Meruntuhkan Kesaktian Gayus
Sejak semula, sudah dapat diduga skandal rekayasa pajak dengan tokoh sentral Gayus HP Tambunan sulit diselesaikan tuntas oleh kepolisian. Setidaknya, gejala ke arah itu dapat dilacak dari keterlibatan sejumlah petinggi polisi dalam jejaring kejahatan pajak Gayus.
Di tengah sorotan tajam publik, rekayasa guna melindungi sejumlah petinggi di jajaran kepolisian berlangsung secara sistemik. Bukti yang sulit dibantah, upaya melokalisasi keterlibatan polisi sampai perwira menengah saja. Padahal, ketika memberikan keterangan, Gayus menyatakan pernah mengeluarkan 500.000 dollar AS kepada perwira tinggi polisi untuk membuka blokir rekening atas namanya.
Dengan kondisi itu, sulit menerima peran kepolisian menyelesaikan skandal Gayus. Namun, tak mudah membangun argumentasi agar penyelesaian megaskandal pajak ini tak ditangani polisi. Bagaimanapun, sulit dibantah, banyak pihak berkepentingan skandal ini tetap diselesaikan kepolisian. Apalagi, pengalaman menunjukkan polisi paling sulit bertahan dari segala macam godaan dan kepentingan di luar penegakan hukum.
Namun, begitu kehadiran Gayus menyaksikan kejuaraan tenis di Bali diketahui publik, polisi jadi kehilangan basis argumentasi untuk terus bertahan melanjutkan penyelesaian skandal ini. Argumentasi kian terkikis habis karena semua fasilitas dan kemudahan yang didapat Gayus selama masa tahanan diperoleh dengan melakukan tindak pidana berupa suap ke sejumlah polisi di rutan.
Keniscayaan
Dengan hilangnya basis argumentasi ini, pilihan membawa penyelesaian menjauh dari kepolisian jadi sebuah keniscayaan. Berkaca dari desakan publik beberapa waktu terakhir dan melihat ”kesaktian” yang dimiliki Gayus, tak cukup apabila KPK hanya sebatas melakukan supervisi. Memilih langkah mengedepankan supervisi potensial mengubur penyelesaian skandal Gayus secara tuntas.
Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, langkah konkret yang harus dilakukan adalah mengambil alih penyelesaian skandal Gayus. Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan ”KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian”. Dengan dasar itu, siapa pun tak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian skandal pajak Gayus.
Melihat jejaring Gayus dengan polisi (termasuk jaksa) dan penyuapan yang dilakukan selama dalam masa tahanan, alasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 9 UU No 30/3002 telah terpenuhi. Setidaknya, terdapat kecenderungan penanganan tindak pidana korupsi ditujukan guna melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Kecenderungan ini dapat dilacak dari adanya upaya mengalihkan dari rekening tak wajar Gayus jadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan jumlah kerugian negara Rp 570.952.000.
Padahal potensi kerugian negara dari PT SAT tak sampai seujung kuku dari keseluruhan jumlah rekening dan safe deposit box Gayus. Oleh karena itu, patut diduga, strategi mengalihkan tindak pidana utama ke kasus PT SAT hampir pasti ditujukan untuk menutup upaya membongkar asal-muasal uang yang masuk ke rekening Gayus. Dengan logika sederhana, jika asal-usul uang Gayus didalami, pasti akan sampai ke perusahaan-perusahaan besar yang pernah menerima keahlian Gayus. Misalnya, ia mengaku menerima 3 juta dollar AS dari tiga perusahaan besar: Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources (Kompas, 29/9).
Sementara itu, alasan berikutnya: penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi juga dengan nyata terjadi pada penanganan skandal Gayus. Setidaknya, pemberian sejumlah uang ke sejumlah petugas dengan maksud mendapat segala macam selama dalam tahanan adalah bukti nyata proses hukum telah menimbulkan praktik korupsi lain. Keadaan bisa bertambah runyam karena uang Rp 75 miliar dalam safe deposit box masih misterius. Bukan hanya kalangan yang sejak awal memberikan perhatian pada skandal ini, pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, pun mempertanyakan misteri safe deposit box tersebut.
Sementara itu, sebagai sebuah keniscayaan, pengambilalihan dapat diletakkan dalam skenario mempercepat penyelesaian skandal Gayus. Sebagaimana ditegaskan Pasal 8 Ayat (3) UU No 30/2002, dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
Meruntuhkan kesaktian
Merujuk pada ketentuan Pasal 8 dan 9 UU No 30/2002, pengambilalihan menjadi wewenang KPK yang tak dapat dilepaskan dari posisi lembaga ini sebagai extra-ordinary body dalam memberantas korupsi. Dalam pengertian itu, pengambilalihan sangat tergantung dari kemauan dan keberanian KPK. Karena jadi semacam hak eksklusif KPK, pernyataan Presiden bahwa skandal Gayus tetap ditangani polisi seharusnya tak menyurutkan langkah KPK melakukan pengambilalihan.
Yang perlu disadari KPK, sebagai lembaga independen, mereka punya dasar hukum amat kuat untuk mengambil alih skandal Gayus. Selain pijakan hukum, mayoritas publik juga memberikan legitimasi sosial kuat bagi KPK. Oleh karena itu, jika KPK mengurungkan niat mengambil alih, bukan tak mungkin akan menambah kesaktian pegawai golongan III Ditjen Pajak ini. Jika itu terjadi, jangan pernah berharap membongkar secara tuntas semua jaringan mafia pajak terkait Gayus.
Tak hanya dasar hukum dan dukungan publik, dengan masuknya Busyro Muqoddas menggantikan Antasari Azhar, tambahan darah segar pasti akan mengalirkan energi baru guna membongkar semua skandal korupsi yang punya relasi politik dan/atau ekonomi amat kuat. Khusus skandal mafia pajak ini, publik tengah menunggu kemampuan dan kemauan KPK meruntuhkan kesaktian Gayus.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 26 November 2010