiasan bibir, dilupakan dalam perilaku sehari-hari. Karena itu, wajarlah bila Mochtar Lubis menyindir cukup keras dalam orasi budayanya ”Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban” (06/04/77). Katanya,” Mental manusia Indonesia cenderung hipokrisi yang ciri utama suka berpura-pura, lain di muka- lain pula di belakang, lain di kata lain pula di hati. Pendeknya manusia Indonesia adalah manusia yang hobi berbohong dan menggadaikan keyakinan sebenarnya.”
Pertanyaannya adalah apa yang mesti dilakukan untuk memerdekakan bangsa ini dari mental korupsi? Untuk memanifestasikan solidaritas antikorupsi sebagai wujud cinta negeri (nasionalisme) perlu kiranya memopulerkan pernyataan reflektif, misalnya ”Koruptor Tidak Nasionalis”, ”Koruptor adalah Penjajah”, ”Koruptor adalah Teroris” dan sebagainya.
Sosialisasi gagasan ini penting dilakukan dan diindoktrinasikan ke semua level masyarakat, terutama lembaga pendidikan formal atau informal dari pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari mewujudkan nilai-nilai nasionalisme pada era kekinian. Maka pekik perayaan HUT Ke-66 Kemerdekaan RI adalah ”Merdeka dari Korupsi atau Mati!” (10)
Agus Riewanto SH MA, Ketua KPU Kabupaten Sragen, kandidat doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 16 Agustus 2011