Mewujudkan Kurikulum Antikorupsi

Negara Indonesia berada pada urutan ke-3 sebagai negara terkorup di Asia. Prestasi itu cukup menggembirakan karena beberapa tahun sebelumnya, LSM (lembaga swadaya masyarakat) asal Jerman melakukan survei yang dimuat dalam majalah Der Spiegell, Indonesia adalah negara yang paling korup.

Pemberantasan korupsi idealnya harus dilakukan dengan pendekatan konsep yang bersifat totalitas dan komprehensif. Negara-negara Afrika bagian selatan, misalnya, merumuskan strategi pemberantasan korupsi berbentuk piramida yang pada puncaknya adalah prevensi (pencerahan). Pada kedua sisinya masing-masing pendidikan masyarakat (public education) dan pemidanaan (punishment).

Pada strategi itu salah satu upaya pemberantasan korupsi dilakukan melalui jalur pendidikan, selain upaya pemberian hukuman yang pada akhirnya menuju pada pencerahan. Di negara China, dalam rangka memerangi praktik korupsi, pemerintahan Tiongkok telah melangkah lebih maju dengan menyusun buku antikorupsi yang di dalamnya dibahas juga etika dan moral.

Di Indonesia telah digagas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bekerja sama dengan PT (perguruan tinggi), diawali dengan nota kesepahaman (MoU) dengan 4 PTN di Surabaya yakni IAIN Sunan Ampel, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Airlangga (Unair), dan ITS.

Upaya KPK itu merupakan suatu langkah strategis, dengan memosisikan PT sebagai wadah generasi penerus bangsa, agen of change (pembaru).

Generasi muda itu berfungsi sebagai inovasi sosial dengan pemikiran-pemikiran yang bebas dan jernih. Lebih dari itu, PT memiliki kemampuan berperan sebagai pelaku kontrol sosial.

Selanjutnya, KPK perlu melebarkan sayap dengan menjalin kerja sama dengan PTN dan PTS di seluruh wilayah tanah air. Dengan cara tersebut, selanjutnya daerah yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat juga dapat tersentuh upaya pemberantasan korupsi.

Jiwa Antikorupsi
Upaya KPK merintis kerja sama dengan PT patut dihargai. Memang diperlukan berbagai metode dan inisiatif serta terobosan-terobosan cerdas untuk memutus mata rantai kejahatan korupsi.

Idealnya, ke depan PT tidak hanya dilibatkan dalam kegiatan pemberantasan korupsi, tetapi lebih diarahkan pada lahirnya konsep-konsep yang mengajarkan etika dan moral antikorupsi di lembaga pendidikan. Yaitu, membuat kurikulum dan menciptakan bahan pelajaran tentang antikorupsi untuk pendidikan formal maupun nonformal. Kehadiran kurikulum antikorupsi menjadi signifikan dalam dunia pendidikan jika diterapkan mulai jenjang SMP (sekolah menengah pertama) sampai PT.

Menumbangkan pohon korupsi memang bukan perkara gampang. Tapi, seperti mengurai benang kusut, harus meluruskan satu per satu sampai pada bagian pangkalnya. Karena itu, alangkah baiknya jika usaha pemberantasan korupsi juga dimulai dari pangkalnya dengan menerapkan pendidikan antikorupsi kepada setiap anak didik.

Pemahaman tentang korupsi tidak hanya dipandang anak didik sekadar perbuatan melawan hukum, tetapi sekaligus mereka harus dipahamkan bahwa korupsi bertentangan dengan etika dan moral bangsa Indonesia yang berbudaya dan religius. Para guru, khususnya guru agama, memberi pengarahan yang keras tentang bahaya korupsi.

Langkah tersebut perlu ditindaklanjuti sikap para orang tua mendidik anak bahwa korupsi adalah perbuatan tercela. Jika langkah itu yang dilakukan, diharapkan fungsi pendidikan mempunyai makna yang efektif. Strategi itu akan membentuk transmisi sikap, nila-nilai, dan norma-norma antikorupsi melalui kurikulum etika dan moral.

Muatan kurikulum antikorupsi yang sarat dengan etika dan moral dimaksudkan sebagai proses mencapai nilai-nilai kesucian anak didik sehingga tidak terkontaminasi oleh budaya korupsi yang sudah sistemik. Harapannya, ketika anak didik meraih sukses dan terjun ke masyarakat, kesuksesan itu selalu dilekatkan dengan nilai moral.

Apa pun peran mereka dalam masyarakat, jadilah aktor-aktor yang bermoral, tumbuh sebagai pribadi yang penuh keyakinan untuk melepaskan diri dari perilaku korupsi. Membebaskan diri dari perilaku korupsi memerlukan kesadaran dan pengorbanan yang luar biasa, karena orang-orang yang tidak memiliki kesadaran yang sama akan dapat menghambat upaya mengubah perilaku. Perubahan perilaku pada hakikatnya adalah perubahan citra diri yang dapat dilakukan melalui upaya membangun keputusan positif dalam pendulum hati setiap manusia.

Menurut Sommer (1995: 9), citra diri bisa dibentuk jika dikehendaki, tidak ada perubahan behavioral (perilaku) nyata yang bisa berlangsung tanpa adanya perubahan citra diri.

Seberapa jauh pengaruh kurikulum etika dan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah berkorelasi positif terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi? Pertanyaan semacam itu memang tidak harus selalu dijawab, karena ajaran etika dan moral selalu memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk memilah antara perbuatan yang mulia dan yang tercela. Sebab, manusia telah diberi akal untuk membedakan sekaligus memilih antara keduanya dengan segala konsekuensi.

Namun, kurikulum antikorupsi minimal merupakan bentuk dari upaya memaksimalkan ikhtiar, memotivasi perilaku dan sikap anak didik untuk memotong mata rantai menghindar dari lingkaran korupsi yang tidak berujung pangkal.

S. Eka Iskandar SH MH, mahasiswa S-3 ilmu hukum Universitas Airlangga, konsultan hukum, managing partners Eka LawFirm

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan